Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Peristiwa

18 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) silakan menelan pil kecewa. Pemerintah dan DPR telah mengegolkan Undang-Undang No. 4 Tahun 2000 tentang KPU pada Rabu kemarin. Berlakunya beleid baru ini otomatis membuat UU No. 3 Tahun 1999, yang menjadi pijakan legitimasi keanggotaan mereka di KPU, tidak berlaku lagi.

Dalam salah satu pasal undang-undang baru ini disebutkan, anggota KPU harus independen dan nonpartisan. Peraturan ini jelas bertentangan dengan status para anggota KPU sekarang, yang notabene adalah wakil partai politik yang bertarung dalam Pemilu 1999 silam. Kendati begitu, tak semua pihak mencibir lahirnya UU No. 4 Tahun 2000 itu.

Anggota Komisi II DPR dari PDI Perjuangan, Haryanto Taslam, mengaku bisa memaklumi penyebab lahirnya undang-undang baru tentang KPU tersebut. "Sekarang ini mereka (anggota KPU) tidak punya tugas yang jelas," katanya.

Uniknya, kendati telah ditegaskan independen, pengelolaan dana dan kesekretariatan KPU tetap berada dalam Departemen Dalam Negeri. Fakta inilah yang membuat beberapa pihak menilai pemerintah tidak serius menjadikan KPU sebagai lembaga independen. "KPU seperti kapal yang memiliki dua nakhoda," kata Hadar N. Gumay, Koordinator Central for Electoral Reform (Cetro). Tapi Ketua DPR, Akbar Tandjung, menepis kekhawatiran itu. Ia mengambil contoh DPR yang dananya diatur oleh APBN tapi tetap bisa tampil mandiri.

***

WAKIL Presiden Megawati Sukarnoputri bertandang ke Bengkulu. Dalam kunjungannya Jumat silam di provinsi yang terkoyak oleh gempa bumi ini, Megawati menyalurkan bantuan berupa uang senilai Rp 715 juta, pangan, beras, pakaian, dan susu. Selain itu, Megawati juga mengunjungi salah satu daerah yang mengalami kerusakan parah, Pulau Enggano.

Gempa bumi di Bengkulu mengundang keprihatinan banyak pihak. Banyak negara sahabat yang turut mengulurkan tangan meringankan penderitaan sekitar 125 ribu pengungsi. Singapura, Belanda, Jepang, dan Taiwan, misalnya, mengirimkan tenaga ahli medis untuk membantu para korban. Sementara itu, Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah mengirimkan sebuah unit rumah sakit darurat seharga 1,5 juta franc Swiss.

***

NASIB juru bicara Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Ismail Syahputra, hingga kini masih tersaput kabut misteri. Abu Is, begitu panggilan akrabnya, sejak dua pekan lalu raib bak ditelan bumi. Tak satu pun kelompok bersenjata atau instansi militer di Tanah Rencong ini yang menyatakan bertanggung jawab atas menghilangnya Abu Is.

Komandan Kodim Aceh Utara, Letkol Suyatno, membantah tudingan sebagian pihak bahwa militer Indonesia terlibat penculikan Abu Is. Lalu di mana Abu Is? "Beliau berada di suatu tempat," ujar Gubernur GAM Wilayah Pase, Abu Said Adnan, menjelaskan tanpa merincinya lebih lanjut. Abu Said membantah bahwa Abu Is lenyap setelah tertangkap anggota TNI.

Menghilangnya Ismail ini mau tidak mau menambah panjang daftar kemelut di Aceh pasca-penandatanganan Jeda Kemanusiaan antara pemerintah Indonesia dan GAM. Awal Juni lalu Sekretaris Jenderal MP GAM—salah satu faksi di dalam GAM—Teuku Don Zulfachri, tewas ditembak orang tak dikenal di Kuala Lumpur, Malaysia.

***

PARA korban Tragedi 27 Juli 1996 mesti memiliki urat sabar lebih tebal. Komandan Pusat POM, Mayjen Djasri Marin, mengaku hingga Selasa kemarin belum menerima berkas dari Polri yang menyidik para tersangka dalam kerusuhan berdarah di Ibu Kota tersebut. Alhasil, harapan para korban untuk melihat adanya aparat militer atau Polri sebagai tersangka dalam kerusuhan berdarah ini mesti disimpan lebih dahulu.

"Saya (polisi militer) tidak melakukan penyidikan jika tidak ada bukti permulaan. Karena itu, saya tunggu penyerahan berkasnya dari Polri," kata Djasri. Kendati begitu, Djasri menegaskan, jika ada bukti keterlibatan prajurit TNI atau Polri, pihaknya akan menyelidiki pula kemungkinan adanya kerja sama mereka dengan para tersangka dari pihak nonmiliter.

***

SYAMSUDDIN Mahmud harus merelakan jabatannya sebagai Gubernur Aceh berpindah tangan. Rabu pekan ini seorang pejabat sementara, Ramli Ridwan, akan menggantikan posisi Syamsuddin. Ramli adalah bekas bupati Aceh Utara yang dikenal pula sebagai wakil Departemen Dalam Negeri dalam penandatanganan Jeda Kemanusiaan dengan pihak GAM di Swiss pada 12 Mei silam.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat Pemda Aceh, T. Pribadi, menjelaskan surat keputusan penggantian gubernur telah diteken Presiden Abdurrahman Wahid pada 7 Juni silam. Pergantian Syamsuddin ini sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Pertengahan Mei lalu, misalnya, 29 anggota DPRD Aceh menghadap Presiden untuk menyampaikan mosi tidak percaya terhadap Syamsuddin. Para wakil rakyat itu kecewa dengan kinerja Syamsuddin yang dianggap lambat merespons penderitaan rakyat akibat konflik bersenjata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus