Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hilman menulis di majalah HAI sejak di sekolah menengah pertama.
Serial Lupus yang ditulis Hilman adalah representasi budaya populer 1980-an.
Banyak sinetron Hilman mendapat rating tinggi.
DI pasar sebuah kota kecil di Nusa Tenggara Barat, sekitar 1987, ransel kuletakkan di tanah. Di depanku berjejer koran dan majalah, termasuk majalah HAI. Serial Lupus karangan Hilman Hariwijaya masih merajai. Di dalam hati kubulatkan tekad, serial berikutnya adalah karyaku yang sedang kutulis dalam perjalanan. Itu mimpi yang terus kurawat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setahun kemudian, April 1988, aku bertemu dengan Hilman di redaksi HAI, Jalan Palmerah Selatan, Jakarta Pusat. Aku mengambil honorarium episode pertama Balada Si Roy yang berjudul "Joe". Mimpiku menulis serial untuk bersanding dengan Lupus di majalah HAI terwujud.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aku datangi dia yang saat itu ditemani Boim Lebon. Aku jabat erat tangan mereka. Hilman memujiku, “Balada Si Roy bagus.”
Kesan pertamaku, Hilman pendiam. Tidak seperti tokoh Lupus ciptaannya yang ekstrover. Aku harus lebih aktif jika sedang berkomunikasi dengan Hilman. Sedangkan Boim—koleganya—sangat komunikatif dan tentu lucu.
Pertemuanku dengan Hilman sangat membekas. Apalagi aku sedang mencari tempat kos. Boim menyarankan aku ngekos tidak jauh dari rumah Hilman dan Gusur Adhikarya—koleganya yang lain—di Palmerah Utara.
Kata Boim, "Kalo lu enggak punya duit di akhir bulan, kita bisa nebeng makan di rumah Hilman."
Terbukti, setelah ngekos di Palmerah Utara, jika ingin makan enak, aku bersama Boim bertamu ke rumah Hilman. Mami Hilman sangat baik menghidangkan menu makan siang atau malam. Tapi, bagiku, yang paling berkesan dari setiap kali bertamu ke rumah Hilman adalah koleksi buku dan kasetnya yang mengagumkan. Dia fan berat grup musik Queen dan Duran Duran. Itu sebabnya rambut Lupus serupa dengan rambut John Taylor— personel Duran Duran.
•••
SAAT mendapat kabar Hilman wafat, Rabu, 9 Maret 2022, pukul 08.02, dari Gunawan Wibisono—seniorku di Gramedia Majalah—aku sedang berada di feri Cakalang, berlayar dari Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, menuju Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Aku sekarang jadi Duta Baca Indonesia periode 2021-2025, meneruskan perjuangan Najwa Shihab dalam mengampanyekan budaya membaca dan menulis. Sejak 18 Januari lalu, aku melakukan safari literasi dari kota ke kota di Jawa, Bali, NTB, hingga terakhir di Kupang pada 10 April nanti. Ini kota ke-26, hari ke-50.
Kabar dari Gunawan itu bagai petir. Aku tidak percaya Hilman wafat. Aku terakhir kali membaca kabar tentang kesehatan Hilman di akun Facebook-nya: Hilman baru saja sembuh dari sakit dan menikah dengan Dewi Natalia. Ternyata kabar itu benar. Hilman telah berpulang. Satu per satu sahabatku di "7 Pengarang Remaja Gramedia" dipanggil Tuhan. Adra, Gustin, Gusur, kini Hilman.
Aku keluar dari dek. Masih belum percaya. Hilman terlalu cepat dipanggil Tuhan. Angin laut Selat Flores menyadarkanku bahwa Hilman telah pergi untuk selamanya. Terkenang beberapa kali perjalanan literasiku bersama Hilman pada 1990-an; kami menjadi pemateri pelatihan jurnalistik dan fiksi. Pada 1989, Arswendo Atmowiloto mengikat kami dengan label dagang “7 Pengarang Remaja Gramedia". Selain kami, ada Gus tf, Arini Suryokusumo, Adra P. Daniel, Zara Zettira ZR, dan Gustin Suradji. Kami sering diundang Gramedia Pustaka Utama meluncurkan buku terbaru yang kami tulis.
Beberapa kali hanya aku dan Hilman yang diundang. Beberapa kali juga terjadi peristiwa antara penulis dan pembaca yang membuat “kikuk”. Bahkan beberapa kali Hilman mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari pembaca novelku. Pada akhirnya, kami harus "berpisah". Karakter pembaca Hilman (Lupus) dan pembacaku (Roy) bagaikan bumi dan langit. Kata mereka, Lupus anak mami dan Roy anak gunung.
Aku sering mengingatkan pembaca agar bersikap adil kepada penulis dan buku yang ditulisnya. Bahkan sesama penulis aku ingatkan supaya tidak diskriminatif terhadap karya sastra. Dikotomi sastra serius dan sastra populer sangat meruncing saat itu, sudah menjurus ke sikap megalomania. Kadang karya kami dianggap “sampah”.
Sering aku menetralkannya dengan mengatakan bahwa dalam sampah selalu ada kompos. Itu yang membuat aku dan Hilman produktif menulis. Kami memilih mengisi ceruk ini: pembaca remaja. Mereka harus diberi bacaan yang mewakili dunia mereka. Hilman dengan latar metro-pop dan aku dengan latar tidak Jakartasentris. Tokoh Lupus tentu berlari mengejar bus kota di Jakarta dan tokoh Roy singgah di tiap kota naik truk atau gerbong kereta. Lupus dengan permen karet dan Roy dengan puisi-puisi pembuka.
Pernah suatu hari, di sebuah kota, sastrawan senior hanya mau menyalamiku. Hilman dianggap telah "merusak" bahasa. Situasi ini makin membuat kami "berjarak". Hilman kemudian sering menghindar dariku. “Pembaca lu resek,” katanya, tapi lalu tersenyum.
Ini status quo. Padahal aku dan Hilman menyiapkan pembaca bagi buku-buku yang (akan) mereka tulis. Kami juga menyiapkan penulis untuk menggantikan mereka di masa depan.
Hilman menulis di majalah HAI sejak duduk di sekolah menengah pertama. Aku pernah membaca cerita pendek dan cerita bersambungnya sebelum Lupus. Cerpen Hilman yang berjudul "Bian, Adikku yang Tak Pernah Ada" bagus sekali. Majalah HAI yang digawangi Arswendo Atmowiloto pada 1980 dan 1990-an bukan majalah remaja biasa. Para penulis prosa dan puisi ternama di negeri ini lahir di majalah HAI. Ada nama lain yang cerpen dan cerbungnya sering muncul di HAI, yaitu Leila S. Chudori.
Serial Lupus yang ditulis Hilman adalah representasi budaya populer 1980-an. Hilman mendokumentasikannya dalam hal perilaku berpakaian (fashion), bermusik (fun), bahkan makanan (food). Lupus yang ditulis Hilman adalah warisan pemikirannya.
•••
ZAMAN bergerak cepat. Stasiun televisi swasta mulai menjamur di awal 1990-an. Hilman lebih dulu masuk ke industri TV. Aku masih asyik dengan mimpiku menjadi lelaki pejalan—berkeliling dunia dan mewujudkan idealismeku membangun komunitas literasi Rumah Dunia di Serang, Banten.
Hilman dan geng Lupus sering membantu keberlangsungan Rumah Dunia. Termasuk memberi pelatihan membuat novel komedi bersama kepada pelajar dan mahasiswa di Rumah Dunia. Dia juga meluncurkan film The Wall yang ia produksi di Rumah Dunia. Hilman datang secara sukarela dan sangat memanjakan Rumah Dunia jika urusannya bagi-bagi ilmu seputar film dan novel.
Hilman bagiku adalah aset negeri ini. Dia bahkan menjadi aset penerbit dan stasiun TV. Dia penulis novel serial terdepan di negeri ini. Lupus versi buku dan novel sama larisnya. Banyak sinetronnya yang selalu mendapat rating tinggi. Dua sinetronnya yang mendulang emas adalah Cinta Fitri dan Anak Langit.
Aku pernah jadi co-writer-nya untuk sebuah sinetron stripping. Aku menyerah dengan jadwal tidur yang tidak menentu; tidak pernah tahu kapan siang dan malam.
•••
HILMAN adalah pribadi yang tulus dan sederhana saat menolong orang. Begitu yang terjadi kepadaku. Sepulang dari traveling di tujuh negara Asia pada 1992, aku tidak punya pekerjaan tetap. Gusur, Boim, Gustin, dan Adra lebih dulu ia rekrut di Indosiar. Kemudian ia menolongku.
"Janji ya, lu enggak akan traveling lagi ninggalin kerjaan," Hilman mewanti-wanti. Dia khawatir, ketika direkrut, aku tidak akan bertahan lama karena memilih traveling. “Gue yang malu!”
Aku mengangguk. Aku berjanji tidak mengecewakannya. Kemudian aku bergabung dengan tim kreatif Indosiar (1995). Tapi kemudian aku mengambil jalan sendiri di RCTI (1996-2008). Boim mengikuti langkahku. Alasan kami, lebih bagus jika "7 Pengarang Remaja Gramedia" menyebar ke stasiun televisi lain.
Setelah berhenti dari RCTI (2008) dan berfokus di Rumah Dunia, aku beberapa kali mengingatkan sahabat-sahabatku yang masih bergelut di industri TV, juga Hilman, agar pensiun dari industri yang menggerogoti kesehatan mereka itu.
•••
HILMAN telah pergi. Lupus yang ia tulis abadi di hati pembaca. Hanya, yang aku sesali, Hilman tidak sempat menonton film Balada Si Roy garapan Fajar Nugros yang akan tayang pada Lebaran 2022. Aku ingin pamer kepada dia, tapi tidak kesampaian.
Selamat jalan, Hilman Hariwijaya. Maafkan, aku tidak pernah menjengukmu ketika sakit. Aku selalu sedang tidak ada di rumah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo