Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembawaannya amat tenang. Dia menghindari tatap mata dengan lawan jenis. Nada bicaranya tegas ketika bercerita tentang jihad dan amaliyah. Tawa perempuan kelahiran Cirebon ini baru muncul saat membicarakan suaminya, Muhammad Nur Solihin, yang dia sebut lucu.
Diterungku di rumah tahanan Markas Komando Brigade Mobil Kepolisian RI, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Dian Yulia Novi dan Nur Solihin ditemui Wayan Agus Purnomo dan Anton Aprianto dari Tempo di sebuah tempat di pinggiran Jakarta pada Rabu pekan lalu. Hingga pertemuan berakhir, petugas yang mendampingi merahasiakan identitas Tempo kepada mereka. Di akhir pertemuan, identitas itu baru dibuka. Baik Dian maupun suaminya menyatakan tidak keberatan wawancara itu dipublikasikan.
Apa yang melatarbelakangi Anda melakukan amaliyah?
Saya ridho lillahi ta'ala, ingin mendapatkan keutamaan dari Allah.
Anda terinspirasi siapa?
Pertama karena ada perasaan penasaran. Kenapa harus membunuh, kenapa harus potong tangan? Kok, kesannya garis keras. Saya menentang keras dan saya berdebat dengan akun jihadis di Facebook. Berbulan-bulan saya kontra dengan mereka. Jawaban mereka: "Ukhti, kalau Ukhti diperkosa, keluarga diperkosa, apa yang dilakukan? Marah bukan?" Iya, marah.
Lalu apa yang Anda pikirkan?
Tentu saya akan membalas. Dalam Islam, kita satu tubuh. Bila saudara tertindas, apa yang dirasakan? Tentunya sakit. Dari sana muncul ketertarikan saya. Oh ya, ada betulnya. Kok, di media-media, ini tidak boleh itu tidak boleh? Dia bilang, "Ukhti carinya di media apa? Media Islam atau media sekuler?"
Apa saja contoh akun jihadis?
Ulama Binti Gulam. Katanya, beliau ada di Syam (Suriah), Arab. Dia akhwat dan sering menjelaskan banyak hal. Kalau saya tak mengerti, mereka menjelaskan.
Walaupun Anda tidak tahu siapa di belakang akun-akun itu?
Bukan tidak tahu. Kalau jasus (mata-mata), kan, lama-lama ketahuan. Itu asli atau tidak, kan, ketahuan dari komentar mereka. Untuk meyakinkan, saya bertanya ke sana-sini.
Sudah berapa lama Anda mengikuti akun jihadis ini?
Satu tahun terakhir.
Namun kapan Anda tertarik mendalami ajaran Islam?
Sejak di Taiwan. Di sana kan handphone bebas. Di sela-sela mengurus panti jompo, saya masih mencari pemahaman lain. Waktu itu belum berpikir jihad. Saya berpikir, seharusnya hukum buatan manusia diganti dengan hukum Al-Quran.
Mengapa mencari agama lewat jalur media sosial?
Kalau lewat dunia nyata, pencarian bakal sulit. Mereka bakal lebih tertutup. Oh, ini mata-mata. Mereka juga ada ketakutan tercium, jadi lebih aman berada di media sosial. Kok, harus membunuh, kok harus mengebom? Memangnya tidak ada cara lain?
Kemudian muncul niat amaliyah?
Sepulang dari Taiwan (Maret 2016), niat itu belum ada. Tapi, makin ke sini, niat itu makin besar. Setelah ada jalan, insya Allah saya siap.
Setelah muncul pikiran amaliyah, apa langkah yang Anda lakukan?
Saya berkenalan dengan suami. Saya bilang ke suami, "Aa, saya pingin amaliyah." Dia jawab, "Oh, insya Allah, kalau ada jalan, kita laksanakan."
Bagaimana perkenalan dengan suami?
Dikenalkan Ummu Absa lewat Telegram Messenger (aplikasi percakapan).
(Tutin Sugiarti alias Ummu Absa ditangkap di Tasikmalaya oleh Detasemen Khusus Antiteror Markas Besar Kepolisian RI, Kamis pekan lalu.)
Apakah Anda pernah bertemu dengan Ummu Absa?
Sempat. Kami kopdar (kopi darat) sekali. Saya datang ke Ciamis dari Cirebon. Kami cuma muter-muter, enggak tahu persisnya di daerah mana. Pertemuan itu enggak sampai sehari, cuma satu-dua jam.
Apa yang Ummu Absa bicarakan?
Dia cuma bertanya, niatnya bagaimana. Setelah itu, dia memperkenalkan saya dengan seorang ikhwan, yang sekarang jadi suami. Mungkin dalam jarak seminggu setelah pertemuan itu, saya dan suami berkomunikasi melalui Telegram.
Siapa yang pertama kali menyapa?
Suami. Dia cuma menanyakan kabar. Setelah tahu apa misi saya, dia bilang, "Ya sudah, kita nikah." Nikahnya yang mengurus dari pihak suami, lewat surat.
Menurut Anda, pernikahan Anda sah atau tidak?
Memang awalnya ragu, kok, tidak seperti pernikahan pada umumnya. Mas Solihin menjelaskan, kan, beliau paham agama, ini sah. Saya diwakilkan karena saya sudah setuju. Saya menggunakan wali hakim.
Bagaimana Anda tahu telah sah menjadi suami-istri?
Diberi tahu lewat Telegram.
Anda berhubungan lewat Telegram dan tidak memasang foto. Apa respons Anda ketika pertama kali bertemu dengan suami?
(Tertawa.) Tidak ada kesan atau apa. Tidak perlu dijawablah, itu pertanyaan pribadi… (masih tertawa).
Apakah Nur Solihin merupakan sosok ideal sebagai seorang suami?
Ideal. Bukan secara mukanya bagaimana (tertawa). Mas Solihin itu lucu kalau diajak lucu. Padahal sebenarnya dia serius.
Mengapa keputusan sebesar ini tidak pernah dikomunikasikan dengan orang lain?
Tidak, karena ini pasti bahaya juga. Mereka yang tahu pasti berurusan dengan hukum, jadi semua saya tanggung sendiri.
Apakah Anda pernah berkomunikasi dengan Bahrun Naim?
Baru-baru ini, Desember ini. Yang mengenalkan suami, kemudian Bahrun Naim mengontak secara langsung.
Apa yang dia bilang?
Waktu itu, dia cuma menjelaskan targetnya siapa, yaitu saat latihan, bukan pergantian tugas jaga Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Misinya ledakkan di sana. Lokasinya secara akurat saya tidak tahu.
Sempat bertanya mengapa harus Paspampres?
Enggak tanya.
Bagaimana dengan lokasi? Apakah diberi denah?
Waktu itu, Bahrun Naim bilang, "Nanti ada tim yang bakal survei. Kamu cuma cukup tahu misinya."
Apa sandi untuk meledakkan?
Enggak ada sandi. Perintahnya langsung, ledakkan hari Minggu sekitar jam tujuh. Kan, waktu itu Paspampres lagi latihan. Tim sudah survei.
Apakah sempat diajari menggunakan bom?
Belum. Nanti, kalau jalan ke target, suami yang akan mengajari.
Dan itu cukup?
Insya Allah cukup.
Berapa kali Anda berkomunikasi dengan Bahrun Naim?
Tiga hari juga kurang. Soalnya, beliau Kamis-Jumat off Telegram.
Apa panggilan Anda ke Bahrun Naim?
Kadang-kadang panggil "Akh" (kependekan akhi).
Kenapa Anda bersedia diperintah Bahrun Naim?
Maksudnya, kenapa harus menurut, begitu? Ya, kan, secara dengan suami sudah dibaiat. Misi saya memang amaliyah. BN itu kan yang memerintahkan ikhwan-ikhwan di sini. Seperti contoh kalian, menuruti perintah apa yang diatur komandan.
Orang tua sempat bertanya sewaktu Anda pamit ke sini?
Saya pamit mau kerja. Waktu itu, saya belum kasih tahu apa-apa, cuma kerja.
Di pikiran Anda, apakah dengan melakukan ini bakal mendapatkan surga?
Kalau surga, itu hak Allah, mau memasukkan saya ke surga atau ke neraka. Yang penting, saya berusaha untuk mendapatkan, cukup itu saja.
Apakah sebelumnya pernah melihat bom bunuh diri? Apa yang ada di kepala Anda saat melihat itu?
Banyak. Yang dipikirkan? Tidak ada perasaan takut, sebatas saya melihat film-film. Oh, hasilnya begini.
Apakah amaliyah harus dengan bom?
Tergantung individu masing-masing. Kalau bisa melakukan apa, silakan lakukan.
Anda menyadari ini bisa mengakibatkan Anda dihukum?
Iya, saya menyadari. Pasti akibatnya dipenjara atau dihukum mati. Saya siap.
Apakah jalan yang Anda tempuh ini salah?
Mungkin untuk hukum yang dibuat oleh manusia, DPR, ini salah. Tapi, kalau menurut Al-Quran, inilah jalannya.
Tapi Al-Quran kan tidak mengajari membunuh?
Masak? Ini yang dibunuh siapa dulu? Kami bukan membunuh masyarakat awam, sesama muslim yang tidak berdosa, atau yang tidak berkepentingan dengan kita.
Anggota Paspampres kan bisa saja orang Islam?
Iya, tapi kan mereka pengawal presiden. Presiden orang yang membuat hukum Al-Quran berubah menjadi hukum manusia, sehingga ada ketidakadilan.
Anda mengakui Joko Widodo sebagai presiden?
Iya, dia Presiden Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo