Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Labora Sitorus bisa jadi kini merupakan polisi yang paling "populer" di seantero Papua. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menyebutkan lalu lintas rekening polisi yang lama bertugas di Sorong itu mencapai sekitar Rp 1,5 triliun. Diduga duit itu hasil dari bisnis haramnya, menggangsir kayu dan menyelundupkan bahan bakar minyak, yang membuat ia kemudian menjadi tersangka. "Pengumuman" PPATK itu tak pelak membuat banyak orang tercengang—dan membuat nama Labora Sitorus melambung.
Menjadi polisi sejak 1987, sebenarnya pangkat Labora hingga sekarang adalah brigadir kepala. Tapi, lantaran teman seangkatannya banyak yang sudah berpangkat ajun inspektur satu, banyak yang mengira pangkatnya juga seperti itu. Maka ia pun kerap dipanggil "Aiptu Labora". "Padahal pangkat saya masih bripka," kata Labora.
Sempat ditahan di sel Kepolisian Daerah Papua dan menolak dipindahkan, Senin pekan lalu, Labora diterbangkan ke Sorong. Tak berapa lama lagi, jika pekan-pekan ini berkas penuntutan perkaranya lengkap, ia segera diajukan ke pengadilan.
Pekan lalu, wartawan Tempo Bobby Chandra terbang dari Jakarta ke Sorong untuk mewawancarainya. Lewat serangkaian "pendekatan", bapak lima anak itu akhirnya bersedia diwawancarai.
Mengapa Anda sempat menolak ketika akan dipindahkan ke Sorong?
Saya merasa tim penyidik seperti mau membunuh saya. Mereka sebenarnya tahu siapa saya. Mereka tak ingin kedoknya terbongkar. Saya terus berontak karena tak mengetahui kesalahan saya apa.
Dan akhirnya bersedia dipindahkan karena tahu kesalahan Anda?
Saya tetap masih mempertanyakan apa dasarnya saya dijadikan tersangka. Tapi penyidik bilang nanti pengadilan yang membuktikan.
Sebenarnya berapa banyak uang yang mengalir ke atasan Anda?
Daftar sumbangan atau entertainment, rinciannya sudah saya serahkan ke KPK. Saya berharap KPK menelusuri aliran uang itu. Itu tidak sulit. Tak ada yang saya sembunyikan. Duit yang saya serahkan secara tunai lebih banyak dibanding yang melalui transfer. Ini saya lakukan setelah ada instruksi atasan.
Siapa saja atasan Anda yang sering Anda bantu?
Datanya sudah saya kirim ke KPK. Contohnya Pak Taufik Irfan (bekas Kepala Kepolisian Resor Raja Ampat). Dia pernah meminta Rp 600 juta tunai. Katanya untuk dikasih ke Kapolda. Sebenarnya untuk Kapolda Rp 500 juta, sisanya buat dia sebagai uang jalan.
Kapan persisnya uang itu Anda serahkan?
Di catatan saya ada tanggalnya. Duit itu saya kasih sewaktu dia datang ke rumah saya di Sorong. Kebetulan rumah saya menjadi perwakilan Polres Raja Ampat. Setiap dia ke Sorong, pasti tinggal di rumah saya. Duit sebanyak Rp 600 juta saya serahkan dalam tas melalui sopirnya. Saat itu, dia mau ke Jayapura. Katanya, duit itu untuk mengurus kenaikan pangkat dia. Bahwa duit itu tidak sampai ke Kapolda, saya tidak tahu. Semua pengeluaran uang itu saya bukukan.
Tapi pemberian itu dibantah?
Pernah saya bilang ke dia (Taufik Irfan), "Kenapa Komandan tidak mau terus terang sama Kapolda?" Saya bilang, "Sebagai laki-laki, semestinya Anda berani lapor ke komandan." Dia bilang uang yang pernah saya berikan akan diganti, dianggap sebagai utang. Itu namanya pengecut.
Anda kini sadar telah diperas oleh atasan?
Tidak hanya diperas, saya malah dirampok para atasan. Tapi kini mereka ketakutan. Lalu sekarang saya seperti mau dikasih mati, dibunuh.
Anda sakit hati?
Saya sakit hati. Kurang apa saya dengan mereka? Saya sebenarnya tidak mau mengerjakan hal-hal yang bertentangan dengan pekerjaan polisi.
Sebagai polisi, sebelumnya Anda sibuk berbisnis. Bagaimana ini?
Saya diperbolehkan berbisnis oleh atasan. Saya juga minta petunjuk dan izin kepada atasan. Dijawab boleh, asalkan tidak meninggalkan tugas. Pimpinan mengatakan dalam berbisnis harus melengkapi izin usaha. Itu sudah saya lakukan. Semua permintaan pimpinan sudah saya penuhi, termasuk ketika mereka meminta uang.
PPATK menyebutkan transaksi di rekening Anda mencapai Rp 1,5 triliun. Kok, bisa sebanyak itu?
Itu transaksi saya dengan sesama rekan pebisnis. Pokoknya, transaksi semua usaha saya melalui rekening-rekening itu. Di situ juga ada rekening-rekening polisi. Semuanya kini sudah dibekukan. Termasuk tabungan istri saya Rp 300 juta, yang kini tak bisa dicairkan.
Kami mendapat informasi Anda dulu sering menalangi gaji polisi yang telat?
Sejak menjadi polisi pada 1987, saya sudah berbisnis dan punya duit. Memang pernah gaji pegawai dan anggota Polres Sorong telat. Saya lalu menalangi, tapi itu tidak sering.
Bagaimana Anda mengatur bisnis Anda?
Sebenarnya saya tidak berbakat di bidang administrasi. Saya tidak bisa mengatur keuangan perusahaan. Pencet tombol komputer saja saya tak bisa. Saya, misalnya, sejak dulu hanya mengenal satu telepon seluler, Nokia 102, yang harganya Rp 150 ribu. Saya punya 10 buah ponsel seperti itu. Itu telepon paling hebat buat saya. Saya tidak mengerti teknologi. Punya ponsel untuk telepon dan SMS saja.
Jadi siapa yang menjalankan bisnis Anda?
Para direktur di perusahaan saya. Misalnya Immanuel Mamaribo, Direktur PT Rotua. Dia sudah ditangkap di Manokwari dan dijadikan tersangka dalam kasus BBM. Padahal BBM itu legal, surat-suratnya lengkap.
Bisnis kayu PT Rotua sudah berhenti total. Kapal-kapal saya juga stop operasi. Saya sudah minta kapal-kapal dan truk-truk yang tidak berhubungan dengan kasus itu tidak disita. Saya kasihan melihat karyawan dan masyarakat yang hidupnya bergantung pada usaha saya ini. Ternyata itu tidak bisa. Tega sekali penyidik. Mereka ingin melihat saya hancur.
Aset Anda apa saja yang kini masih ada? Rekening?
Semua rekening sudah dibekukan. Kayu di Surabaya dilelang. Tinggal yang di Sorong. Kalau itu pun kemudian dilelang, habislah semua. Nama saya hancur di mata rekan bisnis. Saya juga harus mengembalikan uang Rp 8 miliar kepada mitra bisnis. Utang tunai saya di bank sekitar Rp 2 miliar untuk cicilan pembelian alat berat ekskavator.
Kalau Anda dihukum dan kemudian kelak bebas, apakah masih mau bertugas kembali di kepolisian?
Saya belum diberhentikan. Tapi sekarang saya takut jadi polisi. Saya trauma. Polri yang membikin saya begini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo