Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kisah Pistol-pistolan Pembawa Petaka

Pistol mainan meminta ratusan korban. Sebuah permainan yang mengajarkan nilai kekerasan?

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IDUL Fitri lalu menjadi kenangan terburuk seumur hidup bagi Cecep Supriyatna. Mata kiri Cecep, 7 tahun, yang tertembak peluru pistol mainan, terancam buta. Ironisnya, pistol yang berpeluru plastik pejal sebesar biji jagung itu adalah hadiah Lebaran dari ayahnya. Mulanya, Supriyatna, ayah Cecep, ingin memberi hadiah karena anak bungsunya mampu berpuasa, walau tidak tamat. Maka, ayah Cecep membelikan sebuah pistol mainan yang sedang jadi trend di kawasan Bumisari Antapani, Bandung, itu. Dengan uang Rp 5.500, pistol itu juga menyertakan sekantong peluru plastik pejal berisi 50 butir. Ternyata, pistol mainan yang masih gres itu sudah macet, tidak bisa dikokang. Cecep meminta tolong kepada kakaknya, Deni Kurniawan, 16 tahun, untuk membetulkannya. Tapi, begitu Deni—yang tenaganya lebih kuat—menarik kokang pistol mainan itu, pistol itu langsung meletus dan mengenai mata kiri Cecep, yang hanya berjarak sekitar setengah meter dari Deni. Cecep yang malang tidak segera dibawa ke dokter karena orang tuanya tidak mengira dampaknya akan begitu parah. Ternyata, mata Cecep, yang merah berair—hingga mengakibatkan anak kurus itu merasa mual dan pusing—menjadi semakin parah. Baru pada Senin, 10 Januari 2000, Cecep dibawa ke Rumah Sakit Mata Cicendo (RSMC), Bandung. Tapi terlambat, mata kiri Cecep sudah tidak bisa diselamatkan akibat penggumpalan darah bercampur air mata. Ternyata Cecep tidak sendirian. Di RSMC, sudah ada sekitar 100 korban peluru pistol mainan, dan lebih dari separuhnya harus dioperasi. Korban pada umumnya berusia di bawah 12 tahun, walaupun ada yang berusia dewasa. Pada umumnya korban yang terluka itu akibat saling tembak dengan teman-temannya. Tapi, tidak jarang anak-anak yang bermain pistol itu sengaja menembakkan peluru plastik itu ke orang-orang yang lewat. Bahkan, di Cicendo, ada seorang kakek dan nenek yang harus dioperasi mata karena menjadi korban ''tembak" cucunya sendiri. Sebenarnya, permainan jenis pistol berpeluru bukan sesuatu yang baru. Tapi, karena yang belakangan ini menimbulkan ratusan korban, orang baru sadar bahwa peluru plastik pejal memang bisa berakibat fatal. ''Tikus saja nyaris mati bila ditembak peluru plastik," kata Agus Pambagio, Wakil Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), yang sempat membeli beberapa pistol mainan itu untuk contoh. Saking gawatnya urusan pistol-pistolan ini, berbagai pihak berkomentar keras. YLKI menyerukan agar permainan jenis berbahaya itu dirazia polisi dan dihancurkan. ''Ini semakin berbahaya karena mainan pistol-pistolan sangat mudah didapat, dijual di pinggir jalan dengan harga murah," kata Agus. Menurut pengamatan TEMPO, pistol mainan berpeluru karet itu bisa didapat di pedagang kaki lima dengan harga Rp 5.000 hingga Rp 15.000. Sementara itu, yang mencemaskan banyak pihak bukan sekadar akibat fisik dari pistol-pistolan itu, seperti kebutaan, tapi juga akibat psikologisnya, yaitu mengajarkan kekerasan. Sebab, menurut Seto Mulyadi, pencinta dan pemerhati anak, pada dasarnya dunia anak adalah dunia bermain, dan permainan itu bisa menjadi sarana pendidikan. ''Kalau bermain angka-angka, bisa mahir matematika, itu positif. Tapi kalau bermain pistol-pistolan, jatuh korban, berarti anak yang bersangkutan belajar jadi kriminal," ujar Kak Seto, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak. Pengaruh permainan pada anak memang tidak bisa diremehkan. ''Jenis permainan yang hanya mempertimbangkan aspek bisnis, dan bukan edukasi, bisa berbahaya dan memengaruhi perkembangan anak pada masa mendatang," kata Kak Seto. Jangan-jangan, permainan justru menyuburkan jiwa kekerasan dan sadistis pada anak. Dan pengaruh buruk itu semakin diperkuat dengan banyaknya contoh-contoh yang mempertontonkan kekerasan, seperti tayangan kerusuhan di Ambon, Mataram, Aceh, dan kekerasan di televisi. ''Itu semua bisa berdampak buruk pada perilaku anak," kata Seto. Sebenarnya, pistol mainan hanyalah salah satu contoh permainan yang ''mengajarkan" kekerasan. Jenis permainan video dengan adegan laga yang keras, seperti mortal combat, yang ada tayangan berupa pemenggalan kepala hingga menyemburkan darah ke mana-mana, juga pernah menjadi kontroversi. Permainan virtual reality seperti itu tengah marak berkembang bersamaan dengan fenomena video game pada awal 1980-an. Repotnya, permainan jenis seperti itu justru membuat orang kecanduan. Pemerintah AS bahkan menyempatkan diri untuk membuka Pusat Konsultasi Video Game, yang melayani konsultasi per telepon 24 jam. Di negara-negara maju, aspek negatif permainan anak memang memakan perhatian khusus. Perhatian itu tak hanya meliputi bahan permainan, tapi juga pengaruh psikologisnya, yang bisa saja memicu munculnya perilaku menyimpang seperti kekerasan dan pemuja seks. Di AS, misalnya, pihak Kongres sudah memutuskan untuk melarang berbagai bentuk permainan yang mirip dengan pistol asli. Dewan Perwakilan Rakyat meminta Komisi Produk untuk Keamanan Konsumen AS agar melarang peredaran jenis mainan seperti pistol, sejak awal 1999. Pada 1994, Bee International Inc., sebuah perusahaan pengimpor permainan anak di AS, dihukum denda US$ 65 ribu karena terbukti telah mengimpor permainan anak yang membahayakan. Bagaimana dengan Indonesia? Masyarakat Indonesia masih jauh dari sikap peduli kepada soal permainan anak. Kalaupun belakangan ini banyak diributkan oleh berbagai kalangan, itu lebih disebabkan oleh banyaknya korban yang berjatuhan. Razia-razia yang dilakukan polisi, misalnya, hanya merupakan reaksi terhadap persoalan yang ada. Bahkan, reaksi tersebut terkesan tanpa landasan bertindak yang jelas. Seorang pejabat, misalnya, mengusulkan untuk menutup pabrik mainan pistol-pistolan, padahal pabrik tersebut ada di Cina, bukan di Indonesia. Pihak orang tua tampaknya tidak terlalu sadar seberapa berbahayanya akibat yang ditimbulkan mainan seperti pistol-pistolan itu. Menurut cerita Agus, 43 tahun, pedagang mainan di sebuah arena bermain komidi putar di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, orang tua yang membeli pistol mainan tidak peduli dengan akibat yang bisa ditimbulkan oleh pistol-pistolan. ''Padahal, saya sudah mengingatkan bahwa pistol tersebut bukan untuk tembak-tembakan," kata Agus, yang mengaku sadar betul betapa berbahayanya pistol-pistolan berpeluru plastik pejal itu. Bahkan, sebenarnya di kemasan pistol mainan itu sudah ada peringatan—dalam bahasa Inggris—bahwa mainan tersebut tidak untuk ditembakkan ke manusia dan binatang, hanya boleh ditembakkan ke kertas sasaran yang disediakan, dengan batas usia pemain 14 tahun ke atas. Jika demikian, salah siapa? Pihak orang tua anak jelas menjadi pihak pertama yang harus bertanggung jawab karena orang tualah yang berperan paling penting dalam mendidik anak. Seto sendiri juga menyayangkan sikap orang tua yang tidak mengontrol jenis permainan anak. Tudingan kedua mengarah pada pemerintah, yang tidak mengatur perlindungan hak anak, termasuk keselamatan mereka terhadap ancaman mainan yang berbahaya. Pistol mainan berpeluru plastik pejal itu tidak hanya mudah didapat, tapi juga terjangkau harganya. Akibatnya, tanpa orang tua pun, seorang anak mampu membeli pistol-pistolan. Untuk itu, Seto menyarankan agar tempat penjualan permainan berbahaya itu dilokalisasi sehingga tidak mudah dijangkau oleh anak-anak. Untuk langkah yang lebih jauh, diperlukan perangkat hukum yang lebih pasti. ''Di Indonesia, seharusnya ada undang-undang perlindungan anak yang melindungi anak dari hal-hal yang berbahaya, termasuk dari mainan," kata Seto. Saran Kak Seto ini hanya bisa ditanggapi serius oleh pemerintah kalau mereka beranggapan bahwa masa depan anak-anak sepenting masa depan bangsa. Bina Bektiati, Dwi Wiyana, dan Rinny Srihartini (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus