Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga puluh tahun hidup soliter, Zarathustra akhirnya memutuskan meninggalkan gubuknya yang sunyi di puncak gunung. Ia merindukan tangan-tangan terkembang, siap menerima pencerahan, hasil kontemplasinya yang panjang dan sulit.
Berbincang sebentar dengan pendeta tua di lereng gunung, Zarathustra melanjutkan perjalanannya sambil bergumam, "Tidak tahukah dia bahwa Tuhan sudah mati? Siapa yang membunuh-Nya?" Bertanya dan menjawab, ia berkata, "Kita, dengan tangan ini kita yang telah membunuh-Nya."
Demikianlah Zarathustra dalam sebuah paragraf terkenal dalam buku Friedrich Nietzsche (1844-1900), Thus Spoke Zarathustra. Tapi, jika kita lalu menyimak apa yang dikatakan Karen Armstrong dalam bukunya, The Case for God, tampaklah bahwa "kematian" yang kerap dikutip kaum ateis itu merupakan kasus yang belum selesai. Armstrong, calon biarawati yang kemudian menjadi sejarawan, niscaya akan balik bertanya: "Yakinkah Anda bahwa dia—yang dibunuh demi pembebasan manusia—itu Tuhan?"
Armstrong, yang beberapa waktu lalu datang ke Indonesia dan berceramah di Paramadina, dikenal sebagai penulis yang banyak menggunakan data sejarah ketika menyusun argumentasinya. Dalam A History of God, The Battle for God, Holy War, Muhammad, Buddha, dan banyak lagi yang menyangkut masalah religiositas manusia, ia menunjukkan kecakapannya sebagai penulis yang tajam, kendati tidak pernah simplistis. Dan dalam The Case for God, ia berargumentasi dengan cukup meyakinkan.
Tuhan di mata Armstrong bukanlah sosok raja diraja, "orang kuat", atau "orang besar" dengan wilayah kekuasaan yang meliputi segenap peri kehidupan manusia. Ia menggambarkan, Tuhan seperti ini milik orang-orang fundamentalis yang menihilkan segala yang berada di luar Injil dan senantiasa menafsirkan kitab suci secara harfiah. Tuhan seperti ini juga milik kaum ateis-humanis yang sejak abad ke-18 memproklamasikan bahwa manusia telah "membunuh" Tuhan.
Meski yang satu menolak dan yang lain mengukuhkan, ateisme dan fundamentalisme menyimpan gambaran Tuhan yang sama: Tuhan produk orang modern. Sadar atau tidak, keduanya mengikuti pandangan Sir Isaac Newton (1642-1727), fisikawan Inggris, yang melukiskan Tuhan sebagai arsitek dan mekanik agung yang telah menciptakan jagat raya, sebuah produk yang didasari perhitungan desain yang gemilang. Newton sendiri orang yang religius dan ia beranggapan segenap teorinya merupakan bukti otentik yang menunjukkan keberadaan Tuhan.
Namun sains tentu saja tidak berhenti pada Newton seorang. Armstrong menunjukkan pada abad ke-19 ada Charles Darwin (1809-1882) yang menafikan penciptaan selama enam hari, sekaligus menyatakan bahwa semua ini tercipta akibat ledakan besar, dan melalui evolusi yang panjang terbentuklah keadaan seperti sekarang. Armstrong juga mencela model pendekatan demikian.
Mengajukan alternatif, Armstrong mengajak pembacanya mengamati keterbatasan bahasa manakala para pemikir di atas memahami sosok Tuhan. Tuhan menurut Armstrong berada di luar jangkauan bahasa, dan untuk itu ia menyitir pendapat seorang sarjana Kristen abad kedua, Bishop Basil dari Caesarea—18 abad sebelum Wittgenstein dan Derrida membahas hal itu. "Pikiran manusia tidak sanggup menapak tilas lebih jauh dari titik awal (penciptaan)," katanya. Basil berpandangan Tuhan sudah eksis jauh sebelum jagat raya ini muncul dan, karena itu, Tuhan tidak mungkin dapat dipahami secara utuh oleh manusia kecuali melalui intuisi belaka. Sampai di sini, kita pun jelas menangkap pesan Armstrong pada buku itu: kembalilah ke pokok-pokok pikiran masa pramodern.
Tuhan Karen Armstrong memang bukan Tuhan antropomorfis yang bertakhta di kerajaan langit dan memiliki sifat duniawi manusia, termasuk pendengki, egois, pendendam, dan seterusnya. Tuhan demikian sangat gampang dijadikan instrumen politik dalam kehidupan kontemporer ini. Tuhan Armstrong hanya bisa ditangkap dengan bahasa simbol. Armstrong menunjukkan bahwa simbolisme ini bukan cuma milik agama Kristen. Mengambil contoh dari Islam, ia mengatakan kata ayah atau ayat dalam Quran sama dengan parabel atau perumpamaan.
Ya, dialah Tuhan yang sesungguhnya jauh melampaui kata Tuhan itu sendiri. Tidak terjangkau oleh rasio—ada contoh dalam tradisi pemikiran Islam yang mengukuhkan pandangan ini: berspekulasi tentang zat Allah disebut zannah atau tebak-tebakan penuh khayal—tapi Allah sangat mudah didekati, dirasakan, dan dialami dengan hati. Mistis? Yang terang, Armstrong menjawabnya melalui pernyataan seorang teolog Jerman. "Yesus sendiri tidak memandang Tuhan sebagai obyek spekulasi pikiran, tapi melihatnya dari pendekatan eksistensial," katanya. Pengalaman dengan Tuhan adalah pengalaman eksistensial, dan ini akan tecermin dalam kehidupan praktis sehari-hari: dalam ritual sembahyang atau aksi-aksi religius-etis lain.
Alkisah, demikian Armstrong dalam The Case for God, di sebuah ruangan terdapat sejumlah orang Yahudi yang telah melalui pengalaman sangat menyakitkan dan sangat kecewa kepada Tuhan, sosok yang dinilai telah membiarkan Holocaust terjadi. Kehilangan imannya, mereka memutuskan mengadili Tuhan. Melalui berbagai pertimbangan, seorang rabi yang berperan sebagai hakim lantas menjatuhkan vonis berat: hukuman mati. Ia menyatakan proses pengadilan telah berakhir dan sudah waktunya menjalankan sembahyang malam. Suka atau tidak, Tuhan tidak pernah mati.
The Case for God bukanlah buku yang berargumentasi tentang teologi yang paling mendekati kebenaran. Buku bersampul hijau muda dengan tebal 405 halaman ini tampaknya hendak menyampaikan pesan tunggal: jangan lupakan tradisi luhur awal agama-agama besar—meski argumentasi yang dibawakannya sanggup meruntuhkan sejumlah pendapat kaum ateis yang dengan gagah menyatakan Tuhan telah mati.
Di Mekah, ia dikenal sebagai Al-Amin, orang yang kata-kata serta tindakannya dapat dipercaya. Di sepanjang hidupnya, ia memiliki kemampuan mengilhami orang lain. Ia kemudian tumbuh menjadi seorang lelaki tampan, dengan tubuh yang liat dan tinggi sedang. Rambut dan janggutnya tebal serta keriting, wajahnya bercahaya—memang inilah yang dikatakan banyak sumber. Ia tegas dan tak pernah setengah-setengah dalam mengerjakan sesuatu.
Apabila menoleh kepada seseorang, ia akan menghadapkan segenap wajah dan tubuhnya kepada orang itu. Kalau berjabat tangan, ia bukan yang pertama mengundurkan tangannya. (Karen Armstrong dalam Muhammad: A Biography of the Prophet.)
Armstrong memiliki cara istimewa untuk menaklukkan audiens pembacanya yang luas: mereka yang tak tahu-menahu tentang Islam, dan orang Islam yang masih memelihara keimanannya kepada Tuhan dan Rasul, tapi tidak lagi mendapatkan tempat yang nyaman dalam lingkungan sekuler-Barat-nya. Armstrong memiliki sesuatu yang tak banyak digubris oleh penulis orientalis lain: simpati terhadap mereka, para korban perjalanan sejarah yang traumatis.
Orientalis mungkin bukan kata yang tepat buat melukiskan ilmuwan Barat yang menaruh perhatian khusus pada dunia Timur—termasuk Islam. Imperialisme dan kolonialisme membuat kata ini mengandung konotasi negatif. Tentu saja pandangan ini tidak adil bagi para orientalis yang melakukan studinya tanpa pretensi negatif.
Dalam Muhammad at Medina, dengan simpatik Montgomery Watt memang menuliskan kebesaran Muhammad SAW sebagai negarawan visioner, peletak dasar negara, dan keyakinannya sebagai utusan Tuhan. Tapi, dengan dua bukunya yang sangat terkenal itu, Muhammad at Mecca dan Muhammad at Medina, orientalis yang satu ini lebih banyak berbicara kepada pembaca istimewa, berpendidikan, dan mempunyai pengetahuan dasar mengenai Islam dan sang Nabi.
Dalam pemberian gambaran yang komprehensif, kita harus mengakui Martin Lings juga punya andil besar. Ditulis dalam bahasa yang halus bahkan liris, karyanya, Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources, memberi informasi yang amat kaya dan mencengangkan dari para periwayat hidup Muhammad pada abad ke-8, ke-9, dan ke-10. Namun, harus diakui, Lings seakan-akan menuliskan buku ini khusus untuk lingkungan penganut. Orang luar tentu akan mengajukan argumentasi dan pertanyaan-pertanyaan mendasar yang belum sempat dijelaskan oleh Lings.
Mungkin di antara riwayat-riwayat sang Nabi, yang paling menarik dewasa ini adalah Muhammad karya Maxime Rodinson. Dengan ringan Rodinson menggunakan kemampuan ilmiahnya buat menjelaskan sepak terjang politik dan militer sang Rasul. Siapa pun tak akan menampik bahwa banyak sekali pelajaran yang bisa dipetik dari buku ini. Namun, dengan pendekatan yang skeptis dan sekuler, Maxime Rodinson tidak dapat menolong pembaca memahami sisi spiritual Muhammad SAW.
Di antara para orientalis di atas, Armstrong menawarkan sesuatu yang berbeda: kombinasi penguasaan sejarah yang mengagumkan dan naluri untuk terus menggali aspek spiritual obyek penelitiannya.
Spiritualisme bukan hal baru bagi Karen Armstrong. Ketika berusia 17 tahun, manakala remaja seusianya mulai larut dalam pesta dan rock 'n' roll, Armstrong dengan mantap mengayunkan langkahnya ke Tripton, Inggris: menjadi biarawati.
"Aku ingin menemukan Tuhan agar Dia dapat memenuhi seluruh hidupku, dan itu berarti menyerahkan kembali hidupku kepada-Nya. Aku menginginkan Dia dengan desakan hasrat yang begitu mencekam. Dan aku tahu bahwa mencari Tuhan tidak boleh setengah-setengah; upaya setengah hati akan sia-sia," tuturnya dalam otobiografi Through the Narrow Gate (1981).
Inilah bagian dari perjalanan spiritualnya yang panjang dan tak mudah. Sejak September 1962, biara Holy Child Jesus yang terletak di Tripton menjadi rumahnya yang sejati. Dan hari demi hari, tahun demi tahun, Armstrong terus bertahan dalam disiplin biara yang ketat dan pengajaran doktrin yang kadang mengharuskan ia menenggelamkan akal sehatnya supaya dapat mengenal Tuhan lebih baik.
Padahal, "Berpikir itu refleks. Bagaimana Anda bisa patuh menjalankan suatu perintah, sementara pada saat yang sama Anda merasa perintah itu tidak masuk akal?" katanya mengenang masa-masa yang penuh kesulitan itu. "Apakah untuk mencapai kedekatan pada Tuhan itu harus meninggalkan akal sehat, mematikan pikiran, cinta, dan sikap kritis?"
Tujuh tahun bertahan di biara, akhirnya ia menyimpulkan bahwa Holy Child Jesus bukan rumah spiritualnya yang sejati. Jelas, ia harus pindah. Namun perjalanannya kembali ke dunia "normal" juga tidak bisa disamakan dengan "pulang". Keluar dari biara, ia pun mendaftarkan diri ke Jurusan Sastra Inggris Oxford University dan perlahan-lahan mulai menarik jarak dari dunia religius yang pernah digelutinya secara intens.
"Agama telah membuatku terluka dan lelah. Tapi aku masih terpesona pada agama sebagai sebuah fenomena, meskipun fenomena itu bukan sesuatu yang dapat aku percayai atau aku pegang untuk diriku sendiri," demikian pengakuannya.
Namun hidup itu dialektis: ada saat pergi, ada saat pulang, menemukan rumah sejati. Ya, sesuatu telah mendorong ia terbang ke kota suci Yerusalem untuk meneliti sejarah agama-agama samawi. Kalangan mistikus, para sufi Islam dan rabi Yahudi, yang ditemuinya di tanah suci itu memberinya pemahaman baru tentang Tuhan. Para sufi dan rabi justru mengajarkan bahwa Tuhan itu bisa ditemukan dalam diri sendiri.
"Mereka meminta aku tidak membayangkan bahwa Tuhan adalah sebuah realitas 'di luar sana'; mereka mengingatkan aku untuk tidak berharap akan mengalaminya sebagai sebuah kenyataan obyektif yang dapat ditemukan melalui proses pemikiran rasional biasa. Seandainya aku telah mendengar hal ini tiga puluh tahun yang lalu, tentu aku tak perlu merasakan kecemasan luar biasa yang pernah kualami selama di biara," tuturnya dalam pengantar bukunya yang monumental, A History of God (1993).
Karen Armstrong mengutuk Usamah bin Ladin yang dengan terornya membunuh ribuan orang tak berdosa, tapi diam-diam ia juga mafhum mengapa umat Islam demikian gampang "terluka" oleh hal-hal yang sulit dipahami dunia Barat.
Di mata Armstrong, agama bukanlah soal teologi belaka, melainkan catatan sejarah perjalanan umat penganutnya. Pandangannya tak berhenti pada fenomena abad ke-21, tapi jauh menembus ke masa lampau—manakala benih-benih kekerasan mulai tertanam.
Armstrong memiliki analisis menarik mengapa akhir-akhir ini umat Islam sangat sensitif dan gampang meletup amarahnya. Umat Islam menggelegar tatkala surat kabar Denmark Jyllands-Posten menampilkan kartun yang menghina Rasulullah. Sebelumnya, Salman Rushdie dijatuhi fatwa hukuman mati oleh Ayatullah Khomeini karena bukunya, Satanic Verses atau Ayat-ayat Setan, dinilai melecehkan Malaikat Jibril dan Rasulullah.
Sebagian umat Islam di Timur Tengah menyebut intervensi Barat sebagai al-salibiyyah atau Perang Salib. Tapi sebenarnya, menurut Armstrong, Perang Salib tidak pernah menjadi bagian yang sentral dalam kehidupan umat Islam pada abad ke-11 dan ke-12. Sebab, saat itu orang-orang Islam justru tengah sibuk dengan urusan dalam negeri. Selama abad ke-12, mereka disibukkan oleh kaum Berber yang fanatik, yang mengambil alih kekuasaan di Maroko dan Andalusia, Spanyol.
Pada abad ke-13, pasukan Mongol menyerang Dar al-Islam dan menimbulkan kerusakan yang jauh lebih parah daripada Perang Salib. Sejak bencana yang tragis itu, para sarjana muslim berubah. "Mereka menjadi gelisah, hendak memulihkan apa saja yang hilang, ketimbang terus mencoba gagasan baru," kata Armstrong dalam Holy War.
Dan itu berakibat mahal pada peradaban Islam. "Ketika Barat membubung tinggi menuju pencapaian-pencapaian baru, dunia Arab dan kaum muslim memandang ke belakang, secara bertahap memasuki apa yang kemudian bisa disebut sebagai abad kegelapan muslim."
Namun kasus lahirnya Turki dan Mesir modern menjadi contoh bahwa jalan sebaliknya juga mendatangkan mudarat. "Mustafa Kemal Ataturk muncul dan langsung menutup semua madrasah. Dia juga menyapu bersih oposisi. Ini memberi ruang bagi orang semacam Usamah muncul. Di Iran, Shah mengirim tentara ke jalanan dengan bayonet, mencopoti cadar para perempuan. Di Mesir, Nasser kemudian mendirikan kamp konsentrasi, tempat ribuan anggota Al-Ikhwan al-Muslimun ditahan tanpa persidangan. Itu yang membuat adanya radikalisasi. Sekularisasi jadi penuh kekerasan karena berlangsung begitu cepat," ujarnya kepada Tempo.
Kepada umat yang terjebak di antara dua opsi ini, Armstrong menghaturkan simpatinya.
Idrus F. Shahab
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo