Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Telah beredar sebuah novel yang ditulis oleh Martin Suryajaya berjudul Kiat Sukses Hancur Lebur (2016). Judul ini bisa langsung mengasingkan calon pembacanya, karena "kiat sukses" memberi kesan seperti buku petunjuk, dalam hal ini petunjuk untuk menjadi sukses. Namun ini merupakan petunjuk untuk "hancur lebur", jadi keberhasilan untuk menjadi hancur.
Barangkali seorang calon pembaca lantas menengok "catatan editor" untuk mendapat kejelasan. Di sini pun calon pembaca—meski boleh dianggap sudah menjadi pembaca—mungkin bertambah bingung, karena naskah buku ini tertulis diterima editor pada 2019! Masih mengira salah cetak bahwa seharusnya 2016, calon pembaca ini akan menengok tanggal penulisan catatan itu, yang mungkin pula membuatnya semakin terlontar dalam keterasingan, karena jelas tertulis tanggal 25 April 2025!
Sampai di sini, calon pembaca mungkin akan menengok sampulnya kembali. Nah, ada tulisan "novel" di sudut kanan atas. Jadi tentu novel. Lagi pula indikasi fiksional di luar teks, dalam pendekatan semiotik, toh disahihkan. Namun, setelah melihat daftar isi, kok seperti nonfiksi? Begitulah, status novel itu membuatnya tetap fiksi, tapi yang mengambil format nonfiksi. Calon pembaca bisa berhenti pada titik ini, karena tidak mengenal format novel yang diharapkannya, sehingga menganggapnya novel "salah"; atau telanjur menganggapnya nonfiksi, tapi yang mungkin akan dianggap "mengada-ada".
Calon pembaca akan berubah menjadi pembaca ketika meneruskan pembacaan, dan segera menangkap sebuah struktur, yang memang tersusun seperti buku petunjuk, termasuk sub-bab dari Bab I yang berbunyi seperti "Bagaimana Mungkin Memahami Susunan Buku Ini?" atau "Kunci Sukses Membaca Kunci Sukses". Adapun judul bab-bab selanjutnya memang menunjuk berbagai subyek, yang terhubungkan dengan stereotipe kiat sukses duniawi, seperti manajemen bisnis, dasar-dasar akuntansi, pemrograman komputer, tes calon pegawai negeri, budi daya lele, gaya hidup apartemen, dan mitos perguruan tinggi.
Judul Bab II, "Tujuh Kurcaci Manajemen Bisnis", juga ajaib, meski dalam "catatan editor" sudah tersebut istilah "tujuh pendekar kere". Siapa kurcaci-kurcaci manajemen tersebut? Tentulah pembaca akan nyengir karena terdapat nama-nama Mary Shelley, Ratu Batsyeba, Pangeran Hamlet, serta Didier Eribon dan Didier Drogba, yang dikenal dalam perbedaan dimensi: pengarang Frankenstein, tokoh mitologi agama-agama Semitis, tokoh drama Shakespeare, serta filsuf dan pemain bola Pantai Gading yang tersohor ketika bergabung dengan Chelsea FC.
Bagaimana caranya hingga mereka semua adalah sama-sama pakar manajemen? Jika pakar lain disebut bernama C.A. van Peursen dan R. van Persie, sekali lagi penulisnya bermain dengan kemiripan nama filsuf dan pemain bola. Tentulah ini suatu permainan, tapi melucu sepanjang 216 halaman dengan stamina dan antusiasme terjaga menghindarkannya dari konotasi main-main.
Jika memang guyonan begitu panjang, bahkan seluruhnya, sampai pada bibliografinya (misalnya "Tuhan YME. 2004. Bagaimana Kata-kata Saya Berulangkali Disalahpahami, Bagaimana Saya Sibuk Mengklarifikasi, dan Bagaimana Saya Akhirnya Mengikhlaskannya, Penerbit Tuhan YME"), apakah karya tulis ini sebetulnya merupakan karya humor? Apabila mengacu pada teori bisosiasi bahwa teks humor adalah ketidakcocokan antara asal rangsangan dan tanggapannya, ternyata memang humor. Sekadar contoh:
Buku ini terbuat dari lima naga yang terbang mengitari Kota Jakarta, yang dibariskan dengan ketangkasan pandu pramuka, yang dicacah ke dalam dua puluh enam bagian dan disusun secara alfabetis mengikuti hikayat raja-raja dan para maling jemuran. Buku ini terdiri atas raungan-raungan tahu gimbal yang mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut-ikutan memajukan perdamaian dunia. Buku ini tersusun oleh komponen-komponen judi dadu yang sering kesemutan dan suka kerokan tiba-tiba di tengah jalan raya. Buku ini disajikan dengan ilustrasi-ilustrasi kesalehan hidup seorang pembuat onar yang tak pernah bertobat—semacam kacang telur yang gemar berdzikir. Sedikit memusingkan, tentu saja, tapi menyehatkan (halaman 17).
Dalam konstruksi bisosiasi yang tidak menyatakan apa pun, kadang terselip asosiasi "normal", seperti "Semua ini soal mindset" (hlm 25). Ini pernyataan. Bagai petunjuk tersendiri bahwa Kiat Sukses Hancur Lebur hanya mungkin terbaca dengan cara berpikir yang tidak biasa. Tentu kategorisasinya sebagai humor lebih memudahkan daripada sastra, karena tertawa atau tidak tertawa membacanya tetap memenuhi kriteria humor.
Dalam kategorisasi sastra, selama ini penafsirannya dikuasai arti tertentu saja. Kalau novel, ada alurnya, ada tokohnya, ada latarnya, ada temanya, dan seterusnya. Sedangkan novel ini, meskipun memenuhi semua kriteria tersebut, kriteria tematiknya yang mewujud sebagai naskah Kiat Sukses Hancur Lebur Menurut Anto Labil, S. Fil. mengambil tempat 99,9 persen. Pantaslah jika tampak seperti nonfiksi dan bukan novel sama sekali.
Maka novel ini dalam sejarah sastra Indonesia tidak menjadi lanjutan dalam suatu garis lurus, melainkan garis jungkir-balik dan melenting-lenting. Bukan menyempurnakan atau mengembangkan yang sebelumnya, seperti dalam istilah "melanjutkan tradisi", melainkan membuat yang baru, meski ternyata masih novel, masih fiksi, dalam genre humor dengan kandungan agresi tinggi.
Tokoh fiktif Anto Labil telah menulis nonfiksi yang membongkar berhala kesuksesan di Indonesia, yang menjadikan manajemen, akuntansi, komputer, status pegawai negeri, budi daya lele, gaya hidup apartemen, dan perguruan tinggi sebagai budak prestasi semu. Namun adalah "penghinaan" penuh gaya yang membuat novel Martin Suryajaya menjadi parodi bagi berhala "keindahan" dan "keseriusan" sastra, dengan perbendaharaan bahasa yang kaya dan kecanggihan seni humor baru.
Kritik Martin terhadap Indonesia Abad Ke-21
Suara penyair T.S. Eliot membacakan The Waste Land itu adalah modal utama Martin Suryajaya dalam proses penulisan novel Kiat Sukses Hancur Lebur. "Saya mendengarkan rekaman suara Eliot membacakan puisi itu dengan tempo yang sengaja saya perlambat. It's intoxicating," kata Martin kepada Tempo.
Bagi Martin, The Waste Land menggambarkan penglihatan batin manusia modern di tengah kekacauan sosial pada saat Perang Dunia Pertama. Unsur lirik yang personal bertaut dengan lanskap yang epik. "Usaha memadukan lirik dan epik itu terbawa di novel saya," ujar Martin. Seluruh novel itu adalah monolog batin tokoh Anto Labil. Karena itu, lirisisme tak terhindarkan. Tapi cara Anto Labil menarasikan segalanya dipenuhi oleh imaji heroisme orang-orang lemah, "Jadi ada suasana epik juga," Martin menjelaskan.
Bagi Martin Suryajaya, novel debut Kiat Sukses Hancur Lebur adalah kritik kehidupan memasuki abad ke-21. Sarjana filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini terinspirasi menulis novel itu karena setiap kali dia ke toko buku banyak sekali penawaran buku kiat sukses.
Ia mengaku novel pertamanya itu banyak dipengaruhi karya sejumlah sastrawan dunia yang pernah ia baca, seperti karya Roberto Bolaño, François Rabelais, dan Jorge Luis Borges. "Rabelais mempengaruhi saya dari segi permainan kata dan keceriaan berbahasa," kata Martin. Ia menganggap karya François Rabelais yang cenderung ngelantur dengan kata-kata aneh menginspirasi dia dalam menulis novel. Adapun karya Roberto Bolaño, yang banyak menceritakan orang hilang, menjadi salah satu ide dia menulis novel. "Sedangkan Luis Borges banyak bercerita tentang sesuatu yang fiktif tapi seolah-olah ada, menjadikannya sebagai sastra yang spekulatif," Martin menjelaskan.
Meski banyak yang berkomentar betapa tak lazimnya bentuk novel karya Martin, dia menganggap novel pertamanya itu bukan suatu hal yang baru. "Novel ini hanya memainkan buku-buku kiat praktis, bukan menggarap sesuatu yang baru," ujarnya. Pembaca bisa memahami dari pengantar yang menunjukkan bahwa novel ini bukan sebuah memoar, tapi dirancang sebagai "sebuah prelude dari satu puisi epik dengan tiga bagian".
Lahir di Semarang, 11 Maret 30 tahun lalu, nama Martin mulai dikenal kalangan sastra dan intelektual karena analisisnya yang tajam yang ditulis dalam berbagai buku filsafatnya, juga serangkaian esainya melalui jurnal Indoprogress.
Meski punya sandaran akademis sebagai sarjana filsafat, Martin menyebut novelnya itu bukan sebagai novel filsafat, melainkan lebih sebagai sebuah karya yang menghibur diri meski bentuknya tak lazim. Martin hanya ingin menuangkan pengalaman sehari-hari sebagai kesan yang tak bisa dituangkan dalam dunia filsafat.
Kesan lain yang hendak disampaikan dalam karyanya itu semacam rekaman kehidupan masyarakat Indonesia memasuki abad ke-21, yang selama ini cenderung meromantisasi sistem dengan keindahan yang semakin tak keruan. Menurut dia, gelombang publik Indonesia sedang punya kecenderungan dramatis mendayu-dayu. "Padahal realitas yang kacau tak bisa digambarkan seperti itu" katanya.
Martin mengaku tak ada kesulitan dalam proses menulis novel Kiat Sukses Hancur Lebur, meski itu bukan berarti dia bisa menulis setiap hari. Martin lebih mengandalkan letupan dengan momen tertentu untuk menulis. Dengan begitu, karyanya menghasilkan sebuah kritik terhadap orientasi masyarakat tentang orang sukses.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo