Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada lagi suara deru gergaji mesin di tempat pengolahan kayu di Jalan Kapitan Pattimura, Sorong, Rabu pekan lalu. Empat bulan sebelumnya, ketika Tempo mendatangi tempat itu, suara mesin masih meraung-raung. Mesin molding penghalus dan pengilat kayu kini terbujur diselimuti plastik. Kepulan asap yang biasanya tak henti-henti keluar dari cerobong oven pemanas kayu tak lagi tampak. Setiap hari biasanya pabrik ini "memanggang" sekitar 40 meter kubik kayu agar awet dan liat.
Pabrik pengolahan kayu PT Rotua milik Labora Sitorus di kawasan Tempat Garam—demikian nama wilayah itu—kini senyap. Sisa-sisa harta karun Labora memang tak hilang betul. Tumpukan kayu merbau—salah satu kayu terbaik dari hutan Papua—memenuhi gudang setinggi rumah dua Âlantai.
Ratusan pegawai, yang kini kehilangan bosnya, terlihat berkerumun di dalam dan di luar pabrik.
Di satu pojok pabrik, terlihat dandang yang tengah menanak nasi dengan asap mengepul. Tak jauh dari situ, beberapa perempuan sibuk mengiris bawang dan cabai. Irama lagu dangdut Buka Dikit Joss, yang dilantunkan Juwita Bahar, mengalun dari sebuah pengeras suara. "Inilah yang kami lakukan setelah pabrik tidak beroperasi," ujar Teddy Tambun, salah seorang pegawai.
Gudang itu berada di lahan dua hekÂtare yang menjorok ke laut, ke pinggir Pantai Tanjung Kasuari. Ini salah satu properti milik Labora. Di pinggir laut ada lima ponÂdokan berjajar rapi membentuk huruf L. Bau vernis menyeruak dari dinding bangunan yang disusun dari bilah-bilah kayu merbau itu. Di belakang pondok tampak kolam renang yang belum jadi.
Menurut Silitonga, kerabat Labora yang juga anggota Kepolisian Resor Raja Ampat, rencananya tempat itu dijadikan resor. Konsumen yang dibidik adalah turis asing yang akan menuju Raja Ampat. "Tapi sekarang ditunda dululah. Mau dibangun pakai apa? Semua aset dan rekeningnya sudah disita," kata Silitonga.
Untuk mengangkut kayu-kayunya, Labora memiliki enam tongkang. Kapal-kapal itu kini tersandar di dermaga, dua kilometer dari pabrik kayu. Di dekat tongkang itu bersandar juga dua kapal pengangkut solar dan satu tanker mini milik PT Seno Adi Wijaya. Seperti pabrik pengolahan kayu, semua kapal disita Kepolisian Daerah Papua. PT Seno diyakini sebagai milik Labora meski secara operasional ditangani seorang kerabat.
Tanker itu masih berisi solar. Polisi menyebutkan jumlahnya satu juta liter. Labora menyebut 1,146 juta liter. Kendati dalam status sitaan, kapal itu tetap dijaga karyawan Labora. Menurut M. Sitorus, salah satu penjaga, ada petugas tiga shift yang berjaga 24 jam. Setiap shift terdiri atas lima penjaga. Garis polisi berwarna kuning yang sebelumnya melingkar mengelilingi kapal kini banyak yang putus dan raib. "Diterpa angin kencang," ujar Pasaribu, seorang penjaga.
Selain punya kediaman di pinggir laut, Labora memiliki dua rumah di Kota Sorong. Salah satunya di Jalan Diponegoro Nomor 59, Kelurahan Rufei, Distrik Sorong Barat, tak jauh dari Pasar Boswesen. Dikunjungi Kamis pekan lalu, rumah panggung yang tersusun dari batang merbau berkilat itu hanya ditunggui sejumlah karyawan dan belasan anjing. Di bawah panggung terdapat lorong 100 meter yang dipakai sebagai gudang penyimpanan berkarung-karung tomat, bawang, dan cabai milik pedagang pasar. Di lorong ini masih menumpuk ratusan batang kayu milik Labora.
Rumah lain terletak di Gang Peri di Jalan Jenderal Sudirman. Rumah bercat putih kusam dan berlantai dua ini terlihat kosong. Bangunan tersebut—ketika Labora belum jadi pesakitan—kerap menjadi tempat menginap bekas Kepala Polres Raja Ampat jika mampir ke Sorong. Seperti kapal dan pondokan, dua rumah di Kota Sorong itu disita polisi.
Selain di Sorong, polisi menyita dua juta meter kubik kayu olahan milik Labora di Gresik dan Surabaya. Kayu itu terletak di Kompleks Pergudangan Wirulusan Blok G/1-10, Jalan Mayor Jenderal Sungkono Kilometer 2,6, Gresik. Dalam dokumen, kayu-kayu itu tercatat dimiliki PT Alco Timber, perusahaan milik Natanael Christian A., rekan bisnis kayu Labora.
Menyambangi gudang itu Kamis pekan lalu, Tempo menemukan tumpukan kayu merbau setinggi tujuh meter ditutup terpal biru. Tak jauh dari situ, terdapat tumpukan kayu lain dililit garis kuning polisi tanpa tutup terpal.
Di kompleks pergudangan itu, Alco Timber menyewa tiga gudang: nomor 2 dan 3, yang dibiarkan terbuka lebar, serta gudang nomor 6. Di sana tampak tumpukan kayu merbau kiriman perusahaan Labora dari Papua. Kayu-kayu itu disita polisi dari Depo Peti Kemas Temas Line dan Terminal Peti Kemas Surabaya. Semuanya tersimpan dalam 115 kontainer dan masuk ke Depo pada 6 Mei 2013. Dua hari setelah kayu-kayu itu dipasok, polisi mengeluarkannya secara bertahap untuk dibawa ke Gresik.
Pekan lalu, dua juta meter kubik kayu milik Labora itu dilelang polisi melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Surabaya. Dimenangi Teddy Wijaya, kayu-kayu itu dibeli pemilik CV Sumber Makmur itu dengan harga Rp 6,57 miliar.
Penyitaan dan pelelangan harta Labora Sitorus itu bukan tanpa perlawanan. Sejak PT Rotua disita empat bulan lalu, 600 karyawan Labora tak mengizinkan polisi menutup pabrik dan mengangkut kayu-kayu. Mereka menduduki pabrik siang-malam.
Pekan lalu, penjagaan diperketat karena karyawan mendengar Kepolisian Daerah Papua kembali akan melelang kayu-kayu. Di dalam pabrik, para karyawan menggali lubang seukuran setengah lapangan bulu tangkis sebagai blokade untuk mencegah kendaraan polisi masuk. "Sudah dua hari ini banyak polisi yang datang. Katanya akan melelang kayu sitaan," kata Silitonga.
Menurut seorang anggota Polres Sorong, karyawan menduduki pabrik karena merasa nasibnya tak jelas. Lima bulan gaji mereka belum dibayarkan. Ketua rukun tetangga di lokasi pabrik, Freddy Fakdawer, mengakui beberapa warganya kini menganggur. Istri Freddy, yang sebelumnya bekerja di pabrik Labora sebagai pemotong kayu dengan gaji Rp 4,5 juta per bulan, kini juga tak bekerja. "Berat hidup ini sekarang," ujarnya.
Pengacara Labora, Erlina Tambunan, menyesalkan lelang kayu di Surabaya. Menurut dia, semestinya pelelangan tersebut menunggu hasil sidang. "Ini perampokan," katanya. Erlina menyatakan kayu-kayu olahan itu bukanlah barang sitaan yang cepat rusak ataupun membusuk hingga perlu cepat-cepat dilego. Erlina juga memprotes harga lelang, yang dianggapnya terlalu murah. "Minimal harganya Rp 17 miliar," ujarnya.
Menurut Kepala Bagian Penerangan Umum Markas Besar Kepolisian RI Komisaris Besar Agus Rianto, lelang itu sesuai dengan undang-undang. Ia mengatakan lelang dilakukan untuk memaksimalkan harga jual kayu yang merupakan bagian dari kerugian negara. Soal harga yang murah, Agus menjawab, "Itu kata dia. Yang menentukan harga, kan, juga bukan kami."
Febriyan (Jakarta), Bobby Chandra (Sorong), Diananta P. Sumedi (Gresik), Agita Sukma Listyanti (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo