ADA apa dengan dunia lawak Indonesia? Malam tahun baru yang
lalu, di layar TVRI, Udel alias Purnomo kelihatan bikin lelucon
bersama Kris Biantoro, Titiek Puspa dan Eddy Sud. Nah, nama
terakhir ini segera mengingatkan pada Kwartet Jaya, yang semula
didukungnya bersama Ateng dan Iskak, sesudah masa Bing Slamet.
Tidak jelas apakah ini pemunculan Eddy Sud yang pertama sesudah
perpecahan grup itu. Namun bahwa acara itu begitu jelek --
terasa bukan dilakukan oleh para pelawak -- menunjukkan bahwa
tidak selalu mudah untuk menyusun sebuah kekompakan baru terdiri
dari unsur-unsur baru.
Tetapi perpecahan -- dan itulah tema dunia lawak pribumi
sekarang ini -- juga menimpa Srimulat, yang sebagai grup jauh
lebih besar dan merupakan bagian lebih langsung dari kehidupan
sehari-hari masyarakatnya. Keluarnya salah-seorang bintang
puncak, Johny Gudel dari perkumpulan itu, justru menjanjikan
sesuatu untuk publik Jakarta. Muncul beberapa kali di TVRI tanpa
gagal, Gudel & Atmonadi segera akan menghidupkan sebuah
rombongan tetap --kebanyakan terdiri dari bekas-bekas Srimulat
juga dengan gedung yang tetap. Semacam "Srimulat baru"
barangkali akan muncul di Ibukota, sementara Srimulat asli
terbukti sampai sekarang tetap tangguh.
Kenyataan seperti itu menarik. Bila persaingan terasa semakin
keras, mudah diduga bahwa faktor keuangan makin menonjol
peranannya dalam kehidupan grup lawak kita. Tapi profesionalisme
yang makin menyata itu juga sekaligus, lambat atau cepat, akan
menuntut "identitas" masing-masing grup: bagaimana agar satu
grup tidak "sama saja" dengan yang lain, seperti yang selama ini
banyak dirasakan. Belum jelas benar bentuk konkrit yang akan
muncul dari para bekas Srimulat itu misalnya. Juga belum bisa
dipastikan apakah keinginan 'Kwartet Jaya Baru' untuk
menghidupkan lawak yang lebih sophisticated akan benar-benar
didukung oleh kemampuan. Sebab jangan dilupakan persaingan dari
Ateng & Iskak, sisa Kwartet Jaya yang tentunya akan lebih "siap
tempur" -- di samping nama-nama seperti Bagio, Ratmi Bomber atau
Reog BKAK pimpinan Mang Udi.
Laporan ini ditulis oleh Putu Wijaya, yang sekaligus
mewawancarai grup "bekas Srimulat" yang sekarang bernama
'Atmonadi Plus' -- dengan agak menyesal bahwa karena sempitnya
waktu, tidak sempat bertemu dengan Teguh, pimpinan Srimulat di
Surabaya. Wawancara dengan Kwartet Jaya (lama maupun baru) dan
lain-lainnya dikerjakan oleh Yusril Jalinus yang juga menuliskan
dua buah box, dan Syarief Hidayat.
Tanya sana tanya Silli, ada sebuah kesan yang sama-sama
dirasakan oleh ketiga rekan itu: bahwa pelawak itu sebenarnya
orang yang dicintai. Anda, misalnya, takkan pernah bisa ketawa
oleh lawakan seorang, bila anda tak suka pribadi orang itu.
Jujur, polos dan "konyol", dan diterima di hati khalayak ramai,
pelawak yang baik boleh dibilang menghidupkan dunia yang damai
di tengah segala ketegangan. Mempertemukan bermacam orang dalam
suasana bersahabat, dan bersama-sama mentertawakan apa saja,
termasuk diri sendiri. Barangkali saja ada benarnya lelucon
dramawan Eugene O'Neill: "badut adalah raja kebudayaan".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini