Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEMBAGA penelitian dan pengarsipan Dicti Art Laboratory menggelar pameran poster --kebanyakan tentang seni rupa-- yang diklaim baru pertama kali dihelat di Indonesia. Pameran bertajuk Masa Lalu Belumlah Usai itu berlangsung di Rumah Budaya Tembi, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 20 Januari-2 Februari lalu.
Dari sekitar 500 poster autentik yang dipamerkan, beberapa milik maestro seni rupa, seperti Affandi, Basoeki Abdullah, dan Heri Dono. Ada pula karya seniman-seniman poster zaman sekarang, seperti kelompok Taring Padi, yang dikenal tajam dan vokal. Poster-poster itu tak hanya memproduksi teks dan wacana, tapi juga merekam pergolakan politik dan sosial dalam visual.
***
INI potret diri Affandi, maestro seni rupa dengan sosok khas: berkepala botak sebagian dengan rambut, jenggot, dan kumis awut-awutan. Wajahnya terpampang dalam poster berwarna kuning gading yang mengumumkan pameran tunggal sang perupa. Hajatan itu berlangsung 46 tahun silam, tepatnya pada 2-8 Agustus 1974, di ruang pameran Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Adapun lukisan yang dipamerkan adalah koleksi Museum Affandi pada 1936-1974.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poster berukuran 60 x 43 sentimeter itu dipajang di area depan Rumah Budaya Tembi, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, seperti menyambut pengunjung pameran “Masa Lalu Belumlah Usai” pada 20 Januari-2 Februari lalu. Bagi pemiliknya, Mikke Susanto, poster yang digarap dengan teknik cetak sablon itu sangat bersejarah. “Ini poster pameran seni rupa koleksi saya yang paling berharga,” kata Mikke saat ditemui pada 22 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mikke adalah pengajar di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Bersama istrinya, Rina Kurniyati, yang juga perupa, ia mendirikan lembaga pengarsipan dan penelitian Dicti Art Laboratory. Dicti-lah yang menjadi tuan rumah “Masa Lalu Belumlah Usai”, pameran poster—terutama seni rupa—bertarikh 1974-2019. Mikke mengungkapkan, ia dan istrinya ingin pameran ini kembali mengingatkan masyarakat tentang peristiwa seni pada masa lampau sekaligus menunjukkan perkembangan poster sebagai karya seni.
Total 546 poster dipajang dalam pameran. Sebagian besar milik Mikke yang dia kumpulkan sejak kuliah di ISI Yogyakarta pada 1995. Mikke menerangkan, kala itu, ia kerap terpikat pada poster-poster artistik ataupun yang mengabarkan pameran perupa tersohor. “Namun lama-lama saya menyesal karena terlalu pilih-pilih. Semestinya saya kumpulkan saja tanpa kriteria apa pun,” ujarnya.
Koleksi lain Dicti disumbangkan Irsam (almarhum) dan putranya, Ernanta Item. Irsam adalah pelukis yang selama 1965-1967 mengajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), Yogyakarta. Ia hijrah ke Jakarta dan menjadi Kepala Seksi Seni Lukis dan Seni Grafis Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Profesi itu membuat Irsam terus memantau perkembangan seni lukis Tanah Air, juga menyimpan sejumlah poster ikonik pameran seni rupa. Dia pun rajin menggelar pelatihan, festival, serta pameran di berbagai daerah di Indonesia.
Irsam sudah 19 kali menggelar pameran tunggal. Yang pertama digelar di Taman Ismail Marzuki pada 1969, disusul sejumlah pameran lain. Pada 1974, karyanya yang bertajuk Matahari di Atas Taman menjadi satu di antara lima pemenang Pameran Besar Seni Lukis Indonesia. Keputusan juri memantik protes dari para perupa muda, yang kemudian dikenal sebagai Kelompok Seni Rupa Baru. Namun Irsam bergeming. Pada 2013, ia menggelar pameran di Masterpiece Building Jakarta dengan Mikke sebagai kurator.
Mikke menjelaskan, Irsam meninggalkan warisan baginya berupa poster-poster pameran seni rupa. Dibantu Ernanta, Mikke merapikan arsip berupa poster, sketsa, gambar, dan katalog lawas simpanan Irsam. “Poster pameran Affandi hanya selembar, selebihnya acara perupa lain,” tutur Mikke. Poster itu dilukis sendiri oleh Affandi. Oleh panitia penyelenggara pameran di Taman Ismail Marzuki, lukisan itu kemudian dicetak dengan teknik sablon. Menurut Mikke, putri Affandi, Kartika, terkejut mengetahui keberadaan poster itu. Sebab, Affandi sendiri tak pernah menyimpannya.
1. Poster karya Affandi, 2. Poster pamern lukisan Heri Dono, 1989. Didesain oleh Hari Ong Wahyu, 3. Poster pameran lukisan Affandi di Taman Ismail Marzuki, 2-8 Agustus 1974, 4. Poster pameran Taring padi di Yogyakarta, 2018. (Kiri-kanan)
Dari ratusan poster yang dipajang Dicti, dosen Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta, F.X. Widyatmoko, menilai poster pameran di Rumah Seni Cemeti dan kelompok Taring Padi sebagai yang paling kuat dari sisi tema ataupun teknik pembuatan. Widyatmoko menjelaskan, poster-poster Cemeti konsisten dalam pengolahan bahan. Misalnya dalam pemberian warna magenta, yang jarang ditemukan pada poster galeri lain. Biasanya, poster pameran memakai kelir monokrom atau justru berwarna-warni. “Cemeti kuat dengan eksperimen-eksperimen,” ucapnya.
Adapun poster kelompok Taring Padi kuat karena ikon atau simbol. Poster mereka konsisten membawa pesan propaganda. Itu yang jarang diusung seniman atau kelompok seni belakangan ini.
Kendati pameran Dicti menyuguhkan poster dengan rentang waktu produksi yang panjang, Widyatmoko mengkritik kuratorialnya. Sebab, dalam pameran ini, poster dibagi menjadi empat kelompok, yakni desain, foto, karya, dan tipografi. Adapun dalam sejarah desain, poster dan karya visual lain dikelompokkan berdasarkan gaya, yakni gagasan, aspirasi, dan visi. Contohnya karya futurisme, yang dilandasi semangat kebaruan, dan ilustrasi realisme sosial, yang memenuhi kebutuhan bahasa visual yang lebih sederhana.
Menurut Mikke, arsip poster pameran seni rupa kurang lengkap mewakili tahun per tahun atau dekade per dekade. Jumlah poster pada 1970-1980, misalnya, terlalu sedikit bila dibandingkan dengan dekade akhir 2010. Sedangkan melalui pendekatan desain visual, Mikke melanjutkan, makna dan subyek gambar dalam poster menjadi lebih hidup. “Dengan pendekatan kronologi, pembahasan lebih mengutamakan soal waktu dan tempat pembuatan karya,” katanya.
•••
DI Tembi, poster Affandi berdampingan dengan poster pameran lukisan eksperimental Heri Dono. Poster lawas itu berisi ilustrasi garapan Heri dan didesain seniman Ong Hari Wahyu. Ong menggunakan citraan robot yang menyembur dalam warna hijau berlatar putih. Kelir magenta menghiasi pinggiran poster dengan kreasi gambar kupu-kupu, burung, dan awan. Poster tersebut dicetak secara manual menggunakan teknik sablon. Pameran tercatat berlangsung di Cemeti Modern Art Gallery pada 1-30 Desember 1989.
Selain membuat poster tentang pameran Heri Dono, Ong, yang juga dikenal sebagai penggarap sampul buku, merancang poster Bienal Seni Rupa Yogyakarta. Hajatan itu berlangsung di Bulaksumur, Universitas Gadjah Mada, 9 Februari 1999. Ong menggunakan teknik cetak offset dalam desain poster berukuran 56 x 40 sentimeter itu. Sekilas, poster tersebut mengingatkan pada karya perupa I Nyoman Masriadi. Di situ ada seseorang bertubuh tambun dan hanya bercelana pendek. Ia sedang buang air kecil sembari menyalakan rokok. Dari korek apinya digambarkan tulisan “Bienal Seni Rupa Yogyakarta” muncul.
Ong menjelaskan, pada 1980-an, pembuatan poster masih menggunakan teknik sablon manual dan offset karena teknologi komputer grafis belum secanggih sekarang. Bahkan seniman zaman itu menggunakan huruf gosok alias rugos dalam pengerjaan poster. “Jadi seniman harus ekstrahati-hati saat berkarya karena alatnya serba terbatas,” ujarnya.
Warna yang digunakan pun belum bisa sevariarif sekarang. Dulu hanya ada dua atau tiga warna, disesuaikan dengan isi kocek. Sekarang, seniman poster seolah-olah dibebaskan berkreasi seliarnya dengan dukungan teknologi grafis.
Kecanggihan teknologi juga membuat poster yang tercetak sama persis dengan berkas yang digarap di layar komputer. Sedangkan dulu, Ong melanjutkan, hasil akhir bisa meleset dari desain aslinya. “Ada sensasi tersendiri dari sisi teknik. Keterbatasan pada waktu itu justru membuat seniman nekat. Hasilnya juga lebih apa adanya,” ucapnya.
Menurut Ong, tema poster pada zaman itu pun jauh berbeda dengan 2000-an. Pada 1980-an-1998, saat Orde Baru berkuasa, seniman lebih berhati-hati karena ada represi berupa sensor. Walhasil, seniman sering kali memilih bermain-main dengan simbol dan tipografi. Bahkan kadang seniman hanya mencantumkan tajuk pameran, nama pelukis, gambar, dan coretan kuas nan sederhana. Berbeda dengan seniman sekarang, yang leluasa menggarap tema apa saja.
Poster pada 1980-an, Ong menambahkan, dibuat berbasis semangat membikin sesuatu yang aneh dan khas. Misalnya poster dibuat berukuran sebesar kertas plano atau penggunaan teknik kolase. “Poster dengan begitu menjadi media untuk menentukan perkembangan visual, bukan sekadar alat menyampaikan informasi,” ujarnya.
Mikke Susanto (kanan) dan Ong Hari Wahyu (kedua kiri) saat berdiskusi di pameran “Masa Lalu Belumlah Usai” di Rumah Budaya Tembi, Bantul, Yogyakarta, 21 Januari lalu./Tempo/Shinta Maharani
Ong mengatakan, selain kreativitas, visi dan misi adalah unsur penting dalam pembuatan poster karena menentukan arah estetika, tak bermain teknis belaka. Dia mengkritik sebagian poster era sekarang yang minim kreativitas. Misalnya hanya memampangkan foto karya si perupa dan diimbuhi keterangan tulisan tentang acara. Ong menduga perubahan itu terjadi karena desainer poster saat ini ingin serba cepat dan praktis. Sedangkan desainer angkatan 1980-an lebih mengusung semangat dan ideologi dalam berkarya.
F.X. Widyatmoko menyebutkan ketepatan komunikasi penting bagi poster, selain urusan visual dan gagasan. “Tanpa komunikasi yang tepat, poster akan kurang berhasil menjalankan tugasnya,” tuturnya. Hal sama berlaku untuk poster kampanye politik, lingkungan hidup, ataupun sosial. “Konten poster boleh beda, tapi tugasnya sama, yakni menyampaikan pesan.”
•••
POSTER menjadi salah satu alat komunikasi favorit sejak 1950-an. F.X. Widyatmoko menjelaskan, lembaga pendidikan seperti ASRI, yang berdiri pada 1950, mengajarkan mata kuliah tentang poster. Di Yogyakarta pun sejak dulu seniman terbiasa dengan media luar ruang berukuran gigantik. Salah satu poster jumbo yang legendaris adalah poster Boeng, Ajo Boeng! yang didesain Affandi. Karya itu menandai awal perjalanan poster seni rupa di Indonesia.
Dibuat di kayu tripleks, poster tersebut bergambar orang yang dirantai. Tangan kirinya mengepal, seperti berusaha memutuskan rantai. Warnanya hanya tiga, yakni hitam, putih, dan merah, sementara tulisan “Boeng, Ajo Boeng!” dibuat berukuran besar hingga menempati sepertiga ruang poster. Ide penggarapan poster muncul dari Presiden Sukarno ketika para seniman ikut mendukung kemerdekaan Indonesia. Saat itu, pelukis Soedjojono menanyai penyair Chairil Anwar, tulisan apa yang cocok ditaruh pada poster. Chairil kemudian menjawab, “Boeng, Ajo Boeng!”
Situasi politik juga berpengaruh kuat pada tema dan wacana poster. Di ISI Yogyakarta, sebelum menjadi Desain Komunikasi Visual, jurusan ini bernama Reklame Propaganda pada era Sukarno. “Realisme sosial menjadi gaya desain poster ketika itu,” ujar Widyatmoko. Tema-tema poster cenderung lugas, membumi, dan mudah dipahami dengan teknik pembuatannya manual ataupun dilukis. Sedangkan saat masuk ke era Presiden Soeharto, desain poster menjadi abstrak. Kata “propaganda” menjadi momok dan dilenyapkan dari kampus.
Perubahan gaya juga terlihat dari tipografi atau pengelolaan huruf dalam poster. Pada 1950-an, sebelum komputer jamak digunakan, ukuran huruf cenderung besar sehingga mudah terbaca dari jarak sekian langkah. Kecenderungan itu berubah saat desainer poster mulai menumpahkan idenya di aplikasi komputer. Huruf makin variatif dan dampaknya justru membuat konten menjadi kurang mudah terbaca. Selain itu, logo pada poster zaman sekarang sering ditata sama kecil dengan huruf. Menurut Widyatmoko, hal itu terjadi karena desainer menginginkan posternya memuat sebanyak mungkin informasi selain visual berupa gambar dan grafis.
Widyatmoko mencontohkan sejumlah perbedaan poster pada 1950-an, 1970-an, dan 1990-an hingga sekarang. Poster Affandi yang digarap pada 1970-an, misalnya, terlihat sederhana dan menggunakan huruf berukuran besar. Begitu pun poster tahun 1959 yang mengabarkan “Exposisi ASRI Dies Natalis”, yang lebih mudah dibaca. Lain halnya dengan poster tentang ekspo Benny & Mice buatan tahun 2000-an, yang menyertakan informasi acara dengan huruf yang sangat kecil.
Teknik penulisan huruf juga berubah seiring dengan berjalannya waktu. Selain menggunakan teknik offset dan sablon, penulisan huruf memakai rugos. Tema pun bergeser. “Pada 1970-an, kebanyakan poster sifatnya edukatif, misalnya soal kampanye lingkungan hidup. Kemudian, setelah itu hingga 1998 poster banyak bicara soal pembangunan,” kata Widyatmoko.
SHINTA MAHARANI, ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo