JAMAAH haji ber-Idul Adha di Padang Arafat--10 Zulhijjah, yang
jatuh pada 18 Oktober tahun ini. Di sana mereka melaksanakan
salat--setelah melewati acara wuquf ("berdiri", atau "tinggal"
di padang itu) sejak hari kemarin. Mereka, termasuk jamaah kita,
adalah para jamaah modern--di zaman yang segala sesuatunya sudah
serba mudah. Tidak seperti bapak-nenek kita dahulu, yang harus
berangkat berhaji dengan kapal uap atau perahu layar, menempuh
perjalanan berbulan-bulan, dengan persediaan mental bahwa mereka
barangkali juga ditakdirkan akan meninggalkan keluarga untuk
selama-lamanya. Bagaimana orang berhaji di zaman kuno? Bagaimana
keadaan di Tanah Suci sendiri?
Ibnu Jubair adalah seorang tokoh muslim Spanyol. Lahir di
Valencia 1145 dan meninggal di Iskandariah, Mesir, 1217 Masehi.
Waktu itu negerinya, Spanyol terbagi dua. Separuh sebelah utara
dikuasai empat kerajaan Kristen (termasuk Portugal, tanpa bagian
selatan seperti yang sekarang). Sedang separuh yang
selatan--disebut Andalusia--berada di bawah Kesultanan Al
Muwahhidin (Almohad) yang beribukotakan Maroko, Afrika Barat
Laut. Ibnu Jubair adalah putra seorang pejabat di Valencia, kota
pantai yang cantik itu. Ia menjadi gubernur Al Muwahhidin untuk
wilayah Granada Di tahun 1183 ia meninggalkan posnya untuk
memulai perjalanan ke Mekah --yang diselesaikannya dalam dua
tahun.
Perjalanan itu sendiri punya sebab. Selain sebagai kewajiban
atas tiap muslim yang mampu, juga sebagai pernyataan tobat dari
sang gubernur yang, mendekati umur 40-an tahun itu, baru saja
berhenti dari kebiasaannya minum arak. Tapi Yan penting: ia
mencatat dengan teliti semua yang dialaminya -- sebagai "orang
Barat" yang baru pertama kali berlayar "begitu jauh" ke Mekah,
negeri yang merupakan pusat agamanya sendiri.
Catatan tersebut, yang membuat namanya masyhur dalam sejarah,
memuat pengalamannya di Lautan Mediterranea di dalam
perahu-perahu Genoa, pertemuannya yang tidak menyenangkan dengan
para pemungut cukai baik dari pihak Kristen maupun Islam (di
masa Perang Salib itu), lukisan Kota Kairo di bawah Sultan
Salahuddin Al Ayyubi, perjalanannya memudiki Sungai Nil--dan
menyeberang Laut Merah ke Jeddah, Mekah dan Medinah.
Ia pulang lewat Jaan lain: trak, Suriah, Sicilia, dan tembus ke
Valencia kota kelahirannya. Di sanahh ia menyerahkan seluruh
pekamannya yang kemudian diterbitkan dengan judul Ar Rihlah
(Perjalanan). Di belakang hari terjemahan dilakukan ke bahasa
Inggris oleh R.J.C. Broadhurst, 1952, dan ke bahasa Prancis oleh
Maurice Gaudelfroy-Demombynes, 1949-56. Ada pula dipetik oleh
James Kritzek dalam Anthology of Islamic Literature.
Ibnu Jubair memulai catatan untuk bagian Tanah Suci dengan keluh
kesah. Ia menulis begini: "Alangkah bahagianya mendarat di
Jeddah dalam keadaan selamat oleh rahmat Allah yang Maha Besar.
Dengan sangat kami pun memohon, agar kalau bisa nanti tidak
pulang melalui lautan yang ganas itu lagi. Kecuali kalau ada
aral melintang yang mencegah kami balik lewat berbagai jalan
lain. Biarlah semuanya tergantung kepada Tuhan yang Maha Kuasa."
LALU ia melukiskan Jeddah, di negeri yang jauh terbelakang
dibanding negerinya itu, sebagai hanya sebuah "desa di tepi
pantai". Kebanyakan rumahnya buat dari jerami. Punya cukup
banyak penginapan dari batu dan lunpur. Di tempat
penginapan biasanya dibikin pula bangunan serta kamar-kamar
tambahan. Pada malam hari, orang bisa beristirahat dengan enak
di bagian sotoh (atap) itu.
Peninggalan-peninggalan kunrupanya waktu itu masih cukup banyak
di situ. Garis-garis tembok tua yang mengeliiingi "kota"
itu pun masih jelas. Di tengah Jeddah ada sebuah kubah berongga,
yang dipercaya sebagai tempat Siti Hawa, "ibu segala
kebudayaan", pernah menginap dalam perjalanannya menuju ke
Mekah.
Ingatkah anda kisah yang cukup populer, bahwa Siti Hawa, waktu
terusir dari surga, terpisah dari suaminya? Ibu kita itu konon
"mendarat" di Mesopotamia, di antara sungai-sungai Furat dan
Dailah (Tigris) di Irak. Sedang-Adam "jatuh " di India atau
Srilangka. Anehnya di India sendiri ada kepercayaan bahwa
agama Hindu itu dulu-dulunya diajarkan oleh "manusia
pertama". Sedang di Srilangka ada Gunung Saripada, di
Pegunungan Tujuh Perawan Suci, yang puncuknya tertinggi disebut
oleh penduduk "Puncak Adam". Di situlah beberapa tahun lalu
pesawat Martinair yang mengangkut jamaah haji kita jatuh
berantakan - ingat, jamaah haji kita jatuh berantakan-ingat?
Adam dan Hawa konon lantas bertemu di Arafat. Karenanya padang
itu menjadi pusat pertemuan seluruh anak-cucu mereka dari segala
warna kulit di belakang hari. Dalam perjalanan mencari sang
suami itulah ibu kita yang tercinta itu, mestinya, lewat Jeddah.
Bahkan konon di situ pula akhirnya beliau berkubur.
Nah. Monumen itu didirikan untuk menggambarkan rasa syukur dan
kebesaran. Tapi "Tuhanlah yang pang mengetahui kebenarannya,"
kata sang penulis.
Kota ini juga punya "masjid keramat," kata si penulis menirukan
anggapan penduduk setempat. Itu konon peningglan Umar ibn
alKhattab, khalifah kedua yang memerintah 634-644 M. Satu lagi,
dengan dua pilar dari kayu eboni, juga peninggalannya. Tapi ada
juga yang menganggapnya peninggalan Harun Al Rashid, khalifah
ke-5 (786-89) dari Dinasti Abbasiah di Baghdad. Sekarang
tentang kedua masjid itu tidak terdengar kabar lagi.
Kebanyakan penduduk kota, padang pasir sekitarnya dan
gunung-gunungnya, adalah kaum syarif--kaum Ali, kaum Hasan, kaum
Husain dan kaum Jafari. "Semoga kiranya Tuhan berkenan kepada
para nenek-moyang mereka," tulis si pengarang. Mereka adalah
anak-cucu Nabi Muhammad melalui Ali dan Fatimah. Dari merekalah
lahir kaum Syi'ah dan kaum 'Alawi, keturunan Nabi yang bukan
Syi'ah.
Orang-orang itu menjalani kehidupan yang keras--"bagai memecah
batu paling atos di dalam penderitaan". Mereka menyewakan unta,
menjual susu, air, kurma, kayu ataupun barang-barang lain yang
dapat mereka kumpulkan. Tak jarang kaum wanita mereka, yang
disebut syrifah ("wanita mulia") itu, ikut bekerja keras.
Di luar kota berserakanlah puing-puing bangunan kuno yang
tinggal fondasi. Konon dulunya kota bangsa Persia. Terbuat dari
batu-batu karang berbalok-balok yang dikaitkan satu dengan
lainnya. Tak terhitung jumlahnya. Yang di luar kota saja konon
360 buah, sebanyak itu pula yang di dalam kota.
Jumlah besar lain dari kaum Hijaz (daerah di Saudi sebelah
barat, termasuk Mekah, Medinah, Jeddah) adalah suku-suku bangsa
yang terpecah-pecah dalam berbagai doktrln dan hakikatnya "tidak
punya agama". Mereka memperlakukan jamaah haji "tidak seperti
memperlakukan kaum Yahudi dan Kristen". Mereka selalu mencoba
menguasai, menangkap, merampok atau merampas segala kekayaan
para jamaah. Para jamaah diharuskan terus membayar pajak dan
makanan--sampai mereka pulang.
Dan, kata Ibnu Jubair, tekanan tanpa ampun ini akan terus
berlangsung seandainya Allah tidak turun tangan membantu para
muslim melalui Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1171-1193 M).
Salahuddin (Saladin, menurut lidah Barat) mencabut pajak bea.
Tapi sebagai gantinya para iamaah masih diminta membawakan uang
atau persediaan makanan kepada Mukthir, Amir Mekah. Celakanya
sang amir orang yang serakah. J ika kiriman terlambat sedikit
saja, ia--atau wakil-wakilnya-mengintimidasi. Bahkan
terang-terangan memenjarakan mereka sebagai ganti rugi.
INILAH yang terjadi ketika kami sampai di Jeddah. Kami
ditangkap. Amir memerintahkan para jamaah saling menjamin
pembayaran, sebelum diizinkan masuk Tanah Suci. Tanah Tuhan itu
diperlakukan seakan-akan harta pusaka pribadi yang disewakan
Amir kepada para jamaah. Perlakuan itu, menurutsi pengarang,
mungkin tak akan terjadi kalau Sultan Salahuddin yahg bijak itu
tidak pergi berperang melawan kaum Frank di Suriah--dalam Perang
Salib yang melewati hitungan abad itu.
Dalam pandangan Ibnu Jubair, orang Hejaz sudah kendur talinya
dengan Islam. Bahkan mereka merampoki dan membunuhi jamaah. Para
ahli hukum Andalusia berpendapat: sharusnya kaum jamaah
tidak'dibebani berbagai kewajiban seperti itu. Allah tidak
bermaksud menjadikan tempat suci-Nya alat pemerasan umatnya. Di
tangan orang Hejaz, tanah suci itu dipakai secara licik untuk
merampok dan menjadikan orang lain papa. "Semoga Tuhan segera
memperbaiki dan menyucikan tempat ini, membebaskan para muslim
dari perpecahan yang menghancurkan ini--dengan pedang para
Almuwahhidin (kesultanan Afrika Utara Spanyol itu), pembela
iman, hamba Tuhan yang memiliki kebenaran, pembela Haram Allah
yang Maha Kuasa. Mereka menjauhkan diri dari yang jahat,
mengagungkan nama-Nya dengan khusyuk, menyebar pesan Tuhan, dan
memegang teguh ajaranNya. Pasti Tuhan akan berbuat sesuai dengan
kehendak-Nya." Demikian Ibnu Jubair memuji pemerintahnya
sendiri.
Bila kita membaca seiarah Islam, kita tahu antara abad ke-8 dan
ke-13 Masehi seluruh dunia Islam jatuh ke dalam pelukan mistik.
Ini juga disebut Hamka dalam bukunya Tasauf dari Abad ke Abad.
Mistik itu bercampurbaur, banyak dari sekte-sektenya yang sesat
dan "tidak terkontrol", bahkan mengalami demoralisasi dan liar.
Kecuali di Barat, yakni Spanyol dan Maghrib. Di sini terutama
ditekankan segi pemikiran dan filsafat. Kelanjutan tulisan Ibnu
Jubair memperjelas hal itu:
Haruslah ditegaskan di sini, bahwa tak ada Islam kecuali Islam
di tanah Maghrib (Barat). Di sana para muslim mengikuti jalan
benar tanpa perpecahan seperti yang terjadi di Timur. Di Timur
sekte-sekte dan kelompok-kelompok murtad dan mungkar
berkuasa--kecuali mereka yang telah diselamatkan Allah. Di mata
Tuhan tak ada keadilan, kebenaran dan agama--kecuali yang dianut
para Almuwahhidin --semoga mereka beriaya. Merekalah imam-imam
adil yang tersisa di zaman ini. Raja-raja masa kini lainnya
mengikuti jalan yang lain--meminta upeti dari pedagang muslim,
menyita dagangan mereka dengan segala tipu dan alasan, menindas
dengan cara tak terperi. Kecuali tentu saja Sultan Salahhudin
yang telah kita sebutkan tadi. Sayang ia tidak punya pendukung
untuk membela kebenaran . . . "
***
Batu Hitam, Hajar Aswad yang diberkati itu, terbungkus dalam
kotak di sudut Ka'bah menghadap ke timur. Kedalamannya tidak
diketahui, tapi kata orang masuk sedalam dua hasta ke tembok.
Lebarnya duapertiga jengkal, Batu itu terdiri dari empat pecahan
yang disatukan. Konon kaum Qarmat yang telah memecahkannya.
Kaum Qarmat adalah satu sekte ekstrim dari Syi'ah Isma'iliah.
Mereka berhasil menguasai Semenanjung Arab beberapa puluh tahun
di awal abad ke10 Masehi. Menduduki Mekah, kemudian mencopot
Hajar Aswad dari tempatnya di Ka'bah untuk dibawa ke Bahrain,
pusat mereka--buat azimat. Batu itu kemudian bisa dikembalikan
oleh Khalifah Al Mansur dari Dinasti Fathimiah di Mesir, sebuah
cabang Syi'ah yang lain, pada 951.
UJUNG-UJUNG kotak itu ditutup dengan lempengan perak yang
bersinar terang pada batu hitam yang mulus dan menyala itu.
Orang yang melihat akan terpesona.
Dan kalau dicium, terasa lembut dan basah. Begitu menyenangkan,
sehingga barangsiapa pernah meletakkan bibirnya di sana akan
berharap tak akan melepaskannya lagi.
Tak ada yang tahu persis sebenarnya dari mana batu itu--tidak
seperti batu marmar yang dipakai buat dinding Ka'bah sendiri,
yang diperkirakan diambil dari pegunungan granit di sekitar
Mekah zaman kuno. Hanya menurut riwayat tradisional, batu itu
dahulu diberikan oleh Jibrail kepada Adam, sebagai bekal
membangun "tiruan dari Baitul 'Izzah"--tempat yang dekat dengan
Lauh Mahfuzh, di "alam sana" di bumi. Betapa pun, kata Ibnu
Jubair:
"Ini adalah anugerah istimewa Tuhan, dan layaklah bagi Nabi
--semoga Tuhan memberkati beliau--untuk meresmikannya sebagai
perjanjian Tuhan di muka bumi."
Di bagian batu yang tidak retak, di kanan orang yang hendak
mencium, ada titik putih kecil yang bersinar di atas permukaan
suci ini. Ada kepercayaan bahwa siapa yang memandang titik ini
akan jernih pandangannya. "Dan hendaknya bila hendak mencium
batu kita mendekatkan bibir ke titik tersebut," nasihat sang
pengarang.
Adapun Masjid Suci, ia dikelilingi oleh pilar tiga jajar, yang
dibuat sedernikian rupa sehingga kelihatan sebagai satu barisan.
Panjangnya empatratus hasta, lebarnya tiga ratus dan luasnya
empat puluh delapan maraja'. Satu maraja' adalah ukuran luas
orang Jazirah Arab Barat yang sama dengan limapuluh hasta
kuadrat.
Jarak antara barisan pilar sangat besar, tapi di zaman Nabi
iarak itu lebih pendek sedang kubah Zamzam berada di luarnya.
Pilar utama menghadap ke Sudut Suriah dan dipasak ke tanah.
Pilar ini dulu menjadi batas Haram. Jarak antara pilar utama dan
Sudut Suriah adalah duapuluh dua langkah.
Ka'bah adalah pusat Masjid Haram ini. Empat sisinya menghadap ke
timur, selatan, utara dan barat. Jumlah pilar marmar, "yang'saya
hitung sendiri," adalah empat ratus dan tujuhpuluh satu. Ini tak
termasuk pilar semen yang disebut Dar al-Nadwah (Rumah Sidang)
yang ditambahkan ke Haram. Rumah ini berada dalam barisan pilar
yang datang dari barat ke utara, berhadapan dengan Maqam Ibrahim
dan Sudut Iraq.
Di depan Dar al-Nadwah, ada lapangan luas yang bisa dimasuki
dari barisan pilar. Sedang di sepanjang pilar berderet
bangku-bangku di bawah atap lengkung. Di situ duduk tukang salin
naskah yang bekerja berdasar pesanan (maklum belum ada
percetakan), pembaca AJ Qur'an dan para tukang jahit.
Dalam Masjid Haram para murid duduk mengelilingi guru mereka
maupun orang-orang terpelajar. Di sepanjang dinding barisan
pilar yang berada di hadapan mereka, juga ada bangkubangku dan
atap lengkung. Ini adalah barisan pilar dari selatan ke timur.
Di deret yang lain tak ada atap lengkung. Bangunan ini di Haram
sedang berada di puncak kesempurnaannya.
BULAN baru pada bulan ini (Zulhijjah, 1184 Hijri) naik pada
malam Kamis, tepat pada 15 Maret. Dalam menantikan saat itu
khalayak ramai sering dihinggapi suasana yang aneh dan
mengada-ada. Terjadilah yang demikian ini:
Orang sedang menantikan munculnya bulan baru. Di horison udara
mengental dan awam bertumpuk tebal. Matahari yang sedang
tenggelam memantulkan sinar yang merah mengkilap. Orang-orang
dengan berdebar menantikan dan mengharap, agar awan bergerak
sehingga mereka bisa melihat terbitnya bulan baru.
Saat itu seseorang berteriak: "Allahu Akbar!". Dan seluruh massa
mengikutinya: "Allahu Akbar!"Mereka berdiri untuk melihat
sesuatu yang sebenarnya tidak ada--dan menunjukke arah apa yang
mereka bayangkan sendiri sebagai bulan baru. Mereka ini ingin
sekali agar acara wuquf di Padang Arafat jatuh tepat hari Jumat,
dan dengan demikian ibadat haji terhitung sebagai 'haji
akbar'--yang mempunyai nilai istimewa.
Dan karena itu hawa nafsu mereka menang: mereka memberikan
buktibukti palsu. Seiumlah kaum Maghribi (Maroko dan sekitarnya)
bersama beberapa orang Mesir, pergi ke Qadi untuk melaporkan.
Qadi menjawab mereka dengan keras dan menolak buktibukti mereka,
lalu mempermalukan mereka dengan berkata: "A'uzubillah! Kalau
kamu mengatakan melihat matahari di bawah awan setebal itu saja
pun, aku tak percaya. Apalagi bulan baru yang berumur duapuluh
sembilan malam!"
Katanya lagi: "Orang Maghribi ini kacau. Sehelai bulu alis
mereka menutupi mata, dan mereka kira itu bulan baru." Jadi ini,
yang bernama Jamal al-Din, menunjukkan kesalahan dengan
meyakinkan--sehingga akhirnya para ahli memujinya dan
berterimakasih.
Pada malam Sabtu, baru bulan itu muncul ketika awan bergerak.
Bulan ketigapuluh ini bersinar indah. Khalayak mulai
berteriak-teriak mengumumkan bahwa wuquf dl Gunung Arafat akan
diadakan Jurnat. (Rupanya andaikata bulan muncul hari
kemarinnya, wuquf justru tidak jatuh di hari Jumat, melainkan
Kamis). Mereka berseru: "Puji Tuhan yang tidak membiarkan usaha
kita sia-sia, yang tidak menolak permohonan kita." Seakan
merupakan suatu kebenaran bahwa jika acara wuquf tidak jatuh di
hari Jumat tidak akan berkenan bagi Tuhan, dan kerahiman Tuhan
tak bisa di harap sama sekali. Tuhan lebih dari segalanya.
Esok paginya mereka menjumpai Qadi. Yang terakhir ini
mengatakan: ia telah meminta izin rutin kepada Emir Mukthir
bahwa naik ke Gunung Arafat akan dilakukan Jumat pagi kelak.
Mereka akan ber-wuquf sorenya dan Sabtu pagi, dan akan
melewatkan malam di Muzdalifah.
Kalau acara berdiri itu dilakukan hari Jumat, tak ada keberatan
terhadap dimundurkannya acara menginap di Muzdalifah, karena ini
diizinkan oleh Imam Muslim, demikian Ibnu Jubair. Imam Muslim
adalah tokoh raksasa yang bersama dengan Bukhari merupakan
penyelidik dan bapak llmu Hadis yang besar. Semua yang hadir
berterimakasih pada Qadi atas keterangannya itu dan berdoa
untuknya.
BULAN yang diberkati ini, Zulhijjah, adalah bulan ketiga dari
empat bulan suci yang resmi di dalam Islam. Tiga yang lain ialah
Muharram atau 'Asyura, Safar dan Rajab. Sepuluh hari pertama
Zulhijjah adalah saat jamaah mulai berkumpul. Sesudahnya akan
merupakan saat-saat seruan: Labbayka, "Hamba di sini, Allah,
memenuhi undangan-Mu"--dan masa penyembelihan korban. Ini juga
saat pertemuan para iamaah dari segala penjuru dunia. Inilah
tujuan kerahiman dan berkah Tuhan.
Suatu keajaiban yang nyata, kata Ibnu Jubair, bahwa Kota Aman
ini (Mekah) dapat menampung semua rombongan ini. Mekah terletak
di lembah yang lebarnya hanya sepelempar anak panah. Seandainya
semua yang ditampung kota ini dipindahkan ke kota terbesar mana
pun di dunia, tak akan cukup. Kota agung ini dengan keajaibannya
hanya dapat dibandingkan dengan analogi para ulama: semakin
membesarnya pendatang adalah seperti janin di sebuah
rahim--rahim itu akan mengembang. Demikianlah halnya Arafat dan
masjid-masjid mulia di Tanah Suci. "Semoga Tuhan dengan
kerahiman-Nya memperbesar kesuciannya dan memberikan kasihNya
kepada kita."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini