TIBA-TIBA debat soal politik luar negeri RI muncul di Jakarta.
Dimulai oleh Burhanuddin Mohammad Diah, menanggapi kenyataan
Indonesia "dihukum" beramai-ramai oleh ke-15 angggota DK-PBB
dalam soal Timor Timur. "Mengapa Kita Dipencilkan Dunia?"
tanya BM Diah dalam tulisannya yang dimuat 3 x berturut-turut
dalam korannya sendiri, Merdeka sejak Selasa pekan lalu.
Pertanyaan itu dijawabnya sendiri: Pertama, "sebab eksistensi
kita digantungkan pada satu blok -- blok Barat!. Kemudian,
"sebab kolonialisme & neo-kolonialisme ingin mencekam
Indonesia". Lalu, "sebab (pemerintah) enggan lakukan apa yang
harus dilakukan".
Dalam tulisan yang bernada keras itu, bekas Menteri Penerangan
dan Duta besar itu bukan hanya menyerang beleid Menlu Adam Malik
khususnya, tapi seluruh kebijaksanaan pemerintah. Antara lain
sikap Bappenas yang sejak lama selalu dianggap Diah terlalu
menggantungkan sumber belanja negara pada bantuan blok Barat.
Dengan akibat bahwa pemerintah segan bertindak cepat
memadamkan kebakaran di Timor Timur, karena takut dianggap
berkelakuan tidak senonoh" dan "nakal" oleh para dollor asing.
Dan masih dalam rentetan peluru yang sama, Diah mengecam
pemeintah yang, seperti kampiun-kampiun anti-komunis AS
McCarthy dan John Foster Dulles, suka buru-buru mencap
gerakan-gerakan nasionalisme kiri sebagai komunis. Khususnya
dalam hal ini Fretilin, yang menurut Diah perlu ditimbang
apakah tidak mungkin akan itu justru "progresif' dan
"patriotis".
Walhasil, menurut Diah, dalam mengikuti perkembangan politik di
penggal Timur pulau Timor itu, kita terperosok da]am sikap
"sentimen, emosionil, dan tidak rasionil lagi". Hingga terjadi
perpecahan di sana dan kita terpaksa langsung menarik garis
antara kawan & lawan. Namun pengiriman pasukan "sukarelawan",
menurut Diah tidak disalahkan. Malah ia menyebutnya sangat
terlambat. Yakni setelah kekacauan berlarut-larut di sana hingga
merembet-rembet mengganggu keamanan rakyat kita di perbatasan
dan membuka peluang bagi campur tangan negara-negara lain. Resep
Diah yang menurut dia mestinya dijalankan adalah: "bereskan
dulu, perkara kemudian!" Masih banyak resep lain yang
diajukannya. Antara lain normaliasi hubungan dengan RRT dan
negara-negara sosialis/komunis lain, meninggalkan ketergantungan
secara keterlaluan pada AS dan sekutu-sekutunya, dibarengi
anjuran untuk "kembali kepada elan revolusi kita, percaya pada
diri sendiri dan pada rakyat yang menjadi tumpuan kita".
Mengakui Fretilin
Tidak perlu lama Diah menanti jawaban Adam Malik. Malah belum
selesai dimuat tulisan bersambung itu, Merdeka sudah memuat
jawaban sang Menlu yang diberikan pada semua wartawan di
Pejambon. "Kalau ada orang atau koran yang menilai politik luar
negeri Indonesia gagal, berarti orang itu buta, pengkhianat
serta penjual bangsa", tukas Adam. Bekas Ketua Sidang Umum PBB,
itu masih tetap juga mempertahankan pendiriannya bahwa "dunialah
yang tak mau mendengarkan Indonesia". "Apabila kita mengakui
Fretilin, mungkin akan mendapat nama baik di dunia", ujar Malik.
Tapi itu, "berarti kita telah menjual bangsa dan berkhianat",
dan berarti "Indonesia mengesahkan masuknya kembali komunis ke
Indonesia". Malah dengan nada mengancam Malik menegaskan kalau
ada yang berani seperti ini coba saja: nanti pasti rakyat akan
marah atau koran itu pasti akan dibreidel". Dan Adam Malik tidak
sendirian menjawab B.M.Diah. Sebab baik Dubes RI di PBB, Anwar
Sani yang sedang balik melapor ke Jakarta, mau pun Menpen
Mashuri semuanya membantah: "Indonesia tidak dipencilkan
dunia","politik luar negeri RI tidak gagal" ditambah dengan
pernyataan yang nadanya bertolak-belakang dengan pernyataan
terdahulu: "Dunialah yang tidak mau mengerti Indonesia", dan
"masih akan kita selidiki apa sebabnya negara-negara Non-Blok
tidak mau mendukung Indonesia".
Kendati demikian kritik Diah itu telah menarik pelatuk kecaman
lainya. Pengamat politik luar negeri yang juga veteran diplomat,
Achmad Subardjo SH menggarisbawahi bahwa "apa yang ditulis Diah
itu ada betulnya". Posisi Indonesia di PBB sekarang ini memang
sudah sangat lemah. Negara-negara A-A yang dulunya mendukung
Indonesia sebagai pelopor Dasa Sila Bandung -- yang implisit
sudah tercakup dalam Deklarasi Helsinki sekarang kini
beramai-ramai meninggalkan Indonesia. Apa sebabnya? "Karena
mereka menganggap Indonesia sudah tidak mempedulikan Dasa Sila
Bandung lagi", tutur Achmad Subardjo. Dan kedua, "karena
Indonesia kurang mengadakan lobbying di sana".
Namun berbicara soal Timor, ketua Himpunan-Himpunan PBB Sedunia
agak berbeda pendapat dengan Diah. "Membantu rakyat Timor Timur
melepaskan diri dari penjajahan Portugal memang tugas nasional
bangsa Indonesia, tapi hendaknya dengan cara-cara yang diizinkan
oleh UUD 1945", kata Achmad Subardjo. "Baru kalau soal di Timor
Timur kelihatannya mengganggu keamanan Tanah Air, kita membela
diri dengan kekuatan yang ada pada kita. Mestinya kita tidak
mencap salah satu fihak di sana dengan sebutan komunis, walaupun
mereka sudah menghubungi Rusia atau RRT. Mungkin itu
dilakukannya karena mereka merasa terdesak. Tapi yang terang
mereka punya ideologi tersendiri. Paling-paling cap yang bisa
bisa diberikan kepada Fretilin adalah 'ekstremis' -- cap mana
dulu juga digunakan Belanda terhadap kita", tutur Subardjo
panjang-lebar.
Resolusi Ghana
Apa yang diuraikan Achmad Subardjo itu telah dikembangkan lebih
lanjut oleh Ruslan Abdulgani. Bekas Dubes RI di PBB itu pun
mengherankan, mengapa wakil-wakil RI di sana tidak berhasil
minta bantuan negara-negara A-A untuk menolak resolusi
Mozambique itu. Dia sependapat dengan Achmad Subardjo tentang
kurang berhasilnya lobbying di sana. Menengok pengalaman lalu,
Ruslan Abdulgani menuturkan bahwa tahun 1968 pernah ada usul
resolusi Ghana yang minta agar pelaksanaan Pepera di Irian Barat
ditunda selama 5 tahun. Usul negara Afrika itu didorong oleh
anggapan bahwa orang-orang Irian itu pun termasuk ras Negroid,
karena itu perlu diberi kemungkinan untuk merdeka sendiri. "Tapi
karena lobbying yang berhasil, negara-negara Afrika berhasil
dirangkul kembali dan tidak jadi mendukung resolusi itu. Malah
Ghana sendiri mencabutnya", kata Ruslan. Namun sebagai senjata
pemungkas, Indonesia berhasil minta bantuan Rusia waktu itu
untuk menggunakan hak vetonya, seandainya resolusi itu toh
diajukan.
Namun setelah kejadian itu, Indonesia setapak demi setapak di
mata sebagian negara Asia-Afrika sudah dianggap sebagai negara
yang "sudah tidak murni non-Blok lagi". Apa sebabnya, tidak
diuraikan oleh Ruslan Abdulgani. Namun Achmad Subardjo
sependapat dengan Diah: "yakni lantaran Indonesia sudah terlalu
dekat dengan negara-negara Barat". Walhasil, polemik itu masih
dapat diperpanjang-panjang. Seperti yang memang dilakukan oleh
Diah, yang dalam tulisannya menanggapi tuduhan Adam Malik itu
balik menuduh sang Menlu "Trotskyis", "fasis".
Sementara itu, dari kalangan muda sepi-sepi saja tanggapan
terhadap polemik kedua tokoh 45 itu. Mengapa? "Jangan-jangan,
ini hanya jebakan saja, seperti sebelum 15 Januari 1974, yang
toh berakhir dengan penangkapan mereka yang bersuara paling
keras, dan pembreidelan koran-koran yang mencoba memanfaatkan
kesempatan itu", ujar beberapa pemuda. Mereka menyatakan memilih
untuk tutup mulut dengan sikap tidak mudah percaya.
Sementara itu, di Istana Presiden akhir Fekan lalu berbicara
juga mengenai politik luarnegeri. Sambil melantik para duta
besar baru, Kepala Negara antara lain menyatakan: "pada
tahap-tahap awal pembangunan ini kita menganggap mungkin
menerima bantuan luar negeri dan mengembangkan kerjasama
luarnegeri. Ini tidak berarti bahwa kita kehilangan kemerdekaan
kita".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini