Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pergi Haji, 800 Tahun Lalu

Jamaah haji di zaman kuno dan keadaan tanah suci di Arab Saudi. Suatu keajaiban kota Mekah dapat menampung semua rombongan haji.

10 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAMAAH haji ber-Idul Adha di Padang Arafat--10 Zulhijjah, yang jatuh pada 18 Oktober tahun ini. Di sana mereka melaksanakan salat--setelah melewati acara wuquf ("berdiri", atau "tinggal" di padang itu) sejak hari kemarin. Mereka, termasuk jamaah kita, adalah para jamaah modern--di zaman yang segala sesuatunya sudah serba mudah. Tidak seperti bapak-nenek kita dahulu, yang harus berangkat berhaji dengan kapal uap atau perahu layar, menempuh perjalanan berbulan-bulan, dengan persediaan mental bahwa mereka barangkali juga ditakdirkan akan meninggalkan keluarga untuk selama-lamanya. Bagaimana orang berhaji di zaman kuno? Bagaimana keadaan di Tanah Suci sendiri? Ibnu Jubair adalah seorang tokoh muslim Spanyol. Lahir di Valencia 1145 dan meninggal di Iskandariah, Mesir, 1217 Masehi. Waktu itu negerinya, Spanyol terbagi dua. Separuh sebelah utara dikuasai empat kerajaan Kristen (termasuk Portugal, tanpa bagian selatan seperti yang sekarang). Sedang separuh yang selatan--disebut Andalusia--berada di bawah Kesultanan Al Muwahhidin (Almohad) yang beribukotakan Maroko, Afrika Barat Laut. Ibnu Jubair adalah putra seorang pejabat di Valencia, kota pantai yang cantik itu. Ia menjadi gubernur Al Muwahhidin untuk wilayah Granada Di tahun 1183 ia meninggalkan posnya untuk memulai perjalanan ke Mekah --yang diselesaikannya dalam dua tahun. Perjalanan itu sendiri punya sebab. Selain sebagai kewajiban atas tiap muslim yang mampu, juga sebagai pernyataan tobat dari sang gubernur yang, mendekati umur 40-an tahun itu, baru saja berhenti dari kebiasaannya minum arak. Tapi Yan penting: ia mencatat dengan teliti semua yang dialaminya -- sebagai "orang Barat" yang baru pertama kali berlayar "begitu jauh" ke Mekah, negeri yang merupakan pusat agamanya sendiri. Catatan tersebut, yang membuat namanya masyhur dalam sejarah, memuat pengalamannya di Lautan Mediterranea di dalam perahu-perahu Genoa, pertemuannya yang tidak menyenangkan dengan para pemungut cukai baik dari pihak Kristen maupun Islam (di masa Perang Salib itu), lukisan Kota Kairo di bawah Sultan Salahuddin Al Ayyubi, perjalanannya memudiki Sungai Nil--dan menyeberang Laut Merah ke Jeddah, Mekah dan Medinah. Ia pulang lewat Jaan lain: trak, Suriah, Sicilia, dan tembus ke Valencia kota kelahirannya. Di sanahh ia menyerahkan seluruh pekamannya yang kemudian diterbitkan dengan judul Ar Rihlah (Perjalanan). Di belakang hari terjemahan dilakukan ke bahasa Inggris oleh R.J.C. Broadhurst, 1952, dan ke bahasa Prancis oleh Maurice Gaudelfroy-Demombynes, 1949-56. Ada pula dipetik oleh James Kritzek dalam Anthology of Islamic Literature. Ibnu Jubair memulai catatan untuk bagian Tanah Suci dengan keluh kesah. Ia menulis begini: "Alangkah bahagianya mendarat di Jeddah dalam keadaan selamat oleh rahmat Allah yang Maha Besar. Dengan sangat kami pun memohon, agar kalau bisa nanti tidak pulang melalui lautan yang ganas itu lagi. Kecuali kalau ada aral melintang yang mencegah kami balik lewat berbagai jalan lain. Biarlah semuanya tergantung kepada Tuhan yang Maha Kuasa." LALU ia melukiskan Jeddah, di negeri yang jauh terbelakang dibanding negerinya itu, sebagai hanya sebuah "desa di tepi pantai". Kebanyakan rumahnya buat dari jerami. Punya cukup banyak penginapan dari batu dan lunpur. Di tempat penginapan biasanya dibikin pula bangunan serta kamar-kamar tambahan. Pada malam hari, orang bisa beristirahat dengan enak di bagian sotoh (atap) itu. Peninggalan-peninggalan kunrupanya waktu itu masih cukup banyak di situ. Garis-garis tembok tua yang mengeliiingi "kota" itu pun masih jelas. Di tengah Jeddah ada sebuah kubah berongga, yang dipercaya sebagai tempat Siti Hawa, "ibu segala kebudayaan", pernah menginap dalam perjalanannya menuju ke Mekah. Ingatkah anda kisah yang cukup populer, bahwa Siti Hawa, waktu terusir dari surga, terpisah dari suaminya? Ibu kita itu konon "mendarat" di Mesopotamia, di antara sungai-sungai Furat dan Dailah (Tigris) di Irak. Sedang-Adam "jatuh " di India atau Srilangka. Anehnya di India sendiri ada kepercayaan bahwa agama Hindu itu dulu-dulunya diajarkan oleh "manusia pertama". Sedang di Srilangka ada Gunung Saripada, di Pegunungan Tujuh Perawan Suci, yang puncuknya tertinggi disebut oleh penduduk "Puncak Adam". Di situlah beberapa tahun lalu pesawat Martinair yang mengangkut jamaah haji kita jatuh berantakan - ingat, jamaah haji kita jatuh berantakan-ingat? Adam dan Hawa konon lantas bertemu di Arafat. Karenanya padang itu menjadi pusat pertemuan seluruh anak-cucu mereka dari segala warna kulit di belakang hari. Dalam perjalanan mencari sang suami itulah ibu kita yang tercinta itu, mestinya, lewat Jeddah. Bahkan konon di situ pula akhirnya beliau berkubur. Nah. Monumen itu didirikan untuk menggambarkan rasa syukur dan kebesaran. Tapi "Tuhanlah yang pang mengetahui kebenarannya," kata sang penulis. Kota ini juga punya "masjid keramat," kata si penulis menirukan anggapan penduduk setempat. Itu konon peningglan Umar ibn alKhattab, khalifah kedua yang memerintah 634-644 M. Satu lagi, dengan dua pilar dari kayu eboni, juga peninggalannya. Tapi ada juga yang menganggapnya peninggalan Harun Al Rashid, khalifah ke-5 (786-89) dari Dinasti Abbasiah di Baghdad. Sekarang tentang kedua masjid itu tidak terdengar kabar lagi. Kebanyakan penduduk kota, padang pasir sekitarnya dan gunung-gunungnya, adalah kaum syarif--kaum Ali, kaum Hasan, kaum Husain dan kaum Jafari. "Semoga kiranya Tuhan berkenan kepada para nenek-moyang mereka," tulis si pengarang. Mereka adalah anak-cucu Nabi Muhammad melalui Ali dan Fatimah. Dari merekalah lahir kaum Syi'ah dan kaum 'Alawi, keturunan Nabi yang bukan Syi'ah. Orang-orang itu menjalani kehidupan yang keras--"bagai memecah batu paling atos di dalam penderitaan". Mereka menyewakan unta, menjual susu, air, kurma, kayu ataupun barang-barang lain yang dapat mereka kumpulkan. Tak jarang kaum wanita mereka, yang disebut syrifah ("wanita mulia") itu, ikut bekerja keras. Di luar kota berserakanlah puing-puing bangunan kuno yang tinggal fondasi. Konon dulunya kota bangsa Persia. Terbuat dari batu-batu karang berbalok-balok yang dikaitkan satu dengan lainnya. Tak terhitung jumlahnya. Yang di luar kota saja konon 360 buah, sebanyak itu pula yang di dalam kota. Jumlah besar lain dari kaum Hijaz (daerah di Saudi sebelah barat, termasuk Mekah, Medinah, Jeddah) adalah suku-suku bangsa yang terpecah-pecah dalam berbagai doktrln dan hakikatnya "tidak punya agama". Mereka memperlakukan jamaah haji "tidak seperti memperlakukan kaum Yahudi dan Kristen". Mereka selalu mencoba menguasai, menangkap, merampok atau merampas segala kekayaan para jamaah. Para jamaah diharuskan terus membayar pajak dan makanan--sampai mereka pulang. Dan, kata Ibnu Jubair, tekanan tanpa ampun ini akan terus berlangsung seandainya Allah tidak turun tangan membantu para muslim melalui Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1171-1193 M). Salahuddin (Saladin, menurut lidah Barat) mencabut pajak bea. Tapi sebagai gantinya para iamaah masih diminta membawakan uang atau persediaan makanan kepada Mukthir, Amir Mekah. Celakanya sang amir orang yang serakah. J ika kiriman terlambat sedikit saja, ia--atau wakil-wakilnya-mengintimidasi. Bahkan terang-terangan memenjarakan mereka sebagai ganti rugi. INILAH yang terjadi ketika kami sampai di Jeddah. Kami ditangkap. Amir memerintahkan para jamaah saling menjamin pembayaran, sebelum diizinkan masuk Tanah Suci. Tanah Tuhan itu diperlakukan seakan-akan harta pusaka pribadi yang disewakan Amir kepada para jamaah. Perlakuan itu, menurutsi pengarang, mungkin tak akan terjadi kalau Sultan Salahuddin yahg bijak itu tidak pergi berperang melawan kaum Frank di Suriah--dalam Perang Salib yang melewati hitungan abad itu. Dalam pandangan Ibnu Jubair, orang Hejaz sudah kendur talinya dengan Islam. Bahkan mereka merampoki dan membunuhi jamaah. Para ahli hukum Andalusia berpendapat: sharusnya kaum jamaah tidak'dibebani berbagai kewajiban seperti itu. Allah tidak bermaksud menjadikan tempat suci-Nya alat pemerasan umatnya. Di tangan orang Hejaz, tanah suci itu dipakai secara licik untuk merampok dan menjadikan orang lain papa. "Semoga Tuhan segera memperbaiki dan menyucikan tempat ini, membebaskan para muslim dari perpecahan yang menghancurkan ini--dengan pedang para Almuwahhidin (kesultanan Afrika Utara Spanyol itu), pembela iman, hamba Tuhan yang memiliki kebenaran, pembela Haram Allah yang Maha Kuasa. Mereka menjauhkan diri dari yang jahat, mengagungkan nama-Nya dengan khusyuk, menyebar pesan Tuhan, dan memegang teguh ajaranNya. Pasti Tuhan akan berbuat sesuai dengan kehendak-Nya." Demikian Ibnu Jubair memuji pemerintahnya sendiri. Bila kita membaca seiarah Islam, kita tahu antara abad ke-8 dan ke-13 Masehi seluruh dunia Islam jatuh ke dalam pelukan mistik. Ini juga disebut Hamka dalam bukunya Tasauf dari Abad ke Abad. Mistik itu bercampurbaur, banyak dari sekte-sektenya yang sesat dan "tidak terkontrol", bahkan mengalami demoralisasi dan liar. Kecuali di Barat, yakni Spanyol dan Maghrib. Di sini terutama ditekankan segi pemikiran dan filsafat. Kelanjutan tulisan Ibnu Jubair memperjelas hal itu: Haruslah ditegaskan di sini, bahwa tak ada Islam kecuali Islam di tanah Maghrib (Barat). Di sana para muslim mengikuti jalan benar tanpa perpecahan seperti yang terjadi di Timur. Di Timur sekte-sekte dan kelompok-kelompok murtad dan mungkar berkuasa--kecuali mereka yang telah diselamatkan Allah. Di mata Tuhan tak ada keadilan, kebenaran dan agama--kecuali yang dianut para Almuwahhidin --semoga mereka beriaya. Merekalah imam-imam adil yang tersisa di zaman ini. Raja-raja masa kini lainnya mengikuti jalan yang lain--meminta upeti dari pedagang muslim, menyita dagangan mereka dengan segala tipu dan alasan, menindas dengan cara tak terperi. Kecuali tentu saja Sultan Salahhudin yang telah kita sebutkan tadi. Sayang ia tidak punya pendukung untuk membela kebenaran . . . " *** Batu Hitam, Hajar Aswad yang diberkati itu, terbungkus dalam kotak di sudut Ka'bah menghadap ke timur. Kedalamannya tidak diketahui, tapi kata orang masuk sedalam dua hasta ke tembok. Lebarnya duapertiga jengkal, Batu itu terdiri dari empat pecahan yang disatukan. Konon kaum Qarmat yang telah memecahkannya. Kaum Qarmat adalah satu sekte ekstrim dari Syi'ah Isma'iliah. Mereka berhasil menguasai Semenanjung Arab beberapa puluh tahun di awal abad ke10 Masehi. Menduduki Mekah, kemudian mencopot Hajar Aswad dari tempatnya di Ka'bah untuk dibawa ke Bahrain, pusat mereka--buat azimat. Batu itu kemudian bisa dikembalikan oleh Khalifah Al Mansur dari Dinasti Fathimiah di Mesir, sebuah cabang Syi'ah yang lain, pada 951. UJUNG-UJUNG kotak itu ditutup dengan lempengan perak yang bersinar terang pada batu hitam yang mulus dan menyala itu. Orang yang melihat akan terpesona. Dan kalau dicium, terasa lembut dan basah. Begitu menyenangkan, sehingga barangsiapa pernah meletakkan bibirnya di sana akan berharap tak akan melepaskannya lagi. Tak ada yang tahu persis sebenarnya dari mana batu itu--tidak seperti batu marmar yang dipakai buat dinding Ka'bah sendiri, yang diperkirakan diambil dari pegunungan granit di sekitar Mekah zaman kuno. Hanya menurut riwayat tradisional, batu itu dahulu diberikan oleh Jibrail kepada Adam, sebagai bekal membangun "tiruan dari Baitul 'Izzah"--tempat yang dekat dengan Lauh Mahfuzh, di "alam sana" di bumi. Betapa pun, kata Ibnu Jubair: "Ini adalah anugerah istimewa Tuhan, dan layaklah bagi Nabi --semoga Tuhan memberkati beliau--untuk meresmikannya sebagai perjanjian Tuhan di muka bumi." Di bagian batu yang tidak retak, di kanan orang yang hendak mencium, ada titik putih kecil yang bersinar di atas permukaan suci ini. Ada kepercayaan bahwa siapa yang memandang titik ini akan jernih pandangannya. "Dan hendaknya bila hendak mencium batu kita mendekatkan bibir ke titik tersebut," nasihat sang pengarang. Adapun Masjid Suci, ia dikelilingi oleh pilar tiga jajar, yang dibuat sedernikian rupa sehingga kelihatan sebagai satu barisan. Panjangnya empatratus hasta, lebarnya tiga ratus dan luasnya empat puluh delapan maraja'. Satu maraja' adalah ukuran luas orang Jazirah Arab Barat yang sama dengan limapuluh hasta kuadrat. Jarak antara barisan pilar sangat besar, tapi di zaman Nabi iarak itu lebih pendek sedang kubah Zamzam berada di luarnya. Pilar utama menghadap ke Sudut Suriah dan dipasak ke tanah. Pilar ini dulu menjadi batas Haram. Jarak antara pilar utama dan Sudut Suriah adalah duapuluh dua langkah. Ka'bah adalah pusat Masjid Haram ini. Empat sisinya menghadap ke timur, selatan, utara dan barat. Jumlah pilar marmar, "yang'saya hitung sendiri," adalah empat ratus dan tujuhpuluh satu. Ini tak termasuk pilar semen yang disebut Dar al-Nadwah (Rumah Sidang) yang ditambahkan ke Haram. Rumah ini berada dalam barisan pilar yang datang dari barat ke utara, berhadapan dengan Maqam Ibrahim dan Sudut Iraq. Di depan Dar al-Nadwah, ada lapangan luas yang bisa dimasuki dari barisan pilar. Sedang di sepanjang pilar berderet bangku-bangku di bawah atap lengkung. Di situ duduk tukang salin naskah yang bekerja berdasar pesanan (maklum belum ada percetakan), pembaca AJ Qur'an dan para tukang jahit. Dalam Masjid Haram para murid duduk mengelilingi guru mereka maupun orang-orang terpelajar. Di sepanjang dinding barisan pilar yang berada di hadapan mereka, juga ada bangkubangku dan atap lengkung. Ini adalah barisan pilar dari selatan ke timur. Di deret yang lain tak ada atap lengkung. Bangunan ini di Haram sedang berada di puncak kesempurnaannya. BULAN baru pada bulan ini (Zulhijjah, 1184 Hijri) naik pada malam Kamis, tepat pada 15 Maret. Dalam menantikan saat itu khalayak ramai sering dihinggapi suasana yang aneh dan mengada-ada. Terjadilah yang demikian ini: Orang sedang menantikan munculnya bulan baru. Di horison udara mengental dan awam bertumpuk tebal. Matahari yang sedang tenggelam memantulkan sinar yang merah mengkilap. Orang-orang dengan berdebar menantikan dan mengharap, agar awan bergerak sehingga mereka bisa melihat terbitnya bulan baru. Saat itu seseorang berteriak: "Allahu Akbar!". Dan seluruh massa mengikutinya: "Allahu Akbar!"Mereka berdiri untuk melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada--dan menunjukke arah apa yang mereka bayangkan sendiri sebagai bulan baru. Mereka ini ingin sekali agar acara wuquf di Padang Arafat jatuh tepat hari Jumat, dan dengan demikian ibadat haji terhitung sebagai 'haji akbar'--yang mempunyai nilai istimewa. Dan karena itu hawa nafsu mereka menang: mereka memberikan buktibukti palsu. Seiumlah kaum Maghribi (Maroko dan sekitarnya) bersama beberapa orang Mesir, pergi ke Qadi untuk melaporkan. Qadi menjawab mereka dengan keras dan menolak buktibukti mereka, lalu mempermalukan mereka dengan berkata: "A'uzubillah! Kalau kamu mengatakan melihat matahari di bawah awan setebal itu saja pun, aku tak percaya. Apalagi bulan baru yang berumur duapuluh sembilan malam!" Katanya lagi: "Orang Maghribi ini kacau. Sehelai bulu alis mereka menutupi mata, dan mereka kira itu bulan baru." Jadi ini, yang bernama Jamal al-Din, menunjukkan kesalahan dengan meyakinkan--sehingga akhirnya para ahli memujinya dan berterimakasih. Pada malam Sabtu, baru bulan itu muncul ketika awan bergerak. Bulan ketigapuluh ini bersinar indah. Khalayak mulai berteriak-teriak mengumumkan bahwa wuquf dl Gunung Arafat akan diadakan Jurnat. (Rupanya andaikata bulan muncul hari kemarinnya, wuquf justru tidak jatuh di hari Jumat, melainkan Kamis). Mereka berseru: "Puji Tuhan yang tidak membiarkan usaha kita sia-sia, yang tidak menolak permohonan kita." Seakan merupakan suatu kebenaran bahwa jika acara wuquf tidak jatuh di hari Jumat tidak akan berkenan bagi Tuhan, dan kerahiman Tuhan tak bisa di harap sama sekali. Tuhan lebih dari segalanya. Esok paginya mereka menjumpai Qadi. Yang terakhir ini mengatakan: ia telah meminta izin rutin kepada Emir Mukthir bahwa naik ke Gunung Arafat akan dilakukan Jumat pagi kelak. Mereka akan ber-wuquf sorenya dan Sabtu pagi, dan akan melewatkan malam di Muzdalifah. Kalau acara berdiri itu dilakukan hari Jumat, tak ada keberatan terhadap dimundurkannya acara menginap di Muzdalifah, karena ini diizinkan oleh Imam Muslim, demikian Ibnu Jubair. Imam Muslim adalah tokoh raksasa yang bersama dengan Bukhari merupakan penyelidik dan bapak llmu Hadis yang besar. Semua yang hadir berterimakasih pada Qadi atas keterangannya itu dan berdoa untuknya. BULAN yang diberkati ini, Zulhijjah, adalah bulan ketiga dari empat bulan suci yang resmi di dalam Islam. Tiga yang lain ialah Muharram atau 'Asyura, Safar dan Rajab. Sepuluh hari pertama Zulhijjah adalah saat jamaah mulai berkumpul. Sesudahnya akan merupakan saat-saat seruan: Labbayka, "Hamba di sini, Allah, memenuhi undangan-Mu"--dan masa penyembelihan korban. Ini juga saat pertemuan para iamaah dari segala penjuru dunia. Inilah tujuan kerahiman dan berkah Tuhan. Suatu keajaiban yang nyata, kata Ibnu Jubair, bahwa Kota Aman ini (Mekah) dapat menampung semua rombongan ini. Mekah terletak di lembah yang lebarnya hanya sepelempar anak panah. Seandainya semua yang ditampung kota ini dipindahkan ke kota terbesar mana pun di dunia, tak akan cukup. Kota agung ini dengan keajaibannya hanya dapat dibandingkan dengan analogi para ulama: semakin membesarnya pendatang adalah seperti janin di sebuah rahim--rahim itu akan mengembang. Demikianlah halnya Arafat dan masjid-masjid mulia di Tanah Suci. "Semoga Tuhan dengan kerahiman-Nya memperbesar kesuciannya dan memberikan kasihNya kepada kita."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus