Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sehari-hari penampilannya perlente. Bekerja sebagai pegawai di sebuah perwakilan ne-gara asing di Jalan Sudirman, Jakarta, Aditya Gana, 36 tahun, punya kebiasaan unik. Setiap ada waktu senggang, ia menyempatkan menembus kemacetan Jakarta menuju kawasan Pecenongan, Jakarta.
Di sana, tepatnya di Jalan Batu Tulis—sepotong jalan kecil di belakang Jalan Hayam Wuruk—Aditya gemar meng-habiskan waktu berburu aneka arloji bekas yang dijajakan di deret-an pertokoan di tepi jalan. Sebetulnya bukan sembarang arloji bekas. Ber-asal dari merek-merek tertentu, jam ta-ngan itu tergolong vintage, yaitu arloji yang digerakkan secara mekanik, baik diputar secara manual (wind up) maupun otomatis.
Usia arloji seperti itu biasanya cukup tua, dari buatan penghujung abad ke-19 sampai keluaran tahun 1980-an. Beberapa sudah menjadi barang langka karena tak diproduksi lagi. Bagi Aditya, kerumitan dan teknik yang terdapat dalam sebuah jam menjadi daya tarik tersendiri. Di mata-nya, gerakan mesin arloji- yang di dalamnya ter-da-pat pegas, roda, ja-rum, dan sebagainya ba-gaikan organisme hi-dup yang bernyawa-. ”Arloji bukan sekadar alat penunjuk waktu, melainkan suatu karya seni yang indah,” ujarnya. Ia sama sekali tak berse-lera dengan arloji mo-dern yang menggunakan tenaga baterai.
Di luar jenis mesin dan tahun keluaran, hal lain yang membuat Aditya tergi-la-gila pada arloji vintage adalah berba-gai cerita yang berkaitan dengan arloji tersebut. Contohnya adalah salah satu arloji koleksinya, Omega Speedmaster Chronograph. Pada 1965, Lembaga Antariksa Amerika Serikat (NASA) memilih arloji itu untuk digunakan dalam pelatihan misi perjalanan manusia ke angkasa luar. Di bak belakang arloji- tertulis ”Qualified by NASA for All Manned Space Missions”. Pada Juli 1969, arloji tersebut benar-benar dipakai Neil Armstrong, astronaut Amerika, dalam pendaratan di bulan.
Dengan demikian-, Omega Speedmaster Chronograph merupakan jenis jam tangan pertama dan satu-satunya yang pernah berada di bulan. Sejak dipakai ke bulan, arloji itu dikenal sebagai ”Omega Moon Watch”. Jenis tersebut menjadi tenar dan dicari para kolektor.
Koleksi Aditya yang lain adalah Universal Tri Compax. Arloji jenis ini pernah dipakai Presiden Amerika Harry- Truman ketika meneken Perjanjian Postdam untuk mengakhiri Perang Dunia II, pada Juli 1945. Selain karena sejarahnya, Universal Tri Compax juga disukai karena mesinnya yang kompleks, yaitu Chronograph Triple Date ditambah Moon-Phase.
Arloji kesayangan Aditya lainnya adalah Rolex GMT-Master. Arloji ini dirancang untuk digunakan para pilot maskapai penerbangan Pan-Am pada 1953. Keistimewaan arloji itu adalah dapat menunjukkan dua zona waktu yang berbeda, teknologi yang ketika itu sudah sangat maju.
Kisah lain tentang arloji antik terkait dengan maskapai penerbangan Scandinavian Airline System (SAS). Syahdan, pada awal 1950-an, SAS berusaha memperpendek jarak tempuh penerbangannya dari Eropa ke California, Amerika. Untuk itu, pesawat-pesawat SAS harus melewati Kutub Utara. Per-usahaan arloji terkemuka Universal lalu menyiapkan seri jam ta-ngan yang mampu melawan me-dan magnet di daerah kutub untuk digunakan para awak SAS.
Penerbangan komersial perdana berlangsung pada 15 November 1954, mengambil rute dari Kopenhagen di Denmark ke Los Angeles, Amerika, melewati Kutub Utara. Suksesnya penerbangan itu membuat Universal memperkenalkan kepada publik seri jam tangan yang disebut Polerouter-. Arloji ini dirancang oleh desainer terkemuka Gerald Genta dengan mesin yang sangat terkenal, yaitu Microtor. Seri ini kemudian menjadi legenda di antara penggemar jam antik.
Ada lagi Rolex Submariner Military. Arloji ini berdesain kasar dan dipakai- angkatan laut Inggris dan Kanada, ma-rinir Inggris, serta pasukan khusus angkatan laut Amerika, Navy Seals, pada 1950-an. Lantaran bintang film Sean Connery menggunakan arloji ini dalam beberapa serial James Bond, para kolektor kerap menyebutnya se-bagai ”James Bond Submariner”.
Aditya juga pernah memiliki arloji- sport bermerek Heuer. Perusahaan ini setelah melakukan merger dengan Tag sekarang dikenal dengan nama Tag-Heuer. Saat ini koleksi arloji kepu-nyaannya mencapai 30 buah. Keba-nyakan terdiri atas merek Omega dan Rolex. Arloji itu ia simpan dalam sebuah koper metalik yang ditaruh di kantornya.
Perilaku Aditya sebagai pencinta arloji vintage kadang mengundang senyum orang-orang se-kitarnya. Soalnya, da----lam sehari ia bisa ber---ganti arloji-- sampai- empat kali. ”Berangkat dari rumah, se--telah ma-kan si-ang, wak-tu- istirahat sore, dan ketika pulang ke rumah biasanya saya menggunakan arloji yang berbeda-beda,” ujarnya.
Selain di Pasar Batu Tulis, Aditya biasa- berburu arloji antik di pusat pertokoan dan tempat servis. Kadang-kadang ia memperoleh arloji langsung dari pemakai, kolektor lain, orang yang memperoleh warisan arloji dari orang tuanya, atau dari Internet. Harganya bervariasi mulai dari ratusan ribu sampai puluhan juta rupiah.
Sering kali ia memperoleh arloji yang kondisinya rusak parah. Memperbaiki-nya tak mudah karena suku cadangnya sulit diperoleh. Perbaikan sebuah arloji tak jarang dilakukan dengan cara kanibal. Aditya pernah memperoleh dua arloji Omega dari jenis yang sama. Sebuah arloji fisiknya hancur, tapi mesinnya masih bagus. Sebaliknya, arloji lain fisiknya bagus tapi mesinnya rusak parah. Akhirnya ia meng-ambil mesin yang bagus dan menempatkannya pada arloji yang fisiknya masih baik.
Penggemar arloji antik yang lain adalah Arif Yulianto, 35 tahun, se-orang konsultan service quality yang berkantor di kawasan Slipi, Jakarta Barat. Memulai hobi mengumpulkan- ar-loji antik sejak 1999, Arif pernah memiliki arloji sebanyak 40 buah. -Namun, koleksinya kini menyusut tinggal 16 buah. ”Dulu saya sembarang mengumpulkan arloji, sekarang lebih selektif,” katanya.
Arif rajin mengumpulkan informasi tentang jenis dan harga arloji vintage dari Internet maupun buku. Salah satu koleksi kebanggaannya adalah arloji buatan tahun 1940-an yang dulu dikenakan tentara Inggris. Arloji itu tak bermerek. Di bagian belakang ada lambang panah, angka kesa-tuan, dan nomor seri.
Koleksi lain adalah Aviator Chronograph, yang dipakai pe-nerbang Uni Soviet pada 1973. Arloji itu tergolong sederhana. Bahan pembuatnya adalah base metal, bukan baja, sehingga warnanya lama-kelamaan makin kusam. Mesinnya meniru-niru arloji buatan Swiss, tapi sampai sekarang ma-sih berfungsi dengan baik.
Arif juga memiliki empat buah Seiko Chronograph Automatic yang dibuat tahun 1970-an. Desain arloji- ini sebetulnya bagus, tapi entah mengapa kurang disukai orang-orang Eropa dan Amerika. Arloji itu juga memiliki keunikan karena tiga tombolnya terletak di atas angka 12, bukan di samping kanan seperti lazimnya arloji lain.
Memanfaatkan pekerjaannya yang sering bepergian ke kota lain, Arif selalu menyempatkan berkunjung ke pasar di kota tersebut untuk berburu- arloji. Salah satu hasil buruannya adalah arloji Titus buatan tahun 1930 yang diperoleh dari seorang pedagang di Pasar Johar, Semarang. Coba tebak berapa harga arloji tersebut? Cuma Rp 30 ribu.
Arif mengaku bangga mengenakan arloji koleksinya di tempat umum. Orang yang tahu atau tertarik pada keantikan dan keunikan arlojinya biasa-nya akan mendekat dan bertanya-. Dari sana, perbincangan berlanjut, dan Arif akan panjang-lebar menjelaskan mesin yang dipakai dan cerita di sekitar arloji tersebut kepada kenalan- baru--nya. Bila terlalu lama pergi ke luar kota, Arif akan merasa rindu de-ngan arloji-arloji yang ditinggalkannya di rumah. ”Saya pengen ngelapin dan mengelus-elus,” katanya.
Selain para pemburu barang bekas, ada pula penggila arloji vintage yang lebih suka membeli arloji dalam kondisi baru dan kemudian terus menyim-pannya. Bekas peragawati Keke Harun, 36 tahun, adalah salah sa-tu-nya. Mengumpulkan jam tangan- sejak 1990-an, Keke kini memiliki 15 arloji otomatik dari merek terkenal seperti Gerald Genta, Hublot, Rolex, Cartier, dan Bvlgari.
Keke mengaku menyukai arloji mo-del klasik dan long lasting. ”Kita pa-kai lima atau tujuh tahun ke depan, mo-delnya masih oke,” katanya. Salah satu arloji kesayangannya adalah sebuah Rolex yang dibelinya di Hong Kong 10 tahun lalu. Ketika itu harga-nya cuma Rp 6 juta, tapi kini telah melambung menjadi Rp 40 juta.
Arloji lain yang disukainya adalah Cartier Santoz. Arloji model perempuan yang berukuran kecil ini tergolong limited edition. Di dalam arloji itu ada gambar bulan sabit serta memiliki tiga waktu. Jadi, kalau pergi ke Australia, ia tak perlu memutar jarum arloji ke waktu Australia.
Keke biasanya mempelajari keunggulan dan cerita sekitar arloji yang dimilikinya dari berbagai brosur yang diperoleh di toko. Dari sana, ia mi-salnya mengetahui arloji Hublot yang dimilikinya adalah arloji yang sering dipakai raja-raja Inggris sejak dulu hingga kini.
Nugroho Dewanto, Eni Saeni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo