Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Peristiwa

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para Jenderal Menunggu 'Vonis'

Jajaran TNI melihat Senin pekan depan sebagai hari yang menentukan. Hari itu, Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM mengumumkan hasil pemeriksaan terhadap keterlibatan sejumlah perwira militer dalam kerusuhan berdarah dan bumi hangus terhadap Kota Dili, Timor Timur, seusai jajak pendapat. Inilah komisi pertama dari jenisnya di Indonesia yang dibentuk di bawah sorotan internasional untuk menyidik pelanggaran hak asasi manusia oleh para petinggi militer—mereka yang sejauh ini ''tak tersentuh". Militer layak khawatir. Komisi itu akan membuat kesimpulan dan rekomendasi yang kemungkinan memandu ke arah proses hukum. Dan jauh hari, para anggota komisi sudah menyiratkan ''vonis" apa yang akan diambil. Ketua KPP HAM, Albert Hasibuan, misalnya, menyatakan bahwa sesuai dengan perundingan internasional di New York, TNI-lah yang bertanggung jawab atas keamanan Tim-Tim sebelum ataupun sesudah jajak pendapat. Itu sebabnya, menurut Albert, Wiranto—Panglima TNI kala itu—"dapat dikenai tindakan sebagai telah membiarkan atau tidak melarang pelanggaran hak asasi di sana." Namun, jalan ke pengadilan—jika itu rekomendasinya—masih akan berliku. Pengadilan militer Indonesia dipandang tidak punya kredibilitas ketika berhadapan dengan perwira tinggi—seperti terbukti dalam kasus penembakan mahasiswa Universitas Trisakti pada Mei 1998. Sementara itu, pengadilan koneksitas—gabungan sipil-militer—masih dalam polemik tiada ujung. Todung Mulya Lubis mengusulkan pembuatan undang-undang peradilan hak asasi manusia yang baru, untuk membentuk sistem peradilan hak asasi yang mandiri, adil, serta obyektif dengan menggunakan hakim ad hoc. Dan bisa dibayangkan proses pembuatan undang-undang baru itu—jikapun ada keinginan politik yang kuat dari pemerintahan Abdurrahman Wahid. Bahkan, mahkamah internasional pun tidak mudah digelar. ''Prosesnya akan lama karena harus melalui Ketua Komisi Tinggi HAM PBB, Sekjen PBB, barulah dibahas di Dewan Keamanan PBB," kata Adnan Buyung, pembela para jenderal itu. Buyung yakin bahwa Rusia dan Cina—dengan hak veto mereka—akan menolak pengadilan semacam itu.


Kapolri Pecat Perwira yang Terlibat Narkotik

Sikap tegak sempurna ala militer tidak bisa menyembunyikan wajah Kapten Lintang Trisno yang kuyu. Apalagi tatkala satu per satu tanda pangkat dan atribut kepolisian yang melekat di seragamnya dilucuti Kapolda Jateng Mayjen Nurfaizi, disaksikan Kapolri Letjen Pol. Rusdihardjo. Ia harus pulang ke rumah berbaju batik. Lintang—mantan Kepala Pusat Komando Pengendalian Operasi Polres Kendal, Jawa Tengah—diberhentikan dengan tidak hormat karena keterlibatannya dalam kasus narkotik dan obat terlarang. Di samping Lintang, 26 aparat Polda Jateng—sembilan di antaranya berpangkat kapten—juga dikenai hukuman disiplin dan administrasi. Pemecatan dan pemberian hukuman ini merupakan yang pertama bagi polisi yang terlibat. ''Masyarakat sudah muak," kata Kapolri Rusdihardjo. ''Di Amerika dan Thailand memang parah, tetapi polisi yang terlibat tidak sebanyak di Indonesia." Ibarat kanker di jari tangan," kata Rusdihardjo, ''jari itu yang sekarang harus saya potong." Tak hanya polisi. Sejumlah perwira militer Indonesia—baik dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, maupun Udara—juga diketahui terlibat dalam perdagangan dan pemakaian obat terlarang itu. Dalam sebuah penggerebekan yang mencengangkan beberapa waktu lalu, misalnya, tertangkap basah Agus Isrok, yang tak lain seorang anggota pasukan elite Kopassus dan anak Jenderal Subagyo—KSAD kala itu. Tidak semua kanker terbukti telah diamputasi.


Yorrys Dituding, Yorrys Menuntut

Yorrys Raweyai bertekad menggugat Thamrin Amal Tamagola, pengamat sosial Universitas Indonesia, yang menudingnya sebagai provokator kerusuhan terakhir di Maluku. ''Saya sedang mengumpulkan bukti," katanya. ''Akan saya ajukan dia ke pengadilan." Dalam pernyataannya pekan lalu, Thamrin memang mengungkapkan sejumlah nama berkaitan dengan konflik berbau suku dan agama di Maluku itu: Buce Sarpara, Yorrys Raweyai, Dicky Wattimena, dan Sultan Ternate. Dan bukan sekali ini Yorrys dituding. Tahun lalu, Abdurrahwan Wahid, sebelum jadi presiden, pernah pula menyebutnya sebagai provokator kerusuhan Maluku yang berkepanjangan itu. Dia memang mudah dijadikan ''kambing hitam". Aktivitas dan reputasinya sebagai Ketua Presidium Pemuda Pancasila—organisasi yang dekat dengan kalangan militer—sangat dikenal. Abdurrahman secara tersirat dulu mengaitkan operasi Yorrys dengan keterlibatan Cendana. Kerusuhan terjadi setiap kali Soeharto dihujat-hujat. Dan kini, Thamrin menunjuk kemungkinan kaitan para provokator itu dengan Jenderal Wiranto. Kerusuhan memuncak ketika para jenderal diperiksa dalam kasus pelanggaran HAM. Namun, adanya motif saja tak bisa dipakai memvonis seseorang terlibat dalam kejahatan. Meski Abdurrahman Wahid tak bisa membuktikan keterlibatannya, Yorrys tampaknya memilih mengalah kala itu. Namun, kali ini tidak. Thamrin tak hanya harus menghadapi Yorrys. Wiranto pun, menurut sumber TEMPO yang dekat dengan sang jenderal, siap mengajukan somasi terhadapnya. Dan Thamrin jadi ragu-ragu. Sosiolog yang tergabung dalam Tim Wapres untuk Maluku itu bahkan mengakui kelemahan tuduhannya. ''Setelah mengkaji ulang, ternyata data itu sangat lemah," katanya. ''Karena itu, saya telah meminta maaf kepada Yorrys dan Bruce." Dia masih berkeras dengan dua lainnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus