Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kisah The Pik Sin, Edi Londo, dan Keluarga Sylvia Saartje  

Tempo menghimpun kisah mereka yang memiliki pilihan berbeda seputar repatriasi. Keluarga indo dan eks tentara KNIL balik ke Indonesia.

12 Maret 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kisah mereka yang memiliki pilihan berbeda seputar repatriasi.

  • Keluarga Tionghoa yang memboyong keluarganya ke Belanda selepas kemerdekaan Indonesia.

  • Cerita keluarga Indo-Belanda yang menolak tawaran pindah ke Belanda.

IMAJI botol parfum berwarna biru itu terpampang di depan layar di salah satu ruangan Museum Sophiahof, Den Haag, Belanda. Dengan mengarahkan cahaya dari lampu yang disediakan, akan tersaji cerita di balik keberadaan botol parfum tersebut. Adalah The Pik Sin yang membawa botol itu hingga Belanda dan kini dipegang oleh anaknya, Lucas The. “Botol itu salah satu peninggalan bapak saya yang masih utuh. Kebanyakan barang lain sudah rusak,” kata Lucas kepada Tempo, Ahad, 6 Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

The Pik Sin adalah doktor astronomi pertama Indonesia yang pernah mengepalai Observatorium Bosscha periode 1959. Pria kelahiran Yogyakarta pada 1927 itu menjadi Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung 1966-1968. Ia memilih pergi ke Belanda pada 1968.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepergian Pik Sin ke Belanda pada 1968 tersebut masih terkait dengan revolusi kemerdekaan Indonesia. Salah satu kebijakan pemimpin nasional ketika itu adalah menasionalisasi kepemilikan asing, termasuk mengusir orang-orang Belanda dari Indonesia. Akibatnya Prof. Dr Bruno van Albada dan istrinya, Dr Elsa van Albada van Dien, mentor Pik Sin sekaligus guru besar astronomi ITB, harus minggat dari Tanah Air pada 1958.

The Pik Sin, mantan Direktur Observatorium Bosscha dan doktor astronomi pertama Indonesia, sedang menggunakan teleskop, 1960. Dok. Pribadi

Setelah itu, periode Pik Sin mengepalai Obsevatorium Bosscha bisa dibilang sebagai periode terkelam karena tidak adanya pendanaan yang memadai. Bahkan Pik Sin rela merogoh kocek sendiri dan meminta bantuan keluarga untuk kegiatan operasional Bosscha. Hingga akhirnya ia diajak Bruno van Albad berkarier di Belanda. “Alasan utamanya ke Belanda adalah kondisi ekonomi yang sulit,” tutur Lucas.

Botol parfum yang menjadi obyek pameran adalah milik orang tua Pik Sin, The Tan Boe dan Lie So Kwie. Botol itu merupakan salah satu barang berharga yang tersisa milik mereka. Pada periode Agresi Militer Belanda pada 1948, suasana kacau sehingga keluarga The Tan Boe harus mengungsi. Ketika itu, sejumlah komunitas peranakan Indo, orang asing, keturunan Maluku, dan keturunan Tionghoa menjadi sasaran amuk massa karena dianggap kolabolator penjajah Belanda.

Botol parfum milik keluarga The Pik Sin yang dipamerkan di pameran Ons Land: Dekolonisatie, Generaties, Verhalen di Museum Sophiahof, Den Haag, Belanda, 4 Maret 2022. Dok. Pribadi

Mereka memutuskan menguburkan semua barang berharga, seperti uang dan perhiasan, termasuk botol parfum itu di halaman rumahnya di Yogyakarta. Sekembalinya mereka ke rumah ketika suasana panas mereda, mereka mendapati rumah mereka juga menjadi korban penjarahan. Harta yang dikubur di halaman itu juga hilang. Yang tersisa cuma botol parfum tersebut. Dan botol parfum itulah kenangan atas suasana kacau amuk massa saat perang yang turut dibawa Pik Sin ketika pindah ke Belanda.

Di Belanda, Pik Sin mengajar astronomi dan belakangan menjadi guru besar di Universitas Amsterdam hingga pensiun pada 1993 dan meninggal pada 2017. Lucas sendiri mengaku tidak pernah menanyakan alasan bapaknya membawa botol parfum itu. Yang pasti, botol itu kini masih disimpan dan dijaga oleh keluarga Lucas. “Pokoknya selama saya hidup akan saya simpan,” kata Lucas yang kini berusia 64 tahun. “Tidak tahu ke depan anak saya mau menyimpannya atau tidak.”

•••

LAIN kisah The Pik Sin, lain kisah Edi Sumardi, 90 tahun, yang dikenal dengan panggilan Edi Londo. Edi adalah seorang indo Belanda-Jawa dari ibu Belanda dan ayah Jawa yang tinggal di Magelang, Jawa Tengah. Edi ingat tatkala ada tawaran repatriasi bagi warga Indo dari pemerintah Belanda untuk bermigrasi ke Belanda pada 1950-an ibunya tidak tertarik ikut. Edi sampai sekarang, meski berdarah Belanda, tak pernah bermukim di Belanda. Ia tetap tinggal di Magelang.

Edi Susilo, seorang indo Belanda-Jawa menunjukkan medali ayahnya, anggota Badan Keamanan Rakyat, di rumahnya di Magelang, Jawa Tengah, 7 Maret 2022. TEMPO/Shinta Maharani

Edi tampak berbinar ketika mengisahkan ibunya, Elizabeth Ani Vanhaten, seorang totok Belanda yang jatuh cinta kepada ayahnya dari keluarga Jawa, Sumardiman. Cerita asmara pasangan itu bermula dari kios cukur rambut di depan Gereja Katolik Santo Ignatius, di Jalan Kauman (kini Jalan Yos Sudarso). Sumardiman muda yang kelahiran Rembang, Jawa Tengah, itu kerap potong rambut di sana. Ani yang rumahnya tak jauh dari kios itu melihat lelaki berperawakan tinggi tersebut. Dia kepincut. Sumardiman lalu bicara kepada ayahnya, Mardi, tentang noni Belanda yang jatuh hati kepada dia. Ayah Sumardiman memberi syarat: mereka boleh menikah asalkan Ani berpindah dari penganut Katolik menjadi muslim. 

Rupanya kedua orang tua Ani yang berpikiran terbuka mendukungnya untuk menikah dengan pemuda Jawa itu. Mereka menikah pada 1929. Sejak menikah, Ani menetap di Magelang hingga akhir hayatnya. Dia tak pernah kembali ke kota kelahirannya di Amsterdam, Belanda. Saat ada program repatriasi atau pemulangan ke Belanda pada 1950, Ani tak tertarik. “Ibu saya kadung jatuh cinta dengan keluarganya di Magelang,” ujar Edi Sumardi saat ditemui di rumahnya di Jalan Pahlawan, Magelang, Senin, 7 Maret lalu. 

Edi bercerita, saat Jepang datang menguasai Magelang ibunya ditangkap tentara Jepang dan masuk ke kamp internir di Muntilan. Kamp di Pasturan Muntilan itu menampung orang-orang Belanda yang diusir Jepang. Ayahnya menyusul Ani ke kamp tersebut dan berbicara dengan petugas. Sumardiman meyakinkan tentara Jepang bahwa istrinya bukan lagi orang Belanda, tapi menjadi orang Jawa dan beragama Islam. Setelah bernegosiasi, tentara Jepang melepaskan Ani.

Di rumahnya yang penuh koleksi belasan sepeda motor Harley-Davidson, Edi kepada Tempo menunjukkan foto ibunya yang mengenakan kebaya, jarit, selendang, dan sanggul Jawa. Edi adalah satu-satunya Indo Belanda-Jawa generasi pertama yang tersisa di Magelang. Menurut dia, sejak ibunya menikah dengan ayahnya, dia dan semua anggota keluarganya mendapatkan diskriminasi dan rasisme dari orang-orang Belanda totok. Mereka tak boleh masuk ke toko-toko dan fasilitas umum milik Belanda. Toko-toko milik Belanda yang menjual makanan, minuman, dan kebutuhan sehari-hari banyak tersebar di Jalan Grooteweg, yang kini bernama Jalan Sudirman.

Edi mengenang suatu hari ibunya pernah hendak masuk ke salah satu toko milik Belanda untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari. Pemilik toko itu mengusir Ani yang diantar suaminya. Mereka lalu membeli barang kebutuhan di toko-toko milik orang Tionghoa di kawasan pecinan.

Selain larangan masuk ke toko-toko punya Belanda, ibunya tidak boleh mengikuti acara hiburan, seperti kelas dansa di Societet de Eendracht. Edi menggambarkan rasisme saat itu mirip dengan segregasi terhadap kulit hitam atau negro. “Ibu dan semua anggota keluarga Belanda dikucilkan dari pergaulan sosial Belanda totok,” ujar Edi.

Sejak saat itu, ibunya tercerabut dari pergaulan sosial Belanda tulen. Ibunya memiliki ayah, ibu, dan dua saudara kandung dan mereka memilih ikut program repatriasi. Mereka tidak kembali ke Belanda, tapi memilih ke Kanada dan tinggal di sana. Kakek Edi dari pihak ibunya merupakan seorang wartawan yang bekerja di perusahaan percetakan global, N.V Stoomdrukkerij H.V Maresch. Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang, Bagus Priyana, menyebutkan perusahaan itu berdiri di Groote weg Noord Poncol, kawasan elite pebisnis kulit putih. Kawasan itu dipenuhi hotel, toko, rumah, dan tangsi militer.

Edi menceritakan bagaimana ibunya yang totok Belanda memilih melanjutkan hidupnya dengan keluarga Jawa. Edi mendengar cerita kakek-nenek dari pihak ibunya merelakan ibunya tetap hidup di Magelang karena yakin Sumardiman mampu menjamin kehidupan anaknya. Sumardiman sendiri lahir dari keluarga berlatar saudagar ikan asin dan garam, yang pindah dari Rembang ke Magelang. Kakek Edi dari pihak ayah, Mardi, pindah ke Magelang pada 1918 karena menangkap peluang pasar yang bagus.

Mardi mendapatkan izin dari pemerintah Hindia Belanda untuk membeli tanah sangat luas di Magelang, termasuk yang ditempati Edi sekarang. Sumardiman hidup berkecukupan dan gemar mengoleksi sepeda motor Harley-Davidson, salah satunya diwariskan dan dipajang di rumah Edi. Mardi juga menyekolahkan Sumardiman hingga sekolah tinggi teknik yang kini menjadi Institut Teknologi Sepuluh Nopember di Surabaya. Sumardiman pernah menjadi Kepala Dinas Pekerjaan Umum di Purworejo, Temanggung, dan terakhir di Magelang pada 1970-an.

Ani dan Sumardiman memiliki tiga anak. Hanya Edi yang masih hidup. Satu saudaranya pernah bekerja sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dan yang lain sebagai pemeran pengganti atau stuntman dalam sejumlah film. Keduanya telah meninggal. Menurut Edi, ibunya mengenyam pendidikan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO—setingkat sekolah menengah pertama. Dia lebih banyak berinteraksi dengan komunitas Jawa sejak terlepas dari pergaulan dengan Belanda totok.

Edi ingat ibunya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar bahasa Jawa dan Al-Quran. Dia fasih berbahasa Jawa dan kerap mengenakan pakaian Jawa. Di rumah itu, Edi dan dua saudaranya juga dididik ala Jawa. Edi bisa berbahasa Belanda, tapi tidak begitu lancar. Selepas kemerdekaan Indonesia, sempat ada kebijakan larangan berbahasa Belanda hingga 1949. Larangan itu berlaku di kantor pos dan semua kantor pemerintahan. Edi mengungkapkan, sebagai keturunan Belanda, dia kerap mendapatkan perisakan saat bersekolah di sekolah rakyat setingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. “Saya sering kali diolok sebagai cah londo,” tutur Edi. Dia membalas olokan itu dengan mengajak berkelahi. 

Setelah lulus dari sekolah menengah atas, Edi melanjutkan pendidikan di sekolah guru pendidikan jasmani di Yogyakarta. Edi yang punya nama Belanda Edward pernah bekerja sebagai kepala SMA di kompleks AKABRI yang kini menjadi Akademi Militer Magelang, SMA Negeri 1 Salaman, dan SMA Tidar. Edi dan istri kini menikmati masa pensiun di rumahnya yang seluas 2.000 meter persegi. Mereka memiliki empat anak dan sepuluh cucu yang hidup sejahtera.

•••

SELAIN Edi Londo, di Magelang terdapat Jan Pieters Eddy Thomson atau Edi Susilo. Edi, 70 tahun, adalah seorang “Edi londo” lain. Dia seorang Indo Belanda-Jawa generasi kedua yang tinggal di Kampung Tulung, Magelang. Pada 1940-an, di Kampung Tulung itu berdiri dapur umum dan markas Badan Keamanan Rakyat (BKR). Kakek Edi Susilo adalah Belanda totok. Namanya Gerardus Pardoen, berasal dari Den Haag, Belanda. Pardoen merupakan tentara Kerajaan Hindia Belanda atau Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL). Dia kesengsem dengan nenek Edi, Kipoek, asal Gombong yang tinggal di tangsi militer Belanda yang kini menjadi Dinas Kesehatan Tentara. Kipoek adalah aktivis Palang Merah Indonesia.

Selepas ditinggal mati suaminya di medan pertempuran, Kipoek menjalani masa-masa sulit dalam hidupnya bersama tiga anak perempuan. Mereka pindah ke Magelang. Saat Jepang tiba di sana, Kipoek terpaksa menjadi tawanan demi menyambung hidup bersama tiga anaknya. Tentara Jepang menahan Kipoek dan tiga anaknya. “Oma jadi babu perwira Jepang dan tidak dibayar,” ujar Edi Susilo.

Suatu ketika, Pastor Johannes van der Steur, pendiri panti asuhan Oranje Nassau di Magelang yang menampung anak-anak Indo yang lahir dari pergundikan, menawari Kipoek untuk merawat tiga anaknya. Tapi Kipoek menolaknya dengan alasan tidak ingin berpisah dengan mereka. Kipoek tinggal satu atap menjadi tawanan perwira Jepang. Kipoek bertugas memasak makanan. Upah yang dia dapatkan adalah tiga anaknya bisa makan dan tinggal bersama dia saat ditawan.

Setelah Jepang pergi dari Indonesia, Kipoek dan keluarganya masih menjalani hidup yang susah di Kampung Boton, kampung yang dihuni Indo Belanda-Jawa, berjarak sekitar 1 kilometer dari markas BKR. Saat itu, Kipoek berjualan barang-barang bekas dan arang untuk cat pelitur. Kehidupannya mulai membaik saat dua anaknya menikah. Satu anaknya meninggal karena sakit akibat kebutaan. Emiliana Fransisca yang punya nama Jawa Siti Aminah, ibunda Edi, menikah dengan pejuang BKR, Lorensius Suhadi. Trisye, saudara Emiliana, menikah dengan tentara KNIL di Kampung Boton pada 1949. Setelah ada program pemulangan ke Belanda, suami Trisye memboyong dia ke Belanda dan tinggal di sana hingga sekarang.

Edi bercerita mengalami hidup yang sulit pada 1960-an. Dia harus antre demi mendapatkan bulgur, makanan yang mirip nasi merah berbahan cantel atau sorgum, sejak subuh. Sebagai keturunan Belanda, dia juga kerap dirisak teman sejak di sekolah dasar hingga sekolah teknik menengah. “Saya pernah dikeroyok di sekolah,” ucapnya.

Di rumahnya yang sederhana, Edi kini menjalani masa pensiun sebagai pegawai Kementerian Perhubungan. Pencinta sepeda motor gede ini pernah menjadi polisi patroli dan pengawalan keluarga Cendana.

•••

YANG menarik pula adalah kisah keluarga Sylvia Saartje, 65 tahun, penyanyi yang dikenal sebagai lady rocker pertama Indonesia. Orang tua Sylvia Saartje pindah ke Belanda pada 1951 dan Sylvia Saartje lahir di Belanda. Jipi—sapaan akrab Sylvia Saartje—mengingat kenangan saat tinggal bersama orang tuanya di Belanda. Jipi lahir di Arnhem, Belanda, pada 15 September 1956. Ia lahir lima tahun setelah kedua orang tuanya, Nedju Tuankotta dan Christina Tuyem, menetap di Belanda.

Sylvia Saartje di film dokumenter ‘Sylvia Saartje, Lady Rocker Pertama Indonesia’. YouTube

Menurut Jipi, ayahnya yang berdarah Ambon merupakan tentara KNIL dan diberi pilihan pindah ke Belanda. Bersama ribuan tentara KNIL, ayahnya berangkat dari tangsi KNIL di Malang, Jawa Timur, ke Belanda. Saat di Belanda, mereka ditempatkan di barak militer. Lokasinya berada di sekitar hutan, jauh dari permukiman penduduk. Di sanalah Jipi lahir hingga sempat mengenyam sekolah taman kanak-kanak. 

Selama dua tahun, Jipi menjalani sekolah taman kanak-kanak di luar barak militer itu. Ia selalu diantar-jemput bus sekolah dari barak ke sekolah. Ia sekolah bersama anak-anak Belanda yang berkulit putih. “Dalam satu kelas hanya saya yang berkulit gelap dan berambut keriting. Berbeda dengan anak-anak Belanda,” katanya. Sebagian temannya memandang dia sebagai sosok yang berbeda. “Mereka memegang rambut dan tangan. ‘Kok, warna kulitmu beda?’,” tuturnya.

Jipi menjelaskan, kehidupan keluarganya di asrama dalam barak militer itu harus dimulai dari nol lagi. Ibunya sempat ikut menggali kentang di ladang, bekerja di pabrik pemintalan benang, dan bekerja paruh waktu di restoran. “Berada di negara asing, orang tua saya tentu mengalami perang batin. Bagaimana mendidik anak, bagaimana dapat uang, dan beradaptasi dengan lingkungan yang baru,” ucapnya, menggambarkan kondisi orang tuanya saat itu.

Setelah dari barak militer KNIL, keluarga Jipi kemudian pindah dan sempat tinggal di beberapa kota di Belanda, antara lain Den Haag dan Delft. Ayahnya sempat bekerja di pabrik. Jipi mengungkapkan, keluarganya bisa beradaptasi dengan tetangga-tetangganya yang warga Belanda. Ia sendiri merasa bisa bergaul dengan sesama anak-anak selama di sana.

Namun, pada 1962, keluarganya memutuskan kembali ke Indonesia. Menurut Jipi, pertimbangan orang tuanya saat itu karena mereka ingin berkumpul kembali dengan keluarga besarnya di Indonesia, terutama di Malang. “Mami saya asal Gunung Kawi, Desa Kluwut, Malang. Kebetulan saat itu ada pilihan dari pemerintah Belanda untuk kembali ke Indonesia atau menetap di Belanda,” ujarnya.

Keluarganya kembali ke Indonesia dengan menumpang Kapal Fersia yang berlabuh di Jakarta. Mereka membawa berang-barang pribadi keluarga dari Belanda. Mereka sempat singgah beberapa bulan di kawasan Polonia, Jakarta, sebelum kemudian pindah ke Malang.

Saat awal di Malang, keluarganya menumpang di rumah neneknya di Jalan Bengawan Solo. Saat itu keluarganya masih biasa makan kentang seperti di Belanda. Tapi ternyata kentang sulit ditemukan dan tak banyak di pasar. Jadi neneknya membeli dan memasak ketela yang warnanya mirip dengan kentang. “Ternyata pencernaan tak bisa beradaptasi. Satu keluarga masuk rumah sakit. Mules, sakit perut,” tuturnya. Lama-lama, akhirnya mereka bisa beradaptasi dengan memakan nasi.

Setahun kemudian, orang tuanya membeli rumah di Jalan Pandanlaras, Malang. Jipi mengenang, ketika di Malang dan mulai masuk sekolah, ia kerap memakai baju panjang, sepatu lars, dan sal seperti di Belanda. Apalagi saat itu Malang masih dingin. Bergaya pakaian beda, ia sering disebut “londo ireng” (belanda hitam). “Oh, iku londo ireng (itu Belanda hitam),” ujarnya menirukan sebutan teman-teman sekolahnya.

Namun dari tahun ke tahun ekonomi keluarganya tak bagus. Ayahnya yang berlatar belakang tentara KNIL sulit mendapat pekerjaan. “Tak bisa bekerja seperti biasa. Papi melamar ke kantor ini-itu tapi tidak bisa kerja. Papi ada perasaan stres, tak bisa kerja,” ucapnya. Orang tuanya kemudian memilih membangun usaha sendiri. Bermodal perhiasan emas yang dibeli di Belanda, mereka merintis usaha jual-beli rumah dan usaha transportasi hingga membuat perusahaan cat. Namun krisis ekonomi pada 1965-an memukul usaha keluarganya. “Saat itu gawat banget. Perusahaan cat gulung tikar,” ujarnya. Bahkan sejumlah barang di rumah seperti mesin cuci dan mesin jahit terpaksa dijual.

Meski begitu, orang tuanya tetap mendorong Jipi untuk terus sekolah. “Orang tua tetap mendorong saya untuk tamat SMA, meski kemudian tak bisa kuliah,” tutur Jipi, mengenang kedua orang tuanya yang sudah lama meninggal.

TITO SIANIPAR (DEN HAAG), SHINTA MAHARANI (MAGELANG), EKO WIDIANTO (MALANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus