Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pergumulan Testimoni Identitas

Sepanjang kariernya selama tiga dekade, Harsono bergulat dengan masalah sosial. Ia tak henti-henti melakukan kritik. Pamerannya tahun lalu di Jogja National Museum sampai ke titik yang menarik. Ia bergulat dengan persoalan kekerasan dan identitas.

6 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jagat seni rupa Indonesia pernah mengenal karya berjudul Paling Top 75 berupa senjata serbu dari bahan plastik yang dikerangkeng di dalam kotak kayu bertutup jalinan kawat. Karya ini dipajang dalam pameran Gerakan Seni Rupa Baru di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, bertajuk "Pasaraya Dunia Fantasi", pada 2-7 Agustus 1975, ketika Jakarta masih panas dibakar gerakan protes mahasiswa lewat peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari) 1974.

Pembuat karya tersebut, perupa F.X. Harsono—kala itu 26 tahun—salah satu mahasiswa yang memprotes monopoli "rezim" kesenian oleh seniman senior dan prinsip berkesenian mereka yang dinilai generasi Harsono sudah usang, norak, eksklusif, dan tidak progresif. Lewat karya itu, Harsono mengekspresikan sinismenya terhadap peran militer yang menyusup ke semua segi kehidupan pada masa Orde Baru. Dia tak menggunakan metafora yang rumit untuk mengungkapkan opininya terhadap realitas. Bak testimoni, karyanya lugas, gamblang, tak membuat kening berkerut untuk dipahami.

Sepanjang kariernya sebagai perupa selama tiga dekade, Harsono, 64 tahun, terus mengisi karyanya dengan komentar yang mustahil muncul di media massa saat itu. Ingat bagaimana di Binal (pelesetan dari biennale) Yogya pada 1992, di Alun-alun Selatan, di sekitar pohon beringin, ia menaruh kursi-kursi kecil dan menggergajinya. Ia pernah membuat performance berjudul Burned Victim. Secara mencekam dan liar, ia membakar torso-torso kayu merefleksikan Tragedi Mei 1998. Karyanya itu penuh bara.

Tiba suatu ketika, saat euforia politik mengisi semua ruang masyarakat, termasuk media massa yang sebelumnya bungkam dan dibungkam. Saat itu Harsono, yang selama ini berkarya mengolah isu sosial, merasa tak mampu lagi menandingi keterbukaan berekspresi. "Tiap orang bebas berbicara soal politik," katanya. Harsono—"sang angry young man"—tampak "terombang-ambing". Ia seperti kehilangan modus berekspresi. Ia kemudian berusaha mengeksplorasi jalan lain untuk menyuarakan pikiran-pikiran dan suara kritisnya.

Dalam pameran tunggalnya di Galeri Nasional Indonesia, "Displaced", pada 2003, ia muncul dengan "strategi" lain. Karya-karya F.X. Harsono—seluruhnya 20 judul—sarat dengan simbol, ikon, tanda, kode, juga teks, atau sekadar deretan huruf tanpa makna. Medium yang digunakannya gabungan cetak digital, fotografi, silkscreen, gambar, dan photoetching. Judul juga menjadi salah satu bagian penting dalam 20 karya tersebut.

Empat tahun kemudian, di Langgeng Icon Gallery, Jakarta (2007), ia menyajikan pameran "Titik Nyeri". Ia menyajikan potret-potret wajahnya ditaburi kupu-kupu, tapi ditusuk-tusuk jarum dari berbagai sudut. Harsono seolah-olah di sana menampilkan dirinya sendiri sebagai seorang korban. Ada suatu trauma dalam dirinya yang selama ini disembunyikan dan diredamnya. Ada suatu luka dalam yang selama ini ditutup-tutupinya dengan hal-hal seperti sayap indah warna-warni kupu-kupu itu. Harsono di situ terlihat bermain-main dengan psikologi. Wajahnya yang ditancap-tancapi jarum itu sendiri terlihat seperti wajah yang sumarah. "Masalah sosial saya tarik ke dalam," tuturnya saat itu.

Selang beberapa tahun berjalan dengan permainan kode-kode dan psikologi itu, tiba-tiba Harsono menemukan lembaran foto usang tentang pembantaian massal orang Tionghoa di Blitar pada 1940-an hasil jepretan ayahnya. Foto usang itulah yang membuat Harsono bergerak lagi menuju fase lain. Mulai empat tahun lalu itu, ia mengeksplorasi dilema identitas warga keturunan Tionghoa, termasuk dirinya. Ia membuka diri kepada publik bahwa sesungguhnya nama aslinya adalah Oh Hong Boen, tapi nama itu tenggelam dengan nama yang tertera di kartu tanda penduduk: F.X. Harsono.

Ia melakukan pameran di Jakarta dan Singapura. Tapi tampak Harsono tak puas dan terus-menerus mengolah problem identitas itu. Ia terlihat intens melakukan pelacakan sejarah berkenaan dengan Tionghoa Indonesia. Puncaknya menurut Tempo adalah tahun lalu di bekas gedung kampus Akademi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta, yang kini bersalin nama menjadi Jogja National Museum itu. Pada 1-22 Juli 2013, ia menampilkan pameran yang judulnya diangkat dari salah satu frasa puisi penyair Jerman, Schiller, yang dikutip filsuf Herbert Marcuse saat membahas seni dan kebebasan dalam bukunya, Art and Liberation: "What we have here perceived as truth we shall some day encounter as beauty." Harsono memboyong karya-karyanya mengisi dua lantai gedung.

Tempo menilai pameran ini sebagai pameran terbaik sepanjang 2013—pameran yang digarap dengan cara yang masih jarang dilakukan perupa kita, yaitu dengan riset mendalam. Dan idiom-idiomnya sangat rasional. Tak ada idiom konvensional berbau dupa, hio, kemenyan, atau hal mistis lain untuk mengungkap problem Tionghoa tersebut. Memang orang bisa mempertanyakan sudut pandang Harsono dalam pameran itu. Orang bisa mengatakan Harsono hanya meratapi nasib buruk dirinya dan warga keturunan Tionghoa—meski banyak warga keturunan Tionghoa lain tak menganggapnya sebagai persoalan yang harus dibesar-besarkan. Tapi Harsono bukanlah sejarawan. Dia hanya menuliskan sepenggal fakta sejarah yang kebetulan melekat pada dirinya.

Tempo juga melihat, yang paling utama, pameran itu seolah-olah bisa mengakumulasi seluruh jejak perjalanan Harsono. Kita bisa melihat dalam pameran itu berbagai gelegak, temperamen, dan ketenangan sosok Harsono. Harsono sebagai sosok pemberang yang makin lama makin kontemplatif. Sosok yang senantiasa kritis tapi kini juga menukik ke kedalaman diri.

Tempo melihat dalam pameran ini Harsono mampu mendemonstrasikan penguasaan idiom rupanya yang kuat atas berbagai medium. Harsono adalah tipe perupa yang secara efektif menggunakan medium dan teknik apa saja: tubuhnya sendiri, drawing, fotografi, grafis, lukisan. Dalam pamerannya kali ini, ia tak kagok menggunakan unsur-unsur media baru, seperti video, yang kini menjadi tren perupa muda. Namun, berbeda dengan banyak perupa muda yang tatkala menggunakan video sering jatuh ke sekadar eksperimen, di tangan Harsono, medium video itu menjadi medium tajam—yang secara liris dan kritis mampu mengungkapkan perasaan sosialnya.

Dia juga menggarap karya dengan teknik grafis yang paling purba dengan menggoreskan pastel berwarna merah di atas kain putih. Kain putih yang seolah-olah kafan tersebut ditempelkan di atas permukaan berceruk pada banyak prasasti makam Tionghoa, yang kemudian menghasilkan efek seperti cukilan pisau pada teknik cukil kayu (cetak dalam). Kain itu memunculkan bentuk deretan aksara Cina berupa nama-nama korban pembantaian Tionghoa di kuburan massal di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta (Menulis Ulang pada Makam, 2013). Dalam tayangan rekaman video (Berziarah ke Sejarah, 2013), proses penggoresan pastel itu menjadi ritual seni pergelaran (performance art).

Pada karya video instalasi berjudul Menulis dalam Hujan (2011), secara liris Harsono menggambarkan upayanya yang sia-sia menorehkan namanya, Oh Hong Boen, dalam aksara Cina dengan tinta Cina di atas permukaan kaca transparan yang terus tergusur akibat guyuran air. Ia gagal menapakkan nama aslinya itu, tapi masih tersisa garis-garis hitam yang sempat mengering sebelum disapu air.

Pada karya bertajuk Ranjang Hujan (2013), Harsono mengusung ranjang bergaya klasik dari materi kayu yang penuh ornamen. Di atas ranjang, tersusun obyek berupa huruf dari bahan keramik membentuk rangkaian kata dan kalimat tentang sejarah yang tergusur dalam genangan air yang gemericik. Kalimat puitis itu diproyeksikan pula ke dinding lewat teks berjalan dalam warna merah di dalam ruang yang temaram. Dari karya ini, tampak Harsono merancang semua bahasa rupa yang dia eksplorasi secara detail.

Penataan benda-benda yang teratur itu menunjukkan Harsono punya konsep yang jelas pada setiap karyanya. Amatlah menarik, karya satu dan karya lainnya dapat menjadi suatu rangkaian interteks. Lihatlah bagaimana kuat sekali perencanaan penataan pada karya berjudul Perjalanan ke Masa Lalu/Migrasi (2013): kursi berukir, tumpukan 26 ribu bentuk huruf Latin, dan ornamen dari bahan terakota serta perahu kayu. Serba teraturnya susunan elemen rupa pada karya Harsono ini menjadikan kerisauan personalnya atas identitas Tionghoa lebih terbaca dan enak dilihat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus