Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Peristiwa

14 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lakon Pramoedya Gugat

HANYA satu kata: lawan. Sebaris sajak penyair Wiji Thukul itu tampaknya masih diingat Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (organisasi onderbouw PKI). Kamis lalu, bersama keluarga dan korban stigma Gerakan 30 September (G30S), ia menggugat pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan empat bekas presiden sebelumnya sejak Presiden Soeharto. Gugatan itu didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Penggugat mengaku mewakili 20 juta korban lainnya. Mereka menuntut pemerintah membayar ganti rugi materiil Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar per orang, dan imateriil sebesar Rp 10 miliar. Mereka pun menuntut pemerintah mencabut semua kebijakan dan perundang-undangan yang diskriminatif serta menghilangkan cap buruk seputar G30S. Pemerintah juga dituntut supaya meminta maaf secara terbuka di media massa. "Kami minta pelurusan sejarah," kata Gatot, kuasa hukum korban dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.

Menanggapi gugatan terhadap mantan presiden Megawati, Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Pramono Anung, menyebut gugatan itu salah alamat. Megawati menghormati hak asasi, termasuk hak politik para korban peristiwa G30S. "Buktinya ada anak anggota PKI yang diangkat menjadi pengurus PDI Perjuangan," kata Pramono.

DPR Minta Naik Gaji

WAKIL rakyat semakin cepat tanggap. Baru sepekan harga bahan bakar minyak naik, mereka tak mau kalah. Pekan lalu mereka mengajukan usul kenaikan gaji. Jumlah kenaikan itu adalah Rp 15 juta setiap bulan, atau hampir setara dengan gaji mereka yang Rp 16 juta. "Untuk operasional," kata Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga DPR, Ahmad Syafrin Romas, Selasa pekan lalu.

Dana operasional yang dimaksud Romas mencontoh dana taktis para pejabat pemerintahan. Misalnya untuk memenuhi undangan ke daerah, bertemu konstituen, seminar, proposal sumbangan, dan tentu saja setoran untuk partai. Latifah Iskandar, anggota Fraksi PAN, mengaku sering nombok gara-gara gaji mepet. "Lha, gimana kalau tiba-tiba teman-teman daerah atau konstituen datang? Masa, enggak kita kasih sumbangan?" katanya.

Ketua DPR Agung Laksono mendukung usul ini. Dia malah melirik uang pembuatan undang-undang yang dulu menjadi jatah pemerintah. Selama ini pemerintah memperoleh anggaran Rp 2 miliar untuk pembahasan draf undang-undang, plus Rp 3 miliar saat mengajukannya ke DPR. "Sekarang pemerintah tidak lagi sepenuhnya membuat undang-undang," kata Agung.

Pengusiran tanpa Alasan

EDWARD Aspinal terkejut saat menjejakkan kaki di Bandara Soekarno-Hatta seusai terbang dari Australia, Selasa dua pekan lalu. "Saya hanya satu jam di bandara," kata pengajar dan peneliti masalah politik Indonesia di University of Sydney, Australia, ini Jumat lalu. Saat itu juga petugas imigrasi langsung mengusirnya pulang ke Australia.

Tidak jelas betul apa alasan pengusiran itu. Aspinal mengaku dalam 20 tahun terakhir dia sudah bolak-balik Jakarta-Australia, tapi tak pernah mendapat masalah. Lelaki itu lalu mengirimkan surat ke Duta Besar Indonesia di Australia, Imron Cotan, dan mempertanyakan alasan pengusiran tersebut. "Saya masih menunggu jawaban," katanya.

Dino Kusnadi, Sekretaris Bidang Informasi Kedutaan Besar Indonesia di Australia, membenarkan pencekalan itu. "Tetapi penolakan itu bukan dari Duta Besar," ujarnya saat dihubungi di Canberra, Australia, Jumat lalu. Menurut dia, penolakan itu atas permintaan Direktorat Jenderal Imigrasi di Jakarta. "Penolakan itu adalah hak setiap negara yang akan dikunjungi, dan kita tidak wajib memberi alasan," kata Dino.

Pollycarpus Batal Diperiksa

PENYELESAIAN kasus kematian tak wajar aktivis hak asasi manusia Munir kembali molor. Saksi kunci dalam kasus ini, Pollycarpus, batal hadir dalam pemeriksaan yang dijadwalkan Kamis pekan lalu. "Kami akan mengirimkan surat panggilan kedua dan membawa paksa," kata Kepala Bagian Reserse dan Kriminal Mabes Polri, Suyitno Landung, Kamis lalu.

Keterangan Pollycarpus ini diharapkan dapat menguak misteri kematian Munir dalam penerbangannya menuju Belanda setengah tahun yang lalu. Hingga kini polisi, kata Suyitno, belum menemukan hubungan Pollycarpus de-ngan lembaga lain seperti Badan Intelijen Negara.

Pemeriksaan batal setelah polisi menerima faks surat keterangan dokter dan surat permohonan penundaan pemeriksaan dari kuasa hukum Pollycarpus. Surat dokter menyebutkan bahwa Pollycarpus harus beristirahat selama tiga hari hingga Jumat pekan lalu. "Kami akan meneliti apakah Pollycarpus benar-benar sakit," kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Aryanto Budihardjo. Polisi akan melayangkan surat panggilan kedua, Senin ini.

Mencari Kebenaran di Timor Leste

PEMERINTAH Indonesia dan Timor Leste sepakat membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Komisi yang akan bekerja enam bulan lagi ini bertugas menyelesaikan masalah hak asasi manusia di masa lalu yang masih mengganjal di antara kedua negara. Presiden kedua negara, Susilo Bambang Yudhoyono dan Xanana Gusmao, menandatangani pembentukan komisi ini di Istana Merdeka, Jakarta, Ra-bu pekan lalu.

Presiden Xanana menyebut komisi yang anggotanya berasal dari kedua negara ini bertugas mencari keadilan, bukan untuk mengadili seseorang. "Kami tidak mencari terdakwa," ujarnya. Komisi ini pun bukan suatu pengadilan yang berhak mengadili orang. Menurut Presiden Yudhoyono, pembentukan komisi ini adalah cara terbaik daripada menerima konsep Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, telah membentuk komisi ahli untuk meneliti proses peradilan hak asasi manusia ad hoc dalam kasus pelanggaran hak asasi berat di bekas provinsi ke-27 Indonesia itu, pertengahan bulan lalu. Ketiga anggota Komisi Ahli PBB itu adalah Prafullachandra Bhagwati (India), Yozo Yokota (Jepang), dan Shaista Shameem (Fiji).

Menggugat Mega di PDIP

PENOLAKAN atas hak prerogatif Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, menguat. Kali ini penolakan datang dari para tokoh pendiri PDI Perjuangan. Mereka meminta calon tidak tunggal, hak prerogatif dihapus, dan formatur harus lebih dari satu orang. Pernyataan itu mereka sampaikan Sabtu lalu di Jakarta.

Dari 12 nama yang meneken surat itu, ada nama Amin Arjoso, Kwik Kian Gie, Roy B.B. Janis, dan Laksamana Sukardi. Para bekas orang dekat Mega itu menuntut penerapan demokrasi di partai banteng gemuk itu. "Salah sa-tunya pemilihan ketua umum secara langsung oleh peserta kongres," kata anggota DPR dari PDIP, Sukowaluyo Mintorahardjo.

Penolakan itu juga telah dilontarkan beberapa daerah. Namun, pendirian Megawati tetap kukuh layaknya mercu suar. Bahkan, menurut dia, para penentangnya itu "tong kosong berbunyi nyaring". Jika Mega terpilih lagi, mereka pasti akan digusur. "Mereka yang tidak pernah kerja untuk partai harus keluar dari tubuh partai," ujarnya akhir bulan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus