Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

"Ibnu Minta Izin Dahulu"

Ibnu sutowo minta pengalihan bendera 6 tanker milik pertamina ke bendera liberia tapi tetap berlayar di perairan indonesia. menurut frans seda, ibnu telah minta izin pada departemen perhubungan. (nas)

23 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GAGASAN Ibnu Sutowo membangun armada tanker Pertamina -- mula-mula untuk dalam negeri, kemudian melanglang samudera -- dimulai tahun 1969. Waktu itu ada tawaran dari Inter Maritime Bank, Geneva, untuk menjamin pembelian 21 kapal tanki secara angsuran selama 10 tahun. Tapi untuk jaminan itu, bank kepunyaan Bruce Rappaport itu minta 6 tanker Pertamina dijadikan jaminan. Dengan syarat: registrasi keenam tanker itu -- MT Permina 1001 s/d MT Permina 1006 -- harus dipindahkan dari bendera Indonesia ke bendera Liberia. Berbekal jaminan dan syarat Rappaport itu, Ibnu Sutowo sebagai Dirut Pertamina melayangkan sepucuk surat permohonan pada Menteri Perhubungan waktu itu, drs Frans Seda. Isinya minta izin pengalihan bendera ke-6 tanker milik Pertamina tersebut. Adapun maksud pembelian 21 tanker carteran secara berangsur itu, adalah untuk melayani penyaluran bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri. Sebelumnya, tugas itu masih dilaksanakan sebagian oleh tanker-tanker Stanvac dan Caltex, karena tanker milik Pertamina sendiri jauh dari memadai. Setelah konsultasi dengan Menteri Pertambangan Prof. Sumantri Brodjonegoro (kini sudah almarhum), Frans Seda kontan setuju. "Saya memang merasa sudah saatnya kita membangun armada tanker, tapi khusus untuk angkutan minyak dalam negeri", tutur Frans Seda, pensiunan Menteri & Duta Besar MEE itu. Alasannya: "Tidak cukup kita hanya kuasai produksi, tapi kita juga harus menguasai distribusinya". Tapi kalau begitu, mengapa bukan pemerintah yang memberikan jaminan buat sewabeli 21 tanker itu? Hasyim Ning "Soalnya, pemerintah tak gampang lagi memberikan garansi pada unit-unit ekonominya. Ini berdasarkan pengalaman pahit kita di masa yang lampau. Setelah dipotong hutang-hutang senjata, hampir separo hutang Orde Lama dulu disebabkan karena pemerintah menyediakan diri sebagai garansi bagi pinjaman-pinjaman luar negeri. Sampai-sampai pinjamall Hasyim Ning sebanyak AS$ 15 juta dari Bank Dunia, juga dijamin oleh pemerintah. Makanya semenjak saya jadi Menteri Keuangan, saya mengambil langkah debirokratisasi di bidang ekonomi. Artinya, unit ekonomi pemerintah pun harus mampu mengembangkan dirinya sendiri secara otonom, mencari pinjaman sendiri dan menyediakan borg-nya sendiri. Itu sebabnya Pertamina harus menyediakan keenam tankernya itu sebagai borg, untuk mendapat jaminan bank asing itu bagi pembelian armada 21 tanker itu", tutur Seda di kantor Yayasan Unika Atma Jaya, Semanggi. Tapi mengapa ke-6 tanker Pertamina itu harus ditukar benderanya? Jawab ekonom lulusan Tilburg, Belanda itu: "Itu soal biasa dalam bisnis kapal internasional. Djakarta Lloyd dengan seizin saya sebagai Menteri Perhubungan waktu itu, juga ada berbuat demikian. Kapal-kapal itu diperlukan sebagai borg. Kalau tetap berbendera Indonesia, fihak kreditor tidak bisa dengan bebas menahan kapal itu bila Pertamina tidak melunasi kewajibannya pada kreditor. Makanya registrasinya perlu dilihkan ke luar negeri, tetapi tetap milik Indonesia". Selain itu, permohonan Ibnu Sutowo tertanggal 2 April 1969 itu, sekaligus mengandung maksud minta izin agar keenam tanker itu tetap diperkenankan berlayar di perairan Indonesia, setelah berganti bendera. "Inilah yang disebut izin flag convenence", kata Seda. Sebab untuk menegakkan Wawasan Nusantara, ada ketentuan Departemen Perhubungan bahwa hanya kapal yang berbendera Indonesia boleh berlayar di perairan Indonesia. Sedang kapal berbendera asing harus minta izin dulu. Tapi dalam surat Ibnu Sutowo No. 285/DR/DU/69 itu tidak tercantum bobot mati, harga dan besarnya sewa cicil 21 tanker itu. Mengapa itu tidak ditanyakan lebih dahulu oleh Seda, sebelum izin angkutan khusus minyak diberikan? "Soal tonnage, itu kompetensi Menteri Pertambangan yang langsung membina Pertamina. Sedang soal harga dan cicilannya, itu wewenang Menteri Keuangan dan Bank Sentral. Kalau ada yang tidak beres, mestinya merekalah yang pertama mencegatnya". Dalam soal jumlah dan jenis pesawat terbang Pelita, yang kini dinyatakan jauh melampaui kebutuhan, Seda berpendapat bahwa itu pun wewenang Dewan Komisaris untuk mencegahnya sejak semula. Pokoknya, begitu Seda menegaskan lagi, "tugas saya sebagai Menteri Perhubungan waktu itu, hanyalah membina angkutan umum yang langsung berada di bawah Departemen saya. Seperti Garuda, Djakarta Lloyd dan Pelni. Sedang izin yang diminta Pertamina dari Perhubungan, termasuk untuk pelabuhan minyaknya, angkutan udara Pelita Air Service dan jaringan telkomnya, adalah izin khusus. Jadi semuanya ditetapkan dengan SK Menteri Perhubungan. Sehingga kami berhak menentukan tarifnya supaya tidak merusak pola perhubungan secara menyeluruh. Misalnya tarif penerbangan Pelita, yang juga khusus diperuntukkan bagi kontraktor-kontraktor minyak yang butuh gerak cepat". Menurut Frans Seda, "dia (Ibnu) selalu lebih dahulu minta izin pada Departemen Perhubungan. Sedang Departemen-Departemen lain selalain dia bypass saja". Diakuinya bahwa kasus tanker ini merupakan "satu blunder (kesalahan besar) dalam soal manajemen, penggunaan dana dan wewenang dalam pembinaan Pertamina. Tapi bukan kesalahan policy Perhubungan". Begitu pendapat Seda, yang kini jadi anggota DPA.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus