Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERJAM-JAM menunggu, para penyidik itu kehilangan kesabaran. Ahad malam pekan lalu, tahanan yang akan mereka pindahkan tak juga mau beranjak dari selnya. Seorang penyidik kembali maju, menyodorkan formulir sembari membentak. "Kalau tak mau teken, kami jemput pakai Brimob," katanya berteriak. "Sel ini akan kami gergaji."
Dari balik jeruji, Labora Sitorus tidak ciut. Sebaliknya, polisi berpangkat brigadir kepala itu ganti berteriak dengan lantang, "Memangnya saya teroris? Siapkan saja peti mati di depan sel!"
Sejak siang, para penyidik sudah nongkrong di muka sel Labora di Markas Kepolisian Daerah Papua. Mereka meminta pria 52 tahun itu meneken kesediaan dipindahkan ke Sorong, Papua Barat. Labora menolak. Labora mempertanyakan berkas perkara, terutama kenapa dia dituduh melakukan pencucian uang.
Agar tak dipindahkan paksa, siang itu Labora menambah kunci selnya. Dia mengancingkan dua jeruji di bawah kunci sel dengan gembok sebesar kepalan tangan. Semua anak kuncinya diserahkan ke istrinya, Sandrintje, saat membesuk.
Menjelang tengah malam, Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal Tito Karnavian turun tangan. Tito memerintahkan seorang bekas penyidik dan tim pengacara Labora membujuknya. Upaya itu berhasil: Labora melunak. Senin dinihari, sejumlah penyidik melesat keluar, mengambil anak kunci dari Sandrintje.
Akhirnya, sekitar pukul lima, pintu sel Labora pun terbuka. Pagi itu juga polisi yang, menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), memiliki rekening gendut Rp 1,5 triliun ini diterbangkan dengan Xpress Air ke Sorong untuk diserahkan ke kejaksaan. Berkas perkara yang menyebutkan Labora melakukan penimbunan bahan bakar minyak dan penebangan liar sudah lengkap. Semuanya segera diserahkan ke bagian penuntutan.
LABORA tak asing di kalangan polisi Papua. Dia dikenal sebagai polisi tajir. Kekayaan itu tidak diperolehnya dari gaji, tapi dari beragam bisnis, termasuk berjualan minuman keras.
Labora mengawali usahanya pada 1983. Semula, dia menjual berbagai barang kebutuhan di atas kapal yang singgah di sekitar Sorong. Sambil meneruskan usaha kecil-kecilan, Labora masuk sekolah polisi di Papua. Lulus sebagai bintara, ia ditugasi di Unit Bimbingan Masyarakat Kepolisian Resor Sorong. Saat itu, dia juga memasok barang kebutuhan ke wilayah terpencil.
Pada pertengahan 1990-an, Labora melihat peluang lain. Dia mulai masuk ke bisnis abu-abu: mendatangkan minuman keras Cap Tikus dari Manado. Karena permintaan minuman keras di Papua sangat tinggi, Labora mereguk banyak untung. Lalu, dari sini, ia merambah ke pengolahan kayu dan bahan bakar minyak. Untuk bisnis kayu, ia memakai bendera PT Rotua. Sebagai pedagang bahan bakar minyak, ia memakai PT Seno Adi Wijaya. Dia merekrut mertua, istri, dan saudaranya untuk mengurus perusahaan itu.
Sumber Tempo menuturkan, awalnya, Labora hanya menadah dan mendistribusikan kayu yang diolah penduduk lokal. Lama-kelamaan, dia terjun ke hutan dan menebang kayu, lalu mengolah dan menjualnya ke luar Papua. Di Papua Barat, namanya berkibar sebagai "raja kayu".
Labora menjadikan Sorong sebagai pusat kerajaan bisnisnya. Di sana, dia membeli belasan hektare rawa yang tembus ke laut berikut bukit di sebelahnya. Sepupu Labora, Wolter Sitanggang, menyebut Labora orang gila. Tapi, di tangan Labora, rawa-rawa itu bisa disulap menjadi kompleks perumahan, pusat pengolahan kayu, sekaligus dermaga.
Labora paham bisnis dan statusnya sebagai polisi akan aman jika ia berbaik-baik dengan atasan. Itu sebabnya, setiap kali ada acara penggantian pimpinan—dari kepala polres hingga kepala polda—ia tak pernah absen. Tak hanya setor muka, dia mengabarÂkan bisnisnya.
Menurut sumber Tempo, untuk mengambil hati atasan, ia selalu memohon arahan perihal bisnisnya. "Kenyataannya, permintaan duit dari atasan lebih deras daripada arahan," ujar teman dekat Labora. Jika atasannya kedatangan tamu atau sedang menyelenggarakan hajatan, Labora selalu dimintai bantuan.
Pada 2007, usaha Labora tersandung masalah. Perusahaannya, bersama sepuluh perusahaan lain, diduga terlibat pembaÂlakan liar. Sempat ditahan polisi pada 2009, Labora dibebaskan karena kasus itu dihentikan dengan alasan tak cukup bukti.
Pertengahan tahun lalu, skandal keuangan menggoyang PT Rotua, salah satu perusahaan Labora. Bersama beberapa karyawan, direktur perusahaan itu menggangsir uang penjualan kayu. Labora naik pitam. Ia memecat tiga direkturnya dan melaporkan mereka ke polisi. Tak terima, para bawahan itu membuka sisi gelap bisnis Labora.
Akhir Maret lalu, tiga kapal yang mengangkut bahan bakar milik Labora ditangkap polisi. Pada bulan yang sama, polisi kembali mengusut dugaan illegal logging oleh perusahaan Labora. Direktur PT Seno Adi Wijaya, Jimmi Lagesang, dan Direktur PT Rotua, Immanuel Mamaribo, menjadi tersangka bersama Labora.
Awalnya, polisi hanya menjerat Labora dengan tuduhan penimbunan bahan bakar minyak dan pembalakan liar. Belakangan, polisi menjerat Labora dengan pasal pencucian uang. Dasarnya, antara lain, laporan PPATK yang menemukan ribuan transaksi mencurigakan di sejumlah rekening. Ribuan transaksi itu terpecah dalam 60 rekening. Di bank, Labora tercatat sebagai pengusaha swasta. PPATK melansir Rp 1,5 triliun keluar-masuk rekening Labora pada 2007-2012.
Sumber Tempo mengungkapkan banyak transaksi babon yang tercium PPATK. Perusahaan Labora, misalnya, pernah menerima uang Rp 90 miliar dari pengusaha asal Malang, Jawa Timur. Labora pun terpantau pernah bertransaksi Rp 50 miliar dengan seorang istri pejabat di Papua.
BERSTATUS tersangka, Labora terbang ke Jakarta untuk membela diri. Pada 18 Mei lalu, dia mengadu ke Komisi Kepolisian Nasional. Labora melaporkan indikasi persaingan bisnis di balik pengusutan kasusnya, serta setoran uang miliaran rupiah kepada atasannya.
Tindakan Labora dibalas polisi. Begitu keluar dari pintu gedung Komisi Kepolisian, dia diringkus tim gabungan Polda Papua dan Badan Reserse Kriminal Polri. Labora digelandang ke sel tahanan Badan Reserse Kriminal. Dua hari kemudian, dia dipindahkan ke Rumah Tahanan Polda Papua.
Dari balik jeruji, Labora melawan. Akhir bulan lalu, dia mengutus Wolter Sitanggang, saudaranya, ke kantor KPK untuk menyerahkan daftar polisi yang pernah meminta uang kepadanya. Pada dokumen itu tercatat pula uang "entertainment" yang dikucurkan Labora sejak 1 Januari 2012 hingga 23 April 2013. Ada 265 transaksi uang untuk polisi: dari level kepolisian resor hingga Markas Besar Polri. Selain menyerahkan daftar nama, Labora melampirkan bukti setoran uang melalui bank. "Total setoran ke atasan Labora selama itu sekitar Rp 10 miliar," ujar Wolter.
Dua pekan lalu, Tempo menguji ulang nomor-nomor rekening yang tercantum dalam bukti transfer yang disimpan Labora. Ternyata sebagian besar rekening masih aktif. Rekening yang biasa dipakai Labora mengirim uang, misalnya, masih aktif atas namanya. Begitu pula rekening sejumlah polisi yang sering dikirimi uang Labora.
Sumber Tempo menuturkan, daftar setoran yang dikirim Labora ke KPK sebenarnya hanya sebagian kecil. Soalnya, setelah dua kantor perusahaan Labora digeledah polisi, hanya laporan keuangan dua tahun terakhir yang tersisa. Dokumen keuangan perusahaan tahun-tahun sebelumnya lenyap entah ke mana. Padahal seÂtoran pada tahun-tahun itu tak kalah besar. "Rata-rata bisa Rp 8 miliar per tahun," kata sumber itu.
Meski tidak lengkap, daftar Labora itu mencengangkan. Setoran terbesar terjadi pada 29 Januari 2012. Labora mencatat telah mengirim uang tunai Rp 629 juta untuk pimpinan Polda Papua. Menurut Labora, uang itu dia titipkan kepada Kepala Polres Kota Raja Ampat kala itu, Ajun Komisaris Besar Taufik Irfan. Taufik meminta uang sebanyak itu untuk mengurusi kenaikan pangkatnya. "Katanya, mau dikasih ke Kapolda. Sampai atau tidaknya, saya tak tahu," ujar Labora.
Menurut catatan Labora, selama dua tahun terakhir, Taufik menerima 48 kali setoran. Nilainya antara Rp 5 juta dan Rp 200 juta per transaksi. Pemimpin polisi lain yang berkali-kali tercatat dalam laporan Labora adalah Kepala Polres Sorong Komisaris Besar Gatot Aris Purbaya.
Akhir Mei lalu, Taufik dan Gatot dicopot dari jabatannya. Mereka ditarik ke Polda Papua. Tapi, kepada Tempo, Kepala Bagian Penerangan Umum Markas Besar Polri Komisaris Besar Agus Rianto menyatakan Taufik dan Gatot dicopot bukan karena menerima fulus. "Mereka dianggap lalai mengawasi Labora dan bisnisnya," kata Agus.
Pekan lalu, Tempo menemui Taufik untuk meminta konfirmasi. Taufik mengaku pernah menerima uang dari Labora, tapi menyangkal uang itu sebagai setoran. Menurut dia, duit Labora merupakan bantuan atau pinjaman untuk pribadi atau lembaga. "Tak sering, paling lima atau enam kali," ujarnya. Soal jumlahnya, Taufik tak bersedia menyebutkan.
Gatot juga mengaku pernah menerima uang dari Labora. Uang itu, kata dia, merupakan bantuan dari Labora. "Untuk membuat taman atau memperbaiki atap kantor," ujar Gatot, kini Wakil Direktur Lalu Lintas Polda Papua. Sejauh ini, polisi sudah memeriksa 134 saksi dalam kasus Labora. Menurut Tito Karnavian, 15 orang di antaranya polisi. "Level Kapolres, atasan yang bersangkutan," kata Tito.
"Nyanyian" Labora membuat para petinggi kebakaran jenggot. Di depan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Senin pekan lalu, Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Sutarman menyangkal ada perwira tinggi di Markas Besar Polri menerima duit Labora. Menurut Sutarman, dari hasil pemeriksaan, hanya ada satu perwira menengah berpangkat komisaris besar yang mendapat fulus Labora. "Dia terima duit saat bertugas di Papua," ujar Sutarman.
Dari balik jeruji tahanan, Labora menyesalkan sikap cuci tangan para atasan. Dia berharap Komisi Pemberantasan Korupsi mau menindaklanjuti daftar polisi penerima duit yang dia buat. "Saya dikhianati atasan," katanya.
Jajang Jamaluddin, Mustafa Silalahi, Indra Wijaya (Jakarta), Jerry Omona (Jayapura), Bobby Chandra (Sorong)
Menolak Terlempar Sendirian
Brigadir kepala Labora Sitorus melakukan perlawanan. Tak mau hanya dirinya yang "dilempar" ke penjara, kini dia "menggigit" orang lain: para atasannya yang selama ini ia beri upeti. Daftar polisi yang mendapat gelontoran fulus darinya—lebih dari 25 orang—sudah ia serahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Duit yang ia setorkan lebih dari Rp 10 miliar.
2007
Brigadir Kepala Labora Sitorus ditahan karena diduga terlibat kasus pembalakan liar melalui salah satu perusahaan miliknya.
2009
Kepolisian Daerah Papua menghentikan penyidikan kasus dugaan illegal logging dan melepaskan Labora dengan alasan kurang bukti.
2013
Akhir Maret
Polda Papua mulai mengusut dugaan kasus penimbunan BBM dan pengolahan kayu ilegal yang dilakukan dua perusahaan milik Labora.
13 Mei
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan telah menyerahkan data aliran dana mencurigakan di rekening milik Labora ke KPK. Akumulasi transaksi mencapai Rp 1,5 triliun.
16 Mei
Direktur Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Arif Sulistyo mengatakan Labora sudah menjadi tersangka kasus penimbunan BBM dan pembalakan ilegal. Labora tidak langsung ditahan.
18 Mei
- Labora mengadu ke Komisi Kepolisian Nasional. Ia melaporkan indikasi persaingan bisnis di balik pengusutan kasusnya dan setoran uang miliaran kepada atasannya di Polri.
- Labora ditangkap tim Bareskrim begitu selesai mengadu ke Komisi Kepolisian Nasional.
19 Mei
Markas Besar Kepolisian RI menetapkan Labora sebagai tersangka kasus pidana pencucian uang.
20 Mei
Penahanan Labora dipindahkan ke Rumah Tahanan Kepolisian Daerah Papua.
26 Juli
Berkas perkara Labora dilimpahkan Polda Papua ke penyidik Kejaksaan Tinggi Papua.
Akhir Juli
Penyidik Kejaksaan mengembalikan berkas ke Polda. Alasannya, masih ada yang belum lengkap.
28 Agustus
Polisi menyebutkan sudah memeriksa 134 saksi. Sebanyak 67 saksi untuk kasus pembalakan ilegal, 39 saksi untuk BBM ilegal, dan 28 saksi untuk kasus pencucian uang.
13 September
Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Surabaya melelang sekitar 2 juta meter kubik kayu milik Labora seharga Rp 6,5 miliar.
16 September
Berkas perkara Labora dinyatakan lengkap. Labora dipindahkan dari Rutan Polda Papua ke Rutan Polres Kota Sorong.
3 Jerat untuk Laboran
Pekan-pekan ini berkas pemeriksaan perkara Labora naik ke tahap penuntutan. Inilah tiga tuduhan yang dijeratkan kepadanya.
1. Penimbunan BBM
melakukan pengangkutan BBM tanpa izin dan usaha niaga BBM tanpa izin.
2. Pembalakan Hutan Ilegal
Menerima, membeli, menjual, menukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil secara ilegal.
Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi surat keterangan.
3. Pencucian Uang
Mengirimkan/mentransfer dana yang diduga hasil kejahatan penjualan BBM dan kayu ilegal.
Aset Labora
Labora berbisnis dan memutarkan duit ratusan miliar rupiah. Berikut ini aset yang sudah disita:
1. Di Sorong
-Kayu bahan baku dan kayu olahan 7,7 ribu meter kubik
-Kapal kayu dan kapal tangker BBM 9 unit
-Solar dan bensin 1 juta liter
-Mobil dump truck 10 unit
-Ekskavator 4 unit
-Forklift 2 unit
2. Di Surabaya
Kayu olahan 2,05 juta meter kubik (dilelang Rp 6,5 miliar)
Mengalir ke Mana-mana
Dalam dua tahun terakhir, Labora menyetorkan uang miliaran rupiah ke puluhan rekan dan atasannya di kepolisian. Penerima duit yang tercatat menyebar dari tingkat pos polisi hingga Markas Besar Polri.
Periode: 1 Januari 2012--23 April 2013
Jenis Transaksi
-Tunai 208 transaksi
-Transfer 55 transaksi
-Barang 3 transaksi
Penerima
33 polisi dari unsur pimpinan, reserse, Brimob, polisi air, sampai provos
-Markas Besar Polri == 18 transaksi == Rp 60 juta per transaksi
-Polda Papua == 28 transaksi == Rp 10--629 juta
-Polres Sorong == 110 transaksi == Rp 5--200 juta
-Polres Raja Ampat == 66 transaksi == Rp 5--100 juta
-Polres Aimas == 30 transaksi == Rp 5--100 juta
Teks: Jajang J. | Evan | PDAT Sumber: Wawancara polisi, wawancara Labora, dan riset
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo