Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Wawancara Margaret Leidelmeijer, kurator pameran “Ons Land: Dekolonisatie, Generaties, Verhalen” (Tanah Air Kami: Dekolonisasi, Generasi, Kisah).
Margaret Leidelmejer berbicara tentang Indo di Belanda.
Margaret mempersiapkan pameran ini selama lima belas bulan.
SENYUM lebar terpampang di wajah Margaret Leidelmeijer ketika menyambut Tempo di ruang kerjanya di Sophiahof, Den Haag, Belanda, pada Jumat, 4 Maret lalu. Hari itu adalah hari yang ditunggu-tunggunya karena merupakan pembukaan resmi pameran “Ons Land: Dekolonisatie, Generaties, Verhalen” (Tanah Air Kami: Dekolonisasi, Generasi, Kisah).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di dalam tubuh Margareth setidaknya mengalir darah Jawa, Makassar, Belanda, dan Jerman. Sebagai seorang peranakan, Margareth tahu betul seperti apa rasanya menjadi seseorang yang mengalami diskrimasi berdasarkan warna kulit. “Banyak yang tidak tahu bagaimana rasanya hidup sebagai peranakan di Belanda atau Eropa,” kata perempuan bertubuh mungil kelahiran 63 tahun lalu ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wawancara dilakukan dalam dua kesempatan karena kesibukan Margareth.
Apa sebenarnya yang ingin disampaikan pameran Ons Land ini?
Kami mulanya ingin membuat pameran mengenai komunitas peranakan (Indo-Belanda yang bermigrasi dari Indonesia). Cerita mereka sesungguhnya jauh berbeda dengan yang ada dalam buku sejarah. Kami membebaskan mereka bercerita tentang apa saja yang menurut mereka penting. Lalu kami mengerucut membahas kisah tentang keluarga.
Kami bercerita bagaimana mereka memulai hidup di sini. Seperti apa rasanya meninggalkan Tanah Air (Indonesia). Apakah (Indonesia) itu memang tanah air mereka? Karena saya sendiri yang sudah lahir di sini selalu punya pertanyaan apakah Belanda benar tanah air saya? Sebab, bagi orang kulit putih, kami selalu dilihat sebagai orang asing. Saya sering ditanya, “Dari mana Anda berasal?” Ketika menjawab saya orang Belanda, dia akan menyanggah. Dan untuk memuaskannya, saya akan jawab, “Saya dari Indonesia.”
Berarti Anda sendiri mengalami diskriminasi berdasarkan kulit juga?
Tidak cuma saya. Anak-anak saya yang berayahkan orang Belanda juga ditanyai hal serupa. Anak perempuan saya bahkan menjawab, “Saya juga berasal dari Indonesia. Karena itu juga negara saya.”
Mereka lahir dan besar di Belanda dan selalu mengatakan bahwa mereka adalah bagian dari Indonesia dan bangga atas itu. Jika tidak punya kulit putih dan mata biru, Anda akan mudah mengalami hal serupa.
Anda melihat itu sebagai diskriminasi?
Ya. Misalnya orang-orang itu tidak pernah menanyakan hal tersebut kepada imigran yang berasal dari negara-negara Eropa lain yang juga ada di Belanda.
Apakah anak-anak Anda punya kegelisahan akan hal ini, terutama terkait dengan hasil riset bahwa mayoritas warga Belanda bangga akan masa lalu kolonialnya?
Mereka mendapatkan cerita dari saya. Sementara itu, di sekolah mereka tidak mendapatkan pelajaran sejarah yang cukup tentang apa yang terjadi pada masa itu. Bahkan pelajaran sejarah pun selalu dari sudut pandang Belanda. Kami kerap merasa tidak terwakilkan dalam teks sejarah. Banyak yang tidak tahu bagaimana rasanya hidup sebagai peranakan di Belanda atau Eropa. Bahkan komunitas peranakan sendiri tidak punya pengetahuan yang cukup tentang banyak hal karena tidak pernah disebut dalam buku sejarah.
Tapi sekarang perhatian terhadap masa lalu kolonial di pemberitaan, dokumenter, dan lainnya tentang perspektif saat itu makin banyak. Kami berharap dapat menyumbang salah satu perspektif melalui pameran ini karena yang berbicara adalah mereka langsung.
Berapa lama persiapan pameran ini?
Lima belas bulan
Apa yang menjadi kesulitan utama mengadakan pameran ini?
Membuat konsepnya. Tentang apa yang hendak kami sampaikan melalui pameran ini, termasuk juga dengan cara seperti apa kami menghadirkannya. Hal itu sangat sulit karena kami ingin menyampaikan dengan cara yang mudah dicerna publik dan menghindari penyampaian seperti dalam buku sejarah. Kami membiarkan pengunjung mengalami sendiri ceritanya dengan memperkenalkan keluarga-keluarga itu dan mengikuti perjalanan waktu mereka. Kami menawarkan tidak hanya kisah-kisah yang sudah banyak diketahui, tapi juga kisah lain seputar revolusi kemerdekaan.
Tidak hanya keterlibatan peranakan Indo-Belanda, pameran ini melibatkan kelompok ras yang luas, seperti Tionghoa dan Inggris.
Karena kelompok-kelompok yang ada saat itu memang sangat beragam. Periode kedatangan mereka juga berbeda. Pada periode pertama kebanyakan adalah kelompok kulit putih, lalu berikutnya kelompok peranakan dan Maluku, kemudian gelombang terakhir hingga 1960-an lebih bervariasi, termasuk warga Tionghoa, peranakan Eropa, dan Papua.
Ketika itu, di Jawa atau Indonesia, banyak bangsa yang ada di sana, misalnya Jerman, Inggris, Austria, dan Belgia. Sementara itu, keberadaan orang Inggris terutama lebih karena keterlibatannya dalam industri gula. Setelah periode Gubernur Jenderal Daendels, banyak orang Inggris tetap menetap di sana karena industri gula itu. Ini salah satu bahan penelitian doktoral saya (gelar Phd Margaret Leidelmeijer diperoleh di Universitas Eindhoven mengenai industri gula di Jawa-red). Mereka mendominasi perdagangan gula hingga akhir 1930-an. Otoritas Belanda sendiri sulit menandingi mereka saat itu. Mereka membawa teknologi pengolahan gula ke Jawa.
Lalu apa bedanya dengan pameran Revolusi yang juga sedang berlangsung di Rijksmuseum Amsterdam?
Di sana yang dipamerkan adalah perspektif dari pihak Belanda dan Indonesia. Pameran ini adalah pelengkap untuk perspektif itu. Pmeran ini juga menawarkan lapisan-lapisan lain yang terjadi pada periode itu beserta efeknya bagi keluarga-keluarga ini.
Selain bersamaan dengan Revolusi di Rijksmuseum, pameran ini hampir bersamaan dengan pengumuman hasil riset kekerasan kolonial oleh KITLV dan lainnya. Apakah memang disengaja?
Betul. Karena Revolusi adalah tentang pertempuran di Indonesia. Hasil riset masih terasa jauh dari publik karena sifatnya yang ilmiah. Kadang hal seperti itu masih susah dimengerti orang banyak. Dan kami di sini membuatnya lebih mudah dicerna dengan cerita-cerita pribadi. Pameran ini terlihat lebih kecil, tapi meneropong kehidupan pribadi mereka. Apa yang disebutkan dalam penelitian ilmiah itu bisa dikaitkan dengan apa yang dialami oleh orang-orang ini secara langsung.
Pameran ini tidak menonjolkan sama sekali soal periode Bersiap. Padahal itu dianggap periode paling menyakitkan bagi peranakan dan orang Belanda. Kenapa?
Karena mereka, keluarga-keluarga yang terlibat dalam pameran ini, punya cerita yang berbeda-beda. Sebenarnya di salah satu wawancara dengan narasumber ada yang menyebut periode itu. Tapi memang tidak menjadi sudut pandang utama dari pameran ini. Tanpa menyebut periode Bersiap pun orang sudah bisa merasakan kepedihan itu dalam pameran ini. Lagi pula periode Bersiap masih dalam perdebatan karena hanya dikenal di Belanda, tidak di Indonesia.
Apakah karena keluarga-keluarga ini sudah berdamai dan menerima masa lalu yang kelam itu sebagai bagian dari hidup mereka?
Periode itu sebenarnya cukup penting. Karena itu, kami membiarkan mereka bercerita tentang kisah hidup mereka. Keluarga Keasberry misalnya. Mereka menjadi tahanan pejuang kemerdekaan. Tapi Keasberry kemudian jatuh cinta kepada orang Indonesia yang menjaganya di kamp penahanan. Ini adalah satu kisah yang berbeda (dengan kisah penderitaan).
Kami tidak menceritakan pembunuhan massal, walaupun misalnya itu terjadi saat itu. Tapi, kalau orang memutuskan untuk tidak menceritakan, kami tidak bisa memaksa mereka untuk menceritakannya. Kami membebaskan mereka untuk bercerita apa yang penting buat mereka. Jadi kita bisa mendapatkan perspektif baru. Karena tidak semua orang Indonesia jahat pada waktu itu, pun begitu halnya dengan semua orang Belanda.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo