LENIN pernah bertanya kepada seorang rekannya: "Tahukah kau
kebusukan terbesar?". Rekannya, Krzhizhanovsky, tak tahu. Maka
jawab Lenin: "Yaitu berumur lebih dari 55 tahun".
Lenin sendiri tak sampai mencapai "kebusukan" itu. Ia mati umur
54. Tapi sesuatu yang lebih busuk toh mulai merusak, beberapa
saat setelah jasadnya dibalsem di mousoleum: para wakilnya
berebut kuasa untuk jadi orang No. 1 di Uni Soviet yang baru
berumur 7 tahun itu.
Persaingan bengis itu terjadi antara Zinoviev, Trotsky dan
Stalin. Dalam salah satu "surat wasiat"-nya Lenin memang
menyatakan bahwa "Stalin terlalu kasar", dan agar diganti dari
jabatan kuat Sekjen Partai. Namun sejarah membuktikan lain.
Stalin-lah yang menang. Ia membuang Trotsky ke luar negeri dan
kemudian membunuhnya. Ia menyeret Zinoviev ke pengadilan,
bersama seluruh bekas pimpinan teras Partai Komunis semasa
Lenin. Mereka dipaksa mengaku jadi spion asing, berkomplit
membunuh para tokoh. Dan rakyat pun dikerahkan untuk berseru:
"Tembak saja anjing-anjing gila itu!".
Maka bila kini di RRT para demonstran mengutuk kaum radikal
sebagai pengkhianat, kita boleh ingat akan sejarah. Baru sebulan
setelah Mao mati, jandanya yang ambisius dituduh berkomplot.
Mungkin benar. Tapi bisakah kita percaya bahwa kasak-kusuk,
intrik, fitnah dan persengkongkolan rahasia hanya dilakukan oleh
kaum radikal?
"Jangan berkomplot", begitu nasihat Mao sebelum meninggal.
Mungkin ia percaya bahwa partai komunisnya punya mekanisme
untuk mengatur peralihan kepemimpinan. Mekanisme itu memang ada:
dalam pemerintahan komunis, sang partai memang menyediakan
kesempatan bagi sejumlah pemimpin teras untuk bebas mengritik,
memilih dan dipilih. Mereka bukan bawahan si pemimpin yang
sedang berkuasa. Itulah sebabnya tokoh No. 1 seperti Khruschev
di Uni Soviet bisa diturunkan tanpa kekerasan. Di Vietnam, Ho
Chi-minh juga bisa digantikan sonder heboh.
Tapi, betapapun juga, kompetisi yang tertutup antara kalangan
atas penguasa, seperti di Peking kini, selalu melahirkan
pelbagai bentuk konspirasi. Suasana bisik-bisik serta
awas-mengawasi pun berkecamuk. Bila bicara terus-terang bisa
berbahaya, orang memang akan memilih bungkam atau dusta. Dan
bila bungkam serta dusta jadi bentuk "komunikasi politik"
keserbacurigaan pun menjangkiti para pemimpin. Suara bersin di
sini bisa dianggap bersekongkol dengan suara bersin di sana.
Bahkan mendung pun bisa dianggap sabotase.
Di hari-hari terakhirnya. Stalin makin parah dengan penyakit
itu. Kepada bawahannya yang berkunjung (begitulah kisah
Khruschev kemudian), ia suka bertanya menyelidik: "Kenapa hari
ini kau selalu menghindari pandanganku?". Yang ditanya esok
harinya bisa masuk bui, menggigil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini