Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI yang sudah-sudah, minyak tanah kembali langka di sejumlah daerah. Setiap kali pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), minyak tanah langsung bak menyusup balik ke perut bumi. Kalaupun masyarakat bisa mendapatkannya, harganya sudah tinggi di awan?jauh di atas batas yang ditentukan pemerintah. Berbagai penangkal yang disiapkan Pertamina ternyata tak mujarab membuat urusan minyak tanah ini jadi beres.
Mei tahun lalu, Pertamina mencoba "mencelup" warna berbeda, agar minyak tanah rumah tangga tidak diselewengkan ke sektor industri. Namun, entah berdasarkan informasi siapa, Direktur Utama Pertamina Widya Purnama, menyatakan pewarnaan ini tidak efektif. Biaya pewarnaan yang mencapai Rp 45 miliar dan ditanggung pemerintah dianggap pemborosan. Pertamina lalu mengubah jurus dengan mewarnai truk tangki: merah untuk rumah tangga, hijau untuk industri yang tak disebutkan berapa biayanya. Yang pasti, langkah ini malah terbukti tak berdaya. Anehnya, Pertamina kini sedang mengkaji cara ketiga, yakni menjual minyak tanah dalam kemasan seperti minyak pelumas?atawa minyak goreng. Padahal, bisa dipastikan, biayanya akan lebih besar ketimbang "pencelupan" warna.
Mungkin karena kesulitan membedakan minyak tanah rumah tangga dan industri, operasi Pertamina dan kepolisian untuk menjaring distributor nakal tak efektif. Tahun lalu, misalnya. Di wilayah Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, hanya ada 33 kasus penyalahgunaan BBM yang diungkap polisi, sehingga minyak tanah tetap saja menjadi barang langka di banyak tempat.
Pertamina dan pemerintah sebetulnya sudah tahu ke mana barang kebutuhan rakyat kecil itu mengalir, yakni diselundupkan ke luar negeri, atau dijual ke sektor industri. Keduanya bisa dalam bentuk minyak tanah murni, bisa juga dioplos dengan solar?dan kemudian dijual sebagai solar.
Perbedaan harga minyak tanah rumah tangga dan industri yang begitu jauh?Rp 700 berbanding Rp 1.800 per liter, juga dibanding solar Rp 2.200?tak pelak merupakan "insentif" bagi terjadinya penyalahgunaan tersebut, termasuk bagi orang dalam Pertamina yang tak kuat imannya. Belum lagi jika bicara tentang perbedaan harga dengan pasar di luar negeri. Selama obat pemunahnya tak menyentuh persoalan dasar ini, agaknya sulit memberantas penyalahgunaan minyak tanah. Namun, menaikkan harga minyak tanah terang tidak akan populer. Langkah pencegahan dengan berbagai cara pun ternyata tak efektif.
Karena itulah langkah penegakan hukum menjadi sangat penting dan pengawasannya harus melibatkan orang ramai. Ini hanya dapat dilakukan jika pewarnaan minyak tanah untuk rumah tangga kembali dilakukan. Biaya Rp 45 miliar jauh lebih murah ketimbang kerugian akibat penyalahgunaan komoditas yang disubsidi besar ini. Bayangkan, konsumsi minyak tanah di sektor rumah tangga tercatat 9,4 juta kiloliter setahun, sedangkan industri hanya 1,1 juta kiloliter, dan solar industri 6 juta kiloliter. Angka-angka ini menunjukkan bahwa banyak minyak tanah rumah tangga se benarnya digunakan untuk industri, dioplos, atau diselundupkan ke luar negeri.
Penyalahgunaan minyak tanah rumah tangga ini akan mudah diketahui jika pewarnaan minyak tanah rumah tangga dilakukan dan masyarakat yang melaporkan penyimpangan mendapat premi. Jadi, apa lagi yang ditunggu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo