Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Tujuh Belas 'Leonardo' di Jakarta

Kedutaan Besar Italia menghadirkan pameran "Leonardo Opera Omnia" di Jakarta. Lukisan Leonardo da Vinci direkonstruksi menggunakan teknologi tinggi yang presisinya sesuai dengan ukuran asli.

15 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kedutaan Besar Italia menggelar pameran Leonardo Opera Omnia.

  • Menghadirkan rekonstruksi 17 lukisan Leonardo da Vinci dengan teknologi tinggi dalam ukuran asli.

  • Memperingati 500 tahun kematian Leonardo da Vinci.

BARANGKALI ini satu-satunya kesempatan untuk melihat semua lukisan Leonardo da Vinci di satu tempat dalam satu waktu. Tak harus terbang ke Paris, antre lama di depan Museum Louvre, antre lagi di depan ruangan tempat Mona Lisa berada, lalu hanya bisa melihat senyum misteriusnya dari jarak jauh dan dihalangi pula oleh kaca antipeluru. Tak juga harus ke Milan, harap-harap cemas bisa kebagian kuota yang hanya memungkinkan 25 pengunjung masuk dalam satu waktu untuk menikmati mural raksasa Perjamuan Terakhir di dinding ruang makan gereja Santa Maria delle Grazie selama 15 menit saja, tak boleh lebih. Lewat pameran “Leonardo Opera Omnia” di Museum Bank Mandiri, Kota Tua, Jakarta, yang berlangsung hingga 3 Maret nanti, kita dapat mengagumi kemegahan The Last Supper di satu ruangan, lalu disambut senyum Mona Lisa persis di ruang sebelahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertama-tama, ini bukan pameran karya asli Leonardo da Vinci, yang tentu saja selalu dipingit ketat oleh museum atau galeri pemiliknya. Namun, lewat rekonstruksi dengan ukuran sama persis seperti karya asli dan teknik cetak digital yang menghasilkan detail berkualitas tinggi, “Leonardo Opera Omnia” memberikan pengalaman yang cukup menyentuh. Kementerian Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Italia sendiri yang menggagas pameran ini untuk mengenang lima abad kepergian senimannya yang paling berharga itu. Dibawa berkeliling ke 15 negara, pameran ini menghadirkan semua lukisan Da Vinci yang telah diyakini benar sebagai karyanya. “Leonardo sendiri tidak pernah melihat semua karyanya dalam satu waktu,” kata Duta Besar Italia untuk Indonesia, Vittorio Sandalli, saat membuka pameran. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Total 17 lukisan Da Vinci dipamerkan. Jumlah yang sedikit, mengingat Da Vinci diketahui beraktivitas profesional selama 50 tahun. Menurut kurator utama pameran, Antonio Paolucci, banyak karya Da Vinci yang hilang, seperti lukisan altar di Kapel San Bernardo di Palazzo Vecchio dan Medusa yang dulu dikoleksi keluarga Medici—keluarga kaya raya penguasa Firenze pada era Renaissance. Ada juga karyanya yang rusak dengan cepat karena si pelukis sering bereksperimen menggunakan material baru yang belum teruji ketahanannya, seperti mural Battaglia di Anghiari (1504). “Bagi Leonardo, lukisan bukan tujuan, melainkan instrumen untuk penelitian ilmiah dan eksperimen mutakhir,” ujar Paolucci, yang menulis lembar biografi Da Vinci. 

Karya paling terkenal Da Vinci, The Last Supper, juga hasil coba-cobanya dengan medium sehingga hanya dalam beberapa dekade mural itu sudah rompes dan harus direstorasi berulang kali. Selain itu, mural ini pernah terendam banjir dan terkena ledakan bom tentara Sekutu dalam Perang Dunia. Kerusakan terbesar barangkali terjadi saat seseorang memutuskan menjebol dinding tempat mural itu dilukis untuk membangun pintu akses ke dapur gereja. Bagian atas pintu itu menghilangkan kaki Yesus yang seharusnya bisa terlihat di bawah meja. Dalam rekonstruksi “Opera Omnia”, mural itu ditampilkan lengkap dengan bagian potongan pintu sehingga kita dapat membayangkan macam-macam hal yang telah menimpa mural berukuran 4,6 x 8,8 meter tersebut selama lima abad lebih.

Lukisan The Virgin of the Rocks dalam pameran bertajuk Leonardo Opera Omnia./TEMPO/Nurdiansah

Mona Lisa berada di sudut ruangan di sebelah kanan galeri. Tanpa kaca pengaman dan pagar pembatas, lukisan perempuan paling terkenal di dunia itu dapat dilihat dari dekat sekali. Tekstur gaunnya, matanya yang mengikuti penatapnya ke mana pun bergerak, bayangan di tangannya, barangkali bisa diamati dengan lebih baik di sini dibanding mendatangi Louvre dan bersaing dengan ribuan pengunjung yang berswafoto. “Butuh proses panjang untuk menghasilkan reproduksi dengan kualitas sebaik ini,” ucap Matteo Ive, konsultan Rai Com Project, perusahaan yang dipilih pemerintah Italia untuk kerja reproduksi.

Yang diunggulkan dari pameran ini adalah teknik reproduksi yang mengawinkan seni dan teknologi. Rai Com Project menghabiskan banyak waktu untuk riset. Waktu paling lama dibutuhkan untuk memfoto semua lukisan Da Vinci yang tersebar di Eropa dan Amerika. Butuh lima tahun untuk mendapat izin dari museum-museum penyimpan karyanya. Selain itu, pengambilan gambar hanya bisa dilakukan pada waktu tertentu. Lukisan Mona Lisa, misalnya, hanya bisa difoto pada malam hari, saat Museum Louvre sudah tutup. “Kami juga harus membuka lapis demi lapis kaca pengamannya untuk mendapat foto terbaik,” tutur Ive.

Selanjutnya, foto-foto tersebut diolah lagi dengan drum scanner dan perangkat lunak khusus agar tak ada detail yang luput. Untuk memperoleh cetakan yang sedapat mungkin menyerupai karya asli, tim ini bereksperimen dengan material kanvas dan tinta. Rai Com akhirnya memilih tinta khusus berbahan dasar air yang memiliki varian warna paling beragam.

Dalam pameran di ruang galeri, bingkai khusus dan tata cahaya yang presisi juga dibutuhkan. Menggunakan teknik semprot cahaya dari belakang dengan puluhan lampu light-emitting diode yang masing-masing diatur dengan tingkat kecerahan berbeda, lukisan reproduksi yang dipamerkan dapat memancarkan emosi seperti lukisan asli. “Karena ukuran lukisan Leonardo beragam, kami juga harus mengkalkulasi rasio cahaya yang tepat untuk setiap lukisan,” ucap ive.

Pengalaman menarik lain yang hanya mungkin diperoleh lewat pameran ini adalah melihat dua versi lukisan Virgin of the Rocks ditempatkan bersisian. Versi pertama lukisan ini (1483-1486), yang kini disimpan di Louvre, adalah karya paling rumit dan kontroversial Da Vinci. Adapun versi keduanya, yang dibuat antara akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, kini berada di National Gallery, London.

 

Lukisan Mona Lisa dalam pameran bertajuk Leonardo Opera Omnia di Museum Bank Mandiri, Jakarta 13 Februari 2020./Tempo/Nurdiansah

Melihatnya berdampingan, kita dapat membandingkan secara langsung perbedaan kedua lukisan. Lukisan ikonografi ini menampilkan pertemuan Kristus dengan Santo Yohanes Pembaptis dalam wujud kanak-kanak. Menurut ahli restorasi seni Michaela Anselmini, lewat lukisan itu, Da Vinci memperkenalkan komposisi figur dalam formasi segitiga yang tak pernah ia buat sebelumnya. “Tapi lukisan ini juga menggambarkan figur ikonik Bunda Maria dan Yesus seperti orang normal sehingga dapat dikira sebagai potret keluarga biasa,” ujar Anselmini lewat aplikasi pesan kepada Tempo. “Maka, lukisan kedua dibuat untuk memuaskan permintaan gereja agar figur dalam lukisan itu dapat lebih menyimbolkan keilahian.”

Lahir pada 1452, Leonardo di ser Piero da Vinci (Leonardo anak Tuan Piero dari Desa Vinci), belajar melukis di bengkel Andrea del Verrocchio sejak berusia 18 tahun. Dia segera diangkat menjadi asisten Verrocchio dalam proyek-proyek gereja. Salah satu tugas awalnya adalah melukis malaikat kecil di pojok kiri lukisan Verrocchio berjudul Battesimo di Cristo untuk altar San Salvi. Karya tunggal Da Vinci yang diduga juga dibuat pada periode di bawah asuhan Verrocchio adalah Annunciation, lukisan berukuran 98 x 217 sentimeter yang menampakkan Perawan Maria dan seorang malaikat yang kini disimpan di Galeri Uffizi, Firenze. Karya ini diperkirakan dibuat Da Vinci muda karena masih terlihat kesalahan dalam teknik perspektif. Namun detail lentur dan hidup pada hamparan karpet tanaman di bagian kaki malaikat menunjukkan ia sudah mulai meneliti dengan rinci anatomi flora dan fauna, yang kelak menjadi kekuatan utamanya. 

Karya lain Da Vinci dalam pameran ini antara lain Saint Jerome in the Wilderness (1480-82), Ginevra de’ Benci (1475), Adoration of the Magi (1481), Head of a Woman (1500), dan Saint John the Baptist (1513-16). Salah satu karya yang baru-baru ini memecahkan rekor penjualan lukisan dunia dengan harga Rp 5,6 triliun, Salvator Mundi, tak ikut dalam pameran. Lukisan Kristus dengan jari tangan tersilang ini disebut sebagai karya Da Vinci yang terlupakan dan baru muncul lagi ke permukaan saat dipamerkan pada 2011 di National Gallery.

Namun, menurut Michaela Anselmini, lukisan itu tak diikutkan dalam pameran “Opera Omnia” karena keasliannya perlu diselidiki lebih dalam. Banyaknya perbaikan di atas karya itu membuat para ahli sulit menyamakan kesimpulan bahwa Salvador Mundi adalah buatan Da Vinci. “Sejarawan seni spesialis karya Leonardo punya pendapat bertolak belakang tentang pembuat lukisan itu. Ada yang meyakini itu lukisan asli Leonardo, tapi ada juga yang mengatakan itu karya asistennya,” ucap Anselmini. Lukisan ini kini diyakini menjadi koleksi pribadi putra mahkota Arab Saudi, Pangeran Muhammad bin Salman.

MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus