Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KELALAIAN dalam kasus ini begitu sempurna. Soal Anda curiga atau tidak, itu urusan Anda, para pembaca.
Brigadir Jenderal Tono Suratman divonis bebas oleh pengadilan hak asasi manusia ad-hoc di Jakarta pada 22 Mei 2003. Andi Samsan Nganro, ketua majelis hakim, melepaskan Komandan Resor Militer Timor Timur itu dari dakwaan melakukan pelanggaran berat hak asasi pasca-jajak pendapat di Timor Timur enam tahun lalu. Jaksa penuntut umum Gabriel Simangunsong, yang ketika itu menuntut hukuman sepuluh tahun penjara, langsung mengajukan kasasi.
Ternyata syarat mutlak pengajuan kasasi itu tak dipenuhi Gabriel: memori kasasi tidak pernah dikirimnya ke Mahkamah Agung. Sampai dua kali tahun berganti, Gabriel tetap saja alpa menyetor dokumen vital ini—satu tindakan tak masuk akal untuk ukuran jaksa senior yang bertugas sampai pensiun. Mahkamah Agung pekan lalu memutus Brigjen Tono Suratman bebas.
Memori kasasi adalah syarat wajib pengajuan kasasi, seperti diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Syarat wajib itu berkaitan dengan cara pemeriksaan perkara di Mahkamah Agung. Cara Mahkamah Agung memeriksa perkara kasasi berbeda dengan cara pengadilan tinggi memeriksa perkara banding. Pengadilan tinggi dalam perkara banding menilai lagi semua berkas, keterangan tergugat dan penggugat, serta keterangan saksi ahli. Sedangkan Mahkamah Agung hanya menilai apakah hukum sudah diterapkan dengan benar, apakah sudah sesuai dengan hukum acara, dan apakah pengadilan negeri dan tinggi sudah menyidangkan kasus itu sesuai dengan kewenangannya. Uraian tentang tiga pokok yang diperiksa Mahkamah Agung itu tercantum dalam memori kasasi.
Artinya, tanpa memori kasasi, tak ada perkara yang bisa diperiksa. Itu sebabnya Hakim Agung Artidjo membebaskan Brigjen Tono Suratman. Di kalangan pelaku hukum, kewajiban jaksa yang mengajukan kasasi untuk membuat memori kasasi sudah merupakan pengetahuan dasar yang harus diketahui. Kalau Jaksa Gabriel beralasan dia belum menerima salinan putusan dari pengadilan tentang vonis Brigjen Tono, ini juga menjadi tanda tanya. Seharusnya Jaksa Gabriel adalah pihak yang berkepentingan "mengejar" salinan itu, karena dia kalah dalam pengadilan. Jaksa yang kalah seharusnya antusias meminta salinan putusan pengadilan, jika dia memang sungguh-sungguh menangani "kliennya"—dalam kasus ini klien Jaksa Gabriel adalah negara Republik Indonesia.
Ketidaksungguhan Jaksa Gabriel mengerjakan tugasnya sungguh menimbulkan pertanyaan. Tapi pertanyaan sebenarnya sudah muncul sejak penunjukan Gabriel yang sebenarnya sudah pensiun sebagai jaksa ad hoc. Jaksa yang sudah pensiun jelas tak lagi terikat Peraturan Pemerintah Nomor 30/1981 tentang disiplin pegawai negeri. Mereka yang sudah pensiun tak bisa dimutasi atau dijatuhi sanksi apa pun. Penempatan Jaksa Gabriel sebagai jaksa ad hoc sangat "mengganggu nalar", karena jaksa yang masih aktif pun tak sedikit.
Maka, yang harus dipersoalkan juga adalah pejabat Kejaksaan Agung yang mengatur penempatan jaksa ad hoc ini. Sejak awal proses pengadilan, Jaksa Gabriel sebagai penuntut umum seharusnya secara berkala melapor ke atasannya, termasuk ke Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus dan Jaksa Agung—karena kasus yang ditanganinya menarik perhatian umum. Rencana penuntutan—alias "rentut"—seharusnya diketahui pejabat-pejabat tinggi Kejaksaan Agung ini. Dengan alur kerja begini, agak sulit dipahami apabila soal memori kasasi tadi tidak diketahui para pejabat di kejaksaan.
Jaksa Gabriel "lolos" dari sanksi hukum, karena dia dinyatakan telah pensiun. Jika tak sebuah kuasa pun sanggup menguak apa yang sesungguhnya terjadi, dan tak sebuah perubahan pun dilakukan di Kejaksaan Agung, bukankah ini sebuah "kelalaian yang sempurna"?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo