Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Yang Penting Hasilnya Bung!

Sulitnya melacak harta koruptor memang terjadi di banyak negara. Karena itu, Gus Dur minta bantuan ke Amerika Serikat

18 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KORUPTOR itu jelas tergolong maling. Tapi ia bukan maling sepeda motor atau maling kaca spion, yang mudah digebuki, bahkan—amit-amit—bisa dibakar hidup-hidup oleh masa kalau ketahuan. Biarpun koruptor itu jelas tampangnya, rumahnya, termasuk jenis kelaminnya, ia sulit untuk "digebuki". Ia dikelilingi oleh pengacaranya, bahkan pengawalnya. Jadi, ia masih aman main golf karena hukum betul-betul melindungi manusia yang berprofesi koruptor ini.

Apakah Soeharto sudah berhak menyandang gelar koruptor? Tentunya secara resmi belum karena ia bukan maling kaca spion yang mudah ditangkap, lalu diproses secara hukum. Untuk memberi gelar koruptor kepada pemimpin Orde Baru yang kelewat lama berkuasa ini, harus ada pembuktian hukum. Begitu pula, harta yang dijarah dari rakyat selama ia berkuasa harus bisa dibuktikan secara hukum, meski banyak orang sepertinya tahu di mana harta itu disimpan. Soeharto sendiri sudah pernah mengatakan secara gamblang, tidak punya sepeser pun harta di luar negeri. Pernyataan yang sangat menantang.

Nah, karena pembuktian hukum itu sulit, apalagi penegak hukum di sini sudah dikenal bekerja superlambat, Presiden Abdurrahman Wahid minta bantuan Presiden Bill Clinton untuk ikut melacak harta kekayaan para koruptor negeri ini, termasuk harta kekayaan Soeharto. Clinton menyetujuinya. Dan Amerika Serikat memang punya lembaga pelacak harta haram ini yang bernama Institute Centre for the Study of Corruption.

Jika cara-cara Gus Dur meminta bantuan ini menimbulkan reaksi di Tanah Air, memang masuk akal. Akal pertama mengatakan, kok repot-repot minta bantuan asing, wong kita punya aparat hukum sendiri, itu saja diberdayakan. Sepertinya rasa nasionalisme kita terganggu, atau katakanlah kita seperti tak berdaya benar menghadapi seseorang bernama Soeharto, yang kini katanya sudah sulit bicara dan bahkan sulit berpikir. Tapi akal lain mengatakan, kenapa mesti membawa-bawa nasionalisme kalau memang cara ini bisa berhasil? Yang penting hasilnya, Bung!

Ya, rakyat banyak sebenarnya tak peduli siapa pun yang melacak harta Soeharto itu, apakah itu hansip dari Condet atau detektif dari Kroll Associates atau lembaga Institute Centre for the Study of Corruption. Yang penting, hasilnya tadi. Yang dikhawatirkan justru setelah minta bantuan ke sana kemari, hasilnya tetap nihil. Contohnya rakyat Filipina. Untuk melacak harta Marcos, dibentuk tim-tim pelacak. Hasilnya tak ada apa-apa, sementara biaya untuk tim pelacak itu sendiri justru membebani uang negara. Jangan sampai hal itu terulang di republik yang sudah banyak utang ini.

Karena itu, "tawaran berdamai" Gus Dur kepada Soeharto mungkin bisa dimengerti pula. Kita doakan (kalau doa tak cukup, ditambah aksi unjuk rasa) agar Soeharto dan keluarganya suka rela menyerahkan sebagian hartanya. Kalau itu terjadi, untuk apa repot-repot minta bantuan Clinton?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus