Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kumpulan puisi Deddy Arsya, Odong-odong Fort de Kock, menunjukkan perkembangan baru yang hampir permanen dalam puisi Indonesia mutakhir: sebuah situasi pascakolonial. Situasi ini memberi cara pandang baru terhadap sejarah nasional.
Masyarakat yang terbebas dari penjajahan ini tiba-tiba merumuskan kembali jati dirinya tanpa bisa melepas atau menghapus jejak-jejak kolonialisme di dalam diri dan lingkungannya. Bagaimana ia merumuskan jati diri itulah yang penting diingat dalam puisi-puisi Deddy.
Penyair kelahiran Bayang, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, pada 15 Desember 26 tahun lalu, ini mengedepankan ironi dan humor. Humor bisa menghindari sikap kaku dan keresmi-resmian terhadap sejarah. Humor membuat yang resmi dan kaku jadi berantakan, menjadi bahan ejekan, sebentuk langkah yang juga bisa disebut "bersikap ironis" terhadap sejarah.
Deddy tidak hanya bersikap ironis dan humoris terhadap fakta sejarah, tapi juga kepada setiap potongan peristiwa yang ia angkat ke dalam puisi. Sikap ini hanya mungkin terjadi ketika si penyair cukup berjarak dengan bahan-bahan puisinya. Ia telah melewati apa yang selama ini menjadi penanda umum penyair mutakhir: gampang terharu.
Deddy memang mudah terharu terhadap aneka potongan sejarah serta peristiwa hari ini dan karena itulah ia menulis puisi. Apalagi orang-orang dekatnya memiliki sejarah yang menarik meski traumatis. "Masa kecil saya dipenuhi narasi sejarah. Ayah, Kakek, Nenek adalah pencerita sejarah. Narasi-narasi mereka itu membayangi saya sampai kini. Saya ingin lepas dari cerita-cerita yang mengandung trauma itu," ujar Deddy ketika ditemui di kediamannya di kampung istrinya di Nagari Pandai Sikek, di kaki Gunung Singgalang, Ahad pekan lalu.
Cerita neneknya tentang kakek ayahnya yang menjadi pekerja rodi di pertambangan emas Belanda di Salido, Pesisir Selatan, ia angkat dalam puisi "Salido Emas Suasa" ini:
Emas hitam dan emas suasa,
ke mana arah tepi nasib pahit ini?
Berabad-abad kami menggali, tiba di batu memercik api,
tiba di pasir menyerpih sepi. Kilau kami serupa daging
pinang pemerah gigi, pewarna benang menyulam dirinya
sendiri.
Dari ayahnya, Syamsir Adnan, Deddy belajar melepaskan diri dari cerita-cerita trauma itu. "Sejarah-sejarah kekejaman yang tak tercatat di buku sejarah, tentang masa Belanda, masa Jepang, hingga pemberontakan PRRI, oleh Ayah menjadi antitesis. Yang tragedi pada Nenek itu dibuatnya menjadi cerita parodi, diceritakan lagi dalam bentuk yang lucu-lucu," kata Deddy, yang meraih gelar master ilmu sejarah Pascasarjana Universitas Andalas, Padang, dengan tesis "Penjara di Padang pada Zaman Hindia Belanda".
Sejarah dalam Odong-odong Fort de Kock ini bukan sekadar comotan dari rentetan peristiwa masa lampau, melainkan tafsir yang sudah menjadi bagian dari khazanah penghayatannya. Deddy berhasil menjadikan tafsirnya bagian yang tak terpisahkan dari ungkapan-ungkapan yang orisinal, yang tidak ditemukan pada tulisan penyair lain yang memanfaatkan "sejarah" untuk menciptakan acuan demi menyandarkan tulisannya lebih pada sejarah tinimbang puisi.
Puisi-puisi Deddy tergolong puisi naratif, sejenis puisi yang mengandung tilas cerita dalam larik-lariknya. Setiap larik dalam puisinya mengandung unsur cerita yang hanya bisa bermakna jika dikaitkan dengan larik sebelum atau sesudahnya. Dengan kata lain, puisinya adalah semacam cerita yang ditulis dengan tipografi tertentu, yang membuat rupanya menjadi puisi.
Dengan begitu, ia tidak mengizinkan munculnya "disonansi citraan" dalam setiap lariknya, sebagaimana pernah dimanfaatkan dengan sangat cemerlang oleh Chairil Anwar dan Goenawan Mohamad. Sebab, yang dituju dari organisasi larik demi larik itu adalah sebuah "bangunan cerita" yang bisa dimasuki dari sejumlah pintu yang tersedia, yang kebetulan hanya dua: ironi dan humor.
Seperti puisi lirik Indonesia selama ini, puisi-puisi Deddy menggoda kita dengan permainan metafora atau saling silang bunyi. Tapi yang membetot kita adalah permainan kisah yang dalam kadar tertentu ia sadap dari tradisi kaba Minang, dan di beberapa bagian berwujud permainan semacam pantun. Permainan itu kadang menjelma sebagai penjajaran sejumlah citraan. Tumpuan utama penjajaran citraan ini bukan kata atau frasa, melainkan larik atau separuh larik yang menjadi satuan terkecil cerita. Karena itu, puisi Deddy tidak bisa ringkas, kecuali yang menyaru sebagai pantun.
Odong-odong Fort de Kock adalah kumpulan puisi pertama Deddy, terdiri atas 78 puisi yang disaring dari 200-an puisi yang ditulisnya dalam periode 2004-2013. Pada 2011, dengan kata pengantar Afrizal Malna, puisi-puisi ini sempat akan diterbitkan oleh sebuah penerbit di Yogyakarta, tapi kemudian terkatung-katung.
"Karena tidak ada kepastian, Bang Yusrizal K.W. akhirnya yang menerbitkan buku saya karena, katanya, puisi saya baru karena mengangkat percakapan sehari-hari," ujar Deddy, yang sedang menyelesaikan dua kumpulan cerita pendek.
Sesudah Saman, Setelah Puisi
Selain memilih prosa terbaik dan puisi terbaik, Tempo memilih buku sastra yang direkomendasikan untuk dibaca. Empat buku ini merupakan hasil seleksi dari lebih dari 10 nomine yang masuk daftar buku terbaik pilihan Tempo tahun ini. Sebagian karya penulis lama, sebagian lagi penulis pemula.
Prosa
Maya
Penulis: Ayu Utami
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Terbit: I, Desember 2013 Tebal: 249 halaman
Maya merupakan semacam sekuel dari Saman. Mengacu pada tokoh utama, Yasmin Monica, yang menjalin hubungan dengan Saman sehingga melahirkan anak bernama Samantha. Dari segi bahasa, novel ini bagus. Dibandingkan dengan nomine yang lain, narasinya terjaga dengan baik. Tampak sekali Ayu ingin kembali pada pola Saman yang terbit pada 1998 itu. Ini novel terbaik Ayu setelah Saman.
Semusim, dan Semusim Lagi
Penulis: Andina Dwifatma
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Terbit: I, April 2013
Tebal: 231 halaman
Dari segi karakterisasi, novel pertama yang menjadi pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012 ini menarik. Ia menggabungkan tokoh-tokoh yang realistis yang hidup sehari-hari dengan Sobron—tokoh ikan mas koki yang tak terlihat oleh orang selain tokoh utama. Dialognya padat. Penuturannya lincah. Sebagai novel debutan termasuk yang terbaik untuk penulis pemula.
Puisi
Memoria
Penulis: Mario F. Lawi
Penerbit: Indie Book Corner, Yogyakarta
Terbit: I, Mei 2013
Tebal: 160 halaman
Mario F. Lawi berhasil memanfaatkan kitab Injil sebagai pemerkaya metafor puisinya. Dia menggali imaji biblikal dengan warna-warna alam dan dongeng lokal Nusa Tenggara Timur. Ini terhitung langka. Puisi mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Cendana ini juga memanfaatkan ironi, kiat yang hanya bisa dilakukan penyair yang memiliki kemampuan menulis yang benar.
Museum Penghancur Dokumen
Penulis: Afrizal Malna
Penerbit: Garudhawaca, Yogyakarta
Terbit: I, April 2013
Tebal: 108 halaman
Buku ini seperti metafiksi, puisi tentang puisi. Percobaan seperti ini memang asyik. Bagaimanapun puisi Afrizal Malna memberi kita perluasan atas cara pandang terhadap puisi, sebuah upaya yang tidak menyenangkan bagi pembaca yang masih betah dalam sajak suasana dan puisi lirik. Ini salah satu upaya Afrizal melakukan otokritik terhadap penulisan puisi. Paradigma dia tentang puisi itu harus digeser dari karya sastra menjadi karya seni.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo