Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nur Iman Subono
Apa yang kau cari perempuan? Apa yang ingin kau buktikan? Apakah yang kau lakukan nggak menyalahi kodrat? Biar gimana perempuan kan harus kembali ke rumah? Demikian kalimat-kalimat yang sering diucapkan tentang perempuan karier, atau mereka yang masuk dunia kerja yang dianggap wilayah laki-laki. Ironisnya, komentar seperti ini seringkali justru datang dari kalangan perempuan sendiri. Mereka menganggap kaumnya itu sudah kebablasan, ambisius, lupa kodratnya, atau ingin jadi "laki-laki." Tapi sejarah peradaban manusia terus berjalan. Kehadiran perempuan di berbagai bidang kehidupan dan ranah publik tak bisa dibendung, meski tembok budaya patriarkal terus menghadang. "If all men are created equal, why not women?" Begitu biasanya aktivis perempuan menanggapi berbagai bentuk diskriminasi yang dihadapi kaumnya.Sekarang perempuan karier makin tersebar di mana-mana. Mereka ada di dunia birokrasi, swasta, akademisi, maupun masyarakat sipil. Meski jumlahnya secara absolut masih kecil, tapi persentasenya terus membesar. Tak sekadar asal hadir, mereka juga ikut menentukan dalam pembuatan kebijakan.
Terlepas pro dan kontra terhadap kebijakannya, Megawati tercatat dalam sejarah sebagai Presiden perempuan pertama Indonesia. Ada pula Sri Mulyani dan Marie Pangestu yang duduk di Kabinet Indonesia Bersatu. Di dunia militer ada Laksamana Pertama Kristina Rantatena, perempuan dengan pangkat tertinggi di TNI AL.
Di medan bisnis partikelir, Eva Riyanti Hutapea pernah memimpin salah satu perusahaan mie terbesar di dunia. Kemudian ada Rini Soewandi, mantan menteri perdagangan, yang juga pernah menjadi direktur utama perusahaan otomotif dan agribisnis paling besar di Indonesia.
Ada pula Sri Urip yang pernah menjadi eksekutif sebuah perusahaan distribusi multinasional terbesar di Indonesia. Belum lagi Gunarni Soeworo yang pernah memimpin bank terkemuka dan Mirta Kartohadiprodjo yang puluhan tahun mengelola dan membesarkan Grup Media Femina.
Di bidang diplomasi, ada rising star bernama Retno Marsudi. Dia seorang diplomat karier yang menjadi duta besar perempuan termuda yang kinerjanya mendapat banyak pujian dan penghargaan. Akhirnya kurang pas kalau kita tidak menyebut pemimpin industri kosmetika Moeryati Soedibyo, yang juga anggota DPD DKI, dan Martha Tilaar. Sebagian produk kosmetik mereka diekspor ke mancanegara dan perusahaan mereka membuka lapangan kerja yang begitu banyak bagi masyarakat Indonesia.
Ada pula perempuan-perempuan biasa yang melakukan tindakan luar biasa. Sebut saja para tenaga kerja wanita. Dengan tekad baja mereka terbang ke Hongkong, Taiwan, Malaysia, dan Timur Tengah mengadu nasib mencari uang untuk diri dan keluarganya. Mereka menciptakan lapangan kerja sendiri, menyumbang devisa bagi negara, mengurangi urbanisasi dan mencegah ledakan sosial yang lebih besar.
Sayangnya kita masih memandang sebelah mata keluarbiasaan mereka. Padahal masih utuhnya Indonesia saat ini mungkin sebagian berkat jasa me-reka. Kita belum menyebut perempuan seperti Ponirah, seorang tukang becak di Yogyakarta, atau Suyantji yang mencari nafkah sebagai sopir bus malam. Begitu pula Dati yang cuma menjadi buruh gendong di Solo. Diskriminasi terhadap perempuan selama ini-dengan alasan budaya atau dibungkus agama-nyatanya tidak bisa menghalangi kehadiran mereka.
Wacana atau pembicaraan sehari-hari tentang perbedaan laki-laki dan perempuan mungkin mulai mencair -terlepas karena adanya kesadaran baru dalam masyarakat atau hanya sekadar pemanis bibir. Tapi faktanya kita masih melihat adanya "pintu penghalang" yang sukar ditembus kalangan perempuan untuk bisa berkiprah dan berprestasi di dalamnya.
Padahal justru saat ini keterlibatan perempuan dalam banyak segi kehidupan merupakan sebuah keniscayaan di sebuah negeri dimana krisis multidimensi masih berkepanjangan. Negara-negara tetangga sudah relatif bisa lepas dari krisis ekonomi, tapi kita masih sibuk dengan "pernak-pernik" politik yang tidak habis-habisnya.
Para pejabat dan politisi kita yang mayoritas laki-laki umumnya masih menjalankan segala aktivitasnya seolah dalam situasi normal, business as usual. Tak ada terobosan-terobosan atau pembaharuan-pembaharuan untuk bisa memperbaiki keadaan. Pada titik ini, ada kelompok-kelompok perempuan dalam masyarakat yang telah "menolong" Indonesia meski mereka sendiri umumnya masih termajinalkan. Mereka seharusnya bisa terlibat lebih jauh dalam menentukan nasib republik ini.
Ingat saja, wajah kemiskinan kita adalah wajah perempuan. Merekalah yang selama ini paling banyak "berkorban" dan "dikorbankan" dalam proses yang bernama pembangunan nasional.
Maka alangkah naif bila soal kesetaraan gender masih banyak dilihat sebagai masalah perempuan saja. Padahal prinsip dari kesetaraan gender adalah, (a) Ini bukan "pertempuran" antara laki-laki dan perempuan; (b) Ini bukan masalah anti-laki-laki; (c) Yang dirugikan dari ketidaksetaraan gender adalah laki-laki dan perempuan, meski perempuan tampaknya yang lebih menderita; dan (d) Tidak bisa tidak, laki-laki dan perempuan harus bersama-sama menyelesaikan persoalan bangsa ini.
Keduanya bekerjasama saja tidak ada jaminan bahwa masalah bangsa yang sudah kronis ini bisa terselesaikan. Maka amat mengherankan bila saat ini ada kelompok masyarakat yang masih melakukan diskriminasi gender dengan alasan budaya, kodrat, agama dan sejenisnya.
"Pengalaman perempuan" adalah sebuah istilah kunci yang memperlihatkan bagaimana perempuan yang hidup pada masyarakat berbudaya patriarkal, dikondisikan untuk selalu terbiasa mendahulukan saudara, kakak, atau adik laki-lakinya dibandingkan dirinya sendiri. Mereka pun selalu diminta mengayomi dan berkorban untuk keluarga.
Namun, dengan "pengalaman perempuan" ini juga mereka menampilkan diri dalam dunia publik secara berbeda. Mereka lebih memprihatinkan masalah-masalah yang nyata dan dekat dalam hidup seperti pendidikan, kesehatan ibu dan anak, dan persoalan sosial lainnya. Buat mereka hal-hal itu jauh lebih penting ketimbang masalah anti-terorisme, perang melawan separatis dan isu-isu panas lainnya.
Dalam memaknai kebijakan politik dan ekonomi pun mereka seringkali menggunakan "wajah feminin." Di sana rasa kebersamaan, solidaritas dan kerjasama lebih menonjol ketimbang afiliasi karier, partai maupun ideologi politik.
Mari kita akui saja "politik dengan wajah maskulin" yang berciri arena pertempuran seperti kalah-menang, We-They, dan kuat-lemah, sudah gagal dalam menyelesaikan persoalan bangsa ini. "Women can't lead without men, but men have to this day considered themselves capable of leading without women. Women would always take men into consideration. That's the difference," begitu Vigdis, mantan Presiden Islandia, pernah berkata. Selamat Hari Perempuan Indonesia!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo