Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMENTERIAN Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi memberi izin berdirinya delapan fakultas kedokteran baru pada tahun kuliah 2016/2017. Kebijakan itu menuai protes dari Ikatan Dokter Indonesia, Konsil Kedokteran Indonesia, serta beberapa organisasi dan asosiasi pendidikan kedokteran lainnya.
Ketua Konsil Kedokteran Indonesia Bambang Supriyatno menjelaskan, dari 75 fakultas kedokteran yang tersebar di seluruh Indonesia, hanya 21 persen menyandang akreditasi A. "Dari delapan FK baru, sebagian besar tidak memenuhi persyaratan bila ditinjau dari kesiapan dan jumlah tenaga pengajar, sarana dan prasarana, fasilitas pendidikan atau dukungan pendanaan," kata Bambang kepada pers.
Pendidikan kedokteran pernah mencuat pada 1970-an. Dalam rubrik Pendidikan Tempo edisi 20 September 1975, masalah itu ditulis dengan judul "Sukarnya Jadi Dokter". Sejak 1970, mahasiswa fakultas kedokteran dari perguruan tinggi swasta harus mengikuti ujian National Board Consortium of Medical Science (NB-CMS) untuk mendapatkan gelar dokter.
Mereka harus mengikuti ujian di fakultas kedokteran perguruan tinggi negeri. "Maksudnya paling sedikit lewat ujian itu bisa diharapkan adanya standar mutu yang sama, baik di antara fakultas kedokteran swasta maupun antara swasta dan yang negeri," ujar Ketua Konsorsium Ilmu-ilmu Kedokteran Profesor Mahar Mardjono.
Penjelasan Mahar Mardjono itu untuk membantah tudingan bahwa ujian NB-CMS mempersulit lulusnya calon dokter dari fakultas kedokteran swasta. "Memang maksudnya untuk menjaga mutu dokter, tapi swasta yang menjadi korban," kata Dr A Muthalib, bekas Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.
Mahar menjelaskan, ujian negara terhadap mahasiswa kedokteran swasta rata-rata bisa meluluskan 60 mahasiswa. Jumlah itu tidak sedikit jika dibandingkan dengan angka kelulusan mahasiswa kedokteran negeri yang 70 persen. Memang ada fakultas kedokteran swasta yang kuat. Namun, menurut Mahar, sebagian besar dari 13 fakultas kedokteran belum punya kemampuan hidup yang layak.
Penilaian Mahar Mardjono tidak semuanya salah. Namun sudah pasti di antara fakultas kedokteran swasta ada yang terus memperbaiki mutu. Buktinya, sampai kini sudah ada fakultas kedokteran swasta yang berhasil menelurkan dokter. Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Fakultas Kedokteran UKI, dan Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara pada September 1975 melantik dua dokter baru.
"Ujian CMS terkenal sulit, tapi pelantikan ini suatu bukti bahwa FK Tarumanagara mampu menghasilkan dokter," kata Drs Med. Stephanus H. Loho, Ketua Senat Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, dalam sambutan upacara pelantikan dokter baru itu. Kedua dokter itu, Liana Sundjaja Putera dan Yustari Harianto, telah menempuh jalan yang tidak mudah. Tak kurang dari sembilan tahun masa kuliah telah ditempuh.
"Tapi mereka tidak bodoh," ujar Dr R. Suwarno, Dekan Fakultas Kedokteran Tarumanagara. Sebab, kata dia, dua dokter baru itu harus menempuh ujian E4B (ujian dokter) di Universitas Airlangga. Surabaya. Mereka harus mencari tempat pemondokan selama beberapa bulan. Mereka mesti menghadapi lingkungan yang asing, baik staf pengajar maupun suasana pelajarannya. Tidak kurang dari tiga kali, dua dokter itu harus menempuh ujian E4B. "Itu berarti telah makan waktu selama satu tahun," ucap Suwarno.
Maklumlah, bagi calon dokter fakultas kedokteran swasta, ujian negara hanya bisa ditempuh di beberapa fakultas kedokteran negeri yang sudah ditunjuk. Sementara itu, ada fakultas kedokteran negeri yang setahun hanya sekali mengadakan ujian tersebut (ada juga yang dua kali setahun).
Di Jakarta, untuk delapan fakultas kedokteran swasta yang ada, hanya Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang bisa mengadakan ujian negara bagi mereka. Itulah sebabnya ujian negara bagi fakultas kedokteran swasta Jakarta dipencar ke beberapa kota, seperti Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.
Dengan kenyataan seperti itu, tampaknya mahasiswa fakultas kedokteran swasta tidak mudah menggondol titel dokter. Padahal, menurut Stephanus Loho, perbandingan antara dokter dan penduduk saat ini tidak seimbang. Karena itu, ia mengajukan permintaan kepada pemerintah agar bisa mempersingkat masa kuliah supaya kekurangan tenaga dokter bisa dikejar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo