Masa depan Gus Dur bergantung pada Astra International. Pernyataan bombastis itu memang terasa berlebihan, tapi tidak 100 persen keliru.
Melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), pemerintah tengah berupaya menjual sahamnya di perusahaan mobil PT Astra International. Hasil penjualan ini bukan cuma memastikan cukup-tidaknya dana untuk membiayai belanja negara, lebih dari itu juga menjadi tolok ukur bagi investor asing untuk memutuskan langkahnya ke Indonesia.
Sejak krisis merangsek dua tahun lalu, belum ada satu pun investasi besar yang datang menetap ke Indonesia. Aset-aset hebat milik konglomerat yang dikelola BPPN sebagai barang sitaan juga belum menjala penanaman modal yang berarti.
Upaya pemerintah menjual saham Bank Bali, misalnya, gagal memenuhi jadwal yang direncanakan. Investor asing yang telah berjanji menanamkan uang terpaksa mundur gara-gara ditolak manajemen Bank Bali. Penolakan itu telah menorehkan noda tak sedap: betapa sulit bertanam usaha di Indonesia.
Sulit dibantah, noda hitam Bank Bali telah mengerem langkah para pemodal. Padahal, negara membutuhkan banyak dana untuk membiayai penyehatan perbankan, mengongkosi subsidi pangan, bahkan sekadar untuk memutar roda birokrasi—dengan segera. Selain itu, gerak maju perekonomian kita sangat bergantung pada injeksi uang para pemodal asing, karena kelangkaan kapital di dalam negeri. Melalui penjualan saham Astra, kita berharap tinta hitam Bank Bali itu bisa dikurangi—kalau tidak sekalian dihapus.
Repotnya, seperti halnya Bank Bali, penjualan Astra juga dibayang-bayangi kegagalan, jika bukan kelambatan. Manajemen Astra menolak masuknya investor pilihan BPPN, yang akan menjadi penguasa tunggal dalam perusahaan publik tersebut. Selain itu, mereka merasa harga Astra dinilai terlalu rendah, jauh di bawah tawaran yang mungkin bisa mereka peroleh.
Konflik buruh-majikan itu, untuk sementara, memang bisa diatasi. Untuk melempangkan rencananya, BPPN menggusur manajemen Astra. Tapi pertempuran jauh dari selesai: Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Kwik Kian Gie, menuntut prosedur lelang terbuka—bukannya penunjukan investor seperti dilakukan BPPN saat ini. Dengan lelang terbuka, saham Astra bisa dihargai pada nilai yang wajar.
Harga wajar dalam tempo singkat, barangkali di situlah pokok tuntutannya. Apakah itu mengharuskan adanya transparansi? Tentu saja. Tapi, sepanjang targetnya jelas, transparansi mestinya bukan tuntutan publik terhadap pemerintah, melainkan sebaliknya, kebutuhan para eksekutif pemerintahan agar mereka bisa terbebas dari tuntutan hukum, kelak di belakang hari.
Jika saham Astra tak terjual secara wajar, misalnya, publik tinggal menuntut: mengapa sampai terjadi. Dan jika dalam pemeriksaan ternyata ada yang disembunyikan, tinggal dipertanyakan mengapa mereka tak membukanya sejak awal. Untuk menangkap maling, kata orang bijak, tak perlu menjadi maling, tapi cukup dengan menutup pintu keluarnya.
Singkat kata, tak banyak gunanya memusingkan apa yang dilakukan para eksekutif BPPN. Barangkali akan lebih bermanfaat jika kita memberinya kepercayaan agar bisa menuai hasil yang maksimal.
Kalau ternyata mereka tak mampu? Tuntut!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini