Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, ketika Kim dan Kim berjabat tangan, seluruh dunia bertepuk tangan. Bak seorang ibu yang senantiasa gundah menyaksikan sepasang anak berseteru tak berkesudahan, kita menghela napas lega ketika kedua pemimpin semenanjung yang sudah bebuyutan sejak 1948 itu akhirnya bersedia bertemu. Kita lega untuk satu alasan, yang terdengar klise tapi penting: ternyata masih ada harapan untuk berdamai.
Pertemuan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Il dan Presiden Korea Selatan Kim Dae Jung di Pyong Yang tanggal 13 Juni 2000 memang menjadi peristiwa bersejarah bukan hanya bagi warga kedua Korea, tetapi juga bagi warga dunia yang di masa lalu pernah terpecah belah oleh "divisi kapitalis" (diketuai AS dan Eropa) dan "divisi komunis" (yang dipimpin Soviet) serta "divisi nonblok" yang dipimpin secara bergantian oleh anggotanya yang terdiri dari berbagai warna dan ideologi.
Pada akhir tahun 1980-an, saat komunisme rontok di Eropa Timur, Soviet runtuh dan lahir menjadi sejumlah negara baru yang kecil, serta tembok Berlin rontok hingga menyatukan Jerman Barat dan Timur (kembali), ternyata sepasang saudara Korea menjadi reruntuhan Perang Dingin yang terus mencoba bertahan hidup hingga pekan silam.
Permusuhan tersebut bisa menjadi sengit bukan hanya dengan perang selama empat tahun, tetapi seterusnya hingga puluhan tahun lamanya pihak Korea Utara dan Korea Selatan sama-sama memiliki aktivitas intelijen yang tinggi. Ditambahkan lagi, Korea Utara yang terkesan misterius dan reklusif itudengan sistem ekonomi tertutupselama ini dituduh AS memiliki reaktor nuklir bawah tanah yang bisa menghancurkan warga dunia setiap saat. Bahkan, setahun silam, masih terjadi bentrok kapal kedua Korea di perairan sekitar semenanjung itu. Pasukan AS yang berjumlah 37 ribu orang yang bercokol di perbatasan Korea dan kecurigaan dunia Barat bahwa Korea Utara telah mengekspor rudal ke berbagai negara untuk aktivitas terorisme semakin membuat situasi kedua Korea semakin mencekam.
Lalu, apa yang menyebabkan dua bersaudara yang sudah 52 tahun bercerai ini tertarik untuk rujuk?
Bagi Korea Utara, kemiskinan telah membuka jalan damai. Ekonomi negara yang demikian tertutup dan sekitar 2,3 juta penduduk yang mati kelaparan tak memungkinkan negara itu untuk tak membuka diri. Ketika setahun silam Kim Jong Il mengizinkan pemeriksaan senjata nuklir dengan "barter" bantuan makanan bagi warganya yang kelaparan, maka ini adalah gejala bahwa sang pemimpin menyadari tak mungkin ia terus-menerus bermusuhan dengan "saudaranya" (baca: negara Barat). Kunjungan Kim Jong Il ke Beijing bulan Mei silam adalah sebuah pengumuman bagi dunia bahwa Korea Utara sudah bersedia membuka diri, meski perlahan, kepada ekonomi internasional. Adapun Presiden Kim Dae Jung, yang telah mencanangkan "sunshine policy" sejak 1997, percaya bahwa kontak sosial dan budayadengan mengirim berbagai kelompok kesenian setahun silambisa membuka kemungkinan untuk meluruhkan sikap rigid Korea Utara dan niscaya bisa mempertemukan kedua negara ke meja perdamaian.
Kebijakan "Sinar Matahari" Korea Selatan dan kelaparan di Korea Utara telah melahirkan sejumlah aksi kunjung-mengunjung di antara sesama saudara secara informal sejak dua tahun silam. Ini sebuah kegiatan yang tak terbayangkan beberapa tahun silam karena kedua negara telah melarang kontak resmi antarwarga.
Kesadaran kedua belah pihak untuk akhirnya berjabat tangan dan membicarakan kemungkinan untuk saling percaya pada akhirnya akan membuka jalan pada reunifikasi. Setelah perpecahan berbagai negara menjadi kepingan-kepingan (Soviet dan Yugoslavia), serta permintaan di sana-sini untuk berpisah dari Indonesia (Aceh, Papua, dan seterusnya), sebuah kabar untuk rujuk dan perdamaian di belahan dunia yang lain patut dirayakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo