Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Terpencil atau bagaimana

Menurut bm diah, gagalnya diplomat indonesia di pbb dalam soal tim-tim karena politik luar negeri ri condong ke barat. hal ini disanggah oleh adam malik. komentar pelbagai pihak.

24 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIBA-TIBA debat soal politik luar negeri RI muncul di Jakarta. Dimulai oleh Burhanuddin Mohammad Diah, menanggapi kenyataan Indonesia "dihukum" beramai-ramai oleh ke-15 angggota DK-PBB dalam soal Timor Timur. "Mengapa Kita Dipencilkan Dunia?" tanya BM Diah dalam tulisannya yang dimuat 3 x berturut-turut dalam korannya sendiri, Merdeka sejak Selasa pekan lalu. Pertanyaan itu dijawabnya sendiri: Pertama, "sebab eksistensi kita digantungkan pada satu blok -- blok Barat!. Kemudian, "sebab kolonialisme & neo-kolonialisme ingin mencekam Indonesia". Lalu, "sebab (pemerintah) enggan lakukan apa yang harus dilakukan". Dalam tulisan yang bernada keras itu, bekas Menteri Penerangan dan Duta besar itu bukan hanya menyerang beleid Menlu Adam Malik khususnya, tapi seluruh kebijaksanaan pemerintah. Antara lain sikap Bappenas yang sejak lama selalu dianggap Diah terlalu menggantungkan sumber belanja negara pada bantuan blok Barat. Dengan akibat bahwa pemerintah segan bertindak cepat memadamkan kebakaran di Timor Timur, karena takut dianggap berkelakuan tidak senonoh" dan "nakal" oleh para dollor asing. Dan masih dalam rentetan peluru yang sama, Diah mengecam pemeintah yang, seperti kampiun-kampiun anti-komunis AS McCarthy dan John Foster Dulles, suka buru-buru mencap gerakan-gerakan nasionalisme kiri sebagai komunis. Khususnya dalam hal ini Fretilin, yang menurut Diah perlu ditimbang apakah tidak mungkin akan itu justru "progresif' dan "patriotis". Walhasil, menurut Diah, dalam mengikuti perkembangan politik di penggal Timur pulau Timor itu, kita terperosok da]am sikap "sentimen, emosionil, dan tidak rasionil lagi". Hingga terjadi perpecahan di sana dan kita terpaksa langsung menarik garis antara kawan & lawan. Namun pengiriman pasukan "sukarelawan", menurut Diah tidak disalahkan. Malah ia menyebutnya sangat terlambat. Yakni setelah kekacauan berlarut-larut di sana hingga merembet-rembet mengganggu keamanan rakyat kita di perbatasan dan membuka peluang bagi campur tangan negara-negara lain. Resep Diah yang menurut dia mestinya dijalankan adalah: "bereskan dulu, perkara kemudian!" Masih banyak resep lain yang diajukannya. Antara lain normaliasi hubungan dengan RRT dan negara-negara sosialis/komunis lain, meninggalkan ketergantungan secara keterlaluan pada AS dan sekutu-sekutunya, dibarengi anjuran untuk "kembali kepada elan revolusi kita, percaya pada diri sendiri dan pada rakyat yang menjadi tumpuan kita". Mengakui Fretilin Tidak perlu lama Diah menanti jawaban Adam Malik. Malah belum selesai dimuat tulisan bersambung itu, Merdeka sudah memuat jawaban sang Menlu yang diberikan pada semua wartawan di Pejambon. "Kalau ada orang atau koran yang menilai politik luar negeri Indonesia gagal, berarti orang itu buta, pengkhianat serta penjual bangsa", tukas Adam. Bekas Ketua Sidang Umum PBB, itu masih tetap juga mempertahankan pendiriannya bahwa "dunialah yang tak mau mendengarkan Indonesia". "Apabila kita mengakui Fretilin, mungkin akan mendapat nama baik di dunia", ujar Malik. Tapi itu, "berarti kita telah menjual bangsa dan berkhianat", dan berarti "Indonesia mengesahkan masuknya kembali komunis ke Indonesia". Malah dengan nada mengancam Malik menegaskan kalau ada yang berani seperti ini coba saja: nanti pasti rakyat akan marah atau koran itu pasti akan dibreidel". Dan Adam Malik tidak sendirian menjawab B.M.Diah. Sebab baik Dubes RI di PBB, Anwar Sani yang sedang balik melapor ke Jakarta, mau pun Menpen Mashuri semuanya membantah: "Indonesia tidak dipencilkan dunia","politik luar negeri RI tidak gagal" ditambah dengan pernyataan yang nadanya bertolak-belakang dengan pernyataan terdahulu: "Dunialah yang tidak mau mengerti Indonesia", dan "masih akan kita selidiki apa sebabnya negara-negara Non-Blok tidak mau mendukung Indonesia". Kendati demikian kritik Diah itu telah menarik pelatuk kecaman lainya. Pengamat politik luar negeri yang juga veteran diplomat, Achmad Subardjo SH menggarisbawahi bahwa "apa yang ditulis Diah itu ada betulnya". Posisi Indonesia di PBB sekarang ini memang sudah sangat lemah. Negara-negara A-A yang dulunya mendukung Indonesia sebagai pelopor Dasa Sila Bandung -- yang implisit sudah tercakup dalam Deklarasi Helsinki sekarang kini beramai-ramai meninggalkan Indonesia. Apa sebabnya? "Karena mereka menganggap Indonesia sudah tidak mempedulikan Dasa Sila Bandung lagi", tutur Achmad Subardjo. Dan kedua, "karena Indonesia kurang mengadakan lobbying di sana". Namun berbicara soal Timor, ketua Himpunan-Himpunan PBB Sedunia agak berbeda pendapat dengan Diah. "Membantu rakyat Timor Timur melepaskan diri dari penjajahan Portugal memang tugas nasional bangsa Indonesia, tapi hendaknya dengan cara-cara yang diizinkan oleh UUD 1945", kata Achmad Subardjo. "Baru kalau soal di Timor Timur kelihatannya mengganggu keamanan Tanah Air, kita membela diri dengan kekuatan yang ada pada kita. Mestinya kita tidak mencap salah satu fihak di sana dengan sebutan komunis, walaupun mereka sudah menghubungi Rusia atau RRT. Mungkin itu dilakukannya karena mereka merasa terdesak. Tapi yang terang mereka punya ideologi tersendiri. Paling-paling cap yang bisa bisa diberikan kepada Fretilin adalah 'ekstremis' -- cap mana dulu juga digunakan Belanda terhadap kita", tutur Subardjo panjang-lebar. Resolusi Ghana Apa yang diuraikan Achmad Subardjo itu telah dikembangkan lebih lanjut oleh Ruslan Abdulgani. Bekas Dubes RI di PBB itu pun mengherankan, mengapa wakil-wakil RI di sana tidak berhasil minta bantuan negara-negara A-A untuk menolak resolusi Mozambique itu. Dia sependapat dengan Achmad Subardjo tentang kurang berhasilnya lobbying di sana. Menengok pengalaman lalu, Ruslan Abdulgani menuturkan bahwa tahun 1968 pernah ada usul resolusi Ghana yang minta agar pelaksanaan Pepera di Irian Barat ditunda selama 5 tahun. Usul negara Afrika itu didorong oleh anggapan bahwa orang-orang Irian itu pun termasuk ras Negroid, karena itu perlu diberi kemungkinan untuk merdeka sendiri. "Tapi karena lobbying yang berhasil, negara-negara Afrika berhasil dirangkul kembali dan tidak jadi mendukung resolusi itu. Malah Ghana sendiri mencabutnya", kata Ruslan. Namun sebagai senjata pemungkas, Indonesia berhasil minta bantuan Rusia waktu itu untuk menggunakan hak vetonya, seandainya resolusi itu toh diajukan. Namun setelah kejadian itu, Indonesia setapak demi setapak di mata sebagian negara Asia-Afrika sudah dianggap sebagai negara yang "sudah tidak murni non-Blok lagi". Apa sebabnya, tidak diuraikan oleh Ruslan Abdulgani. Namun Achmad Subardjo sependapat dengan Diah: "yakni lantaran Indonesia sudah terlalu dekat dengan negara-negara Barat". Walhasil, polemik itu masih dapat diperpanjang-panjang. Seperti yang memang dilakukan oleh Diah, yang dalam tulisannya menanggapi tuduhan Adam Malik itu balik menuduh sang Menlu "Trotskyis", "fasis". Sementara itu, dari kalangan muda sepi-sepi saja tanggapan terhadap polemik kedua tokoh 45 itu. Mengapa? "Jangan-jangan, ini hanya jebakan saja, seperti sebelum 15 Januari 1974, yang toh berakhir dengan penangkapan mereka yang bersuara paling keras, dan pembreidelan koran-koran yang mencoba memanfaatkan kesempatan itu", ujar beberapa pemuda. Mereka menyatakan memilih untuk tutup mulut dengan sikap tidak mudah percaya. Sementara itu, di Istana Presiden akhir Fekan lalu berbicara juga mengenai politik luarnegeri. Sambil melantik para duta besar baru, Kepala Negara antara lain menyatakan: "pada tahap-tahap awal pembangunan ini kita menganggap mungkin menerima bantuan luar negeri dan mengembangkan kerjasama luarnegeri. Ini tidak berarti bahwa kita kehilangan kemerdekaan kita".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus