Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Teroris Baru, Jaringan Lama

17 Oktober 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siapakah pelaku bom Bali pada awal bulan ini? Tiga pekan setelah peristiwa laknat itu terjadi, polisi belum dapat mengungkap identitas mereka. Sementara ini yang ada baru dugaan. Misalnya tentang tiga kepala yang ditemukan di lokasi pengeboman dan disangka sebagai jasad para pengebom bunuh diri. Foto wajah ketiga jenazah yang sepatutnya masih dapat dikenali ini telah disebar ke seluruh penjuru Tanah Air tapi jati diri mereka belum juga dapat dipastikan.

Kalaupun identitas mereka akhirnya dapat diketahui—yang kelihatannya hanya soal waktu—pekerjaan polisi masih jauh dari selesai. Ada yang lebih penting untuk diungkapkan, ditangkap, dan diadili, yaitu mereka yang berhasil merekrut para pengebom bunuh diri itu. Mereka sosok berkarisma yang mampu meyakinkan orang lain untuk berjibaku. Yang kemudian melengkapi para ”murid” itu dengan bom dan mengirim mereka untuk meledakkan diri di titik sasaran yang telah ditentukan.

Bila para tokoh ini tetap bebas merdeka, serangan bom bunuh diri di negeri ini akan terus terjadi. Korban dari kalangan masyarakat biasa pun akan semakin bergelimpangan, jauh lebih besar jumlahnya ketimbang para pengebom. Sebab, dalam perang asimetris seperti perang melawan terorisme, porsi korban sipil memang selalu jauh lebih tinggi ketimbang para petarungnya. Setidaknya catatan sejarah menunjukkan hal ini. Dalam perang konvensional seperti Perang Dunia Pertama, hanya 5 persen korban berasal dari kalangan sipil. Dalam Perang Dunia Kedua, separuh korban adalah kalangan bukan petarung. Sedangkan dalam perang asimetris seperti di Vietnam, sekitar 90 persen korban adalah rakyat biasa. Bandingkan pula dengan serangan ke menara kembar World Trade Center di New York, yang menewaskan hampir 3.000 orang biasa dengan korban para teroris hanya 19 orang.

Besarnya korban serangan bom bunuh diri dibandingkan dengan pelaku ini membuat kalangan yang merasa tidak mampu melawan secara konvensional gemar memilih cara ini. Di Palestina, misalnya, hanya setengah persen serangan ke Israel dilakukan dengan pengebom bunuh diri, tapi mampu menewaskan lebih dari separuh korban tewas Israel. Maka tak kurang dari Ayman al-Zawahiri, pemimpin kelompok Al-Qaidah, mengakui efektivitas serangan ini. ”Operasi dengan metode jibaku adalah cara paling sukses untuk menghasilkan korban yang besar di kalangan musuh dan korban kecil di kalangan mujahidin,” katanya.

Efektivitas tinggi ini pula yang menyebabkan gerilyawan Tamil kerap melakukan serangan bom bunuh diri sejak 1987. Sedikitnya 240 pengebom jibaku Tamil melakukan serangan yang menewaskan ribuan korban, termasuk Perdana Menteri India Rajiv Gandhi. Di Rusia, pelaku bom bunuh diri asal Chechnya malah banyak berasal dari kaum hawa. Para janda korban perang yang dikenal publik sebagai kelompok ”janda hitam” ini meledakkan bom yang melumatkan tubuh mereka di tempat umum seperti di pesawat terbang, gedung teater, atau stasiun kereta api bawah tanah.

Menangkal serangan jibaku di tempat umum ini jelas bukan perkara mudah. Bahkan polisi Inggris yang dikenal sangat profesional dan berpengalaman menghadapi kelompok teroris IRA pun kebobolan pada Juli lalu, ketika jaringan transportasi umum London dibom anak-anak muda yang merelakan nyawanya dalam melakukan serangan. Walhasil, cara paling ampuh meminimalkan kemungkinan serangan bom bunuh diri adalah secepatnya menggulung tokoh-tokoh yang mampu merekrut anak-anak muda untuk berjibaku.

Di Indonesia beberapa sosok yang memiliki kemampuan ini, seperti Imam Samudra, telah berada di dalam kerangkeng. Namun masih banyak sosok lain seperti Dr Azahari dan Noordin Top yang masih berkeliaran sambil merekrut anggota baru, yang sebagian kemudian dikirim ke tempat latihan ilmu kemiliteran di Filipina Selatan. Kemampuan mereka lolos dari kejaran pihak polisi acap kali karena mendapat bantuan dari kelompok masyarakat yang bersimpati pada ideologi mereka.

Daerah yang pernah menjadi konflik antaragama seperti di Maluku dan Poso tentu memiliki simpati besar pada para bekas laskar yang pernah berjuang di pihaknya. Demikian pula para mantan laskar dari daerah lain yang pernah ”bertempur” di daerah konflik ini pasti mempunyai ikatan emosional dengan sesama ”bekas pejuang”. Apalagi yang pernah senasib berperang melawan kaum kafir di Afganistan.

Menghadapi kenyataan ini, upaya pemberantasan terorisme tak bisa dilakukan dengan operasi polisi yang konvensional. Pemerintah perlu melakukan pendekatan dan dialog dengan semua veteran konflik bersenjata, dari semua pihak, dan mengajak mereka kembali menjadi anggota masyarakat sipil yang damai. Ajakan itu tentu tak cuma dalam ucapan, melainkan juga dalam bentuk program-program yang berpotensi membawa mereka menjadi anggota masyarakat yang bermartabat. Bila pemerintah mampu melakukannya terhadap para mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka, tentu dapat pula melakukannya pada para veteran konflik yang lain. Barangkali cuma cara ini yang akan efektif menyetop munculnya teroris baru dari jaringan yang lama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus