Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAHASISWA atau penganggur. Dengan modal bahasa Inggeris sedikit lancar, ditambah kepintaran membujuk pantang menyerah, jadilah ia guide. Di Yogya banyak orang menyebutnya demikian, karena ia memang banyak berurusan dengan pelancong terutama turis asing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun tak kurang pula yang menyebutnya calo alias tukang catut alias perantara. Sebab tokoh yang demikian dengan mudah dapat dijumpai di hotel-hotel. Tak kurang pula yang petentang-petenteng di sepanjang Jalan Malioboro. Begitu melihat orang asing, dengan sikap yang diwajar-wajarkan, diapun menghampiri. Tegur sapa dalam bahasa Inggris memulai pembicaraan. Dan begitu si pelancong menampakkan tanda-tanda ingin berkomunikasi, sang guide mulai menggait-gait pembicaraan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sasarannya langsung saja. Ingin suvenir? Batikkah, yang tradisional, atau dalam bentuk lukisan, yang menjamur sejak 3-4 tahun belakangan ini? Atau barang-barang kerajinan perak dan wayang? Maka dibimbinglah si pelancong ke tempat tujuan. Karena umumnya mereka lebih senang memilih batik -- terutama lukisan batik modern -- dengan harga cukup murah itu, maka ke art gallery lah si turis diajak.
Ada puluhan art gallery muncul di Yogya belakangan ini. Hampir semua menggantungkan lukisan batik. Tetapi bagi si calo tak jadi soal, mana gallery yang bermutu atau tidak. mana motif lukisan batik yang tradisionil atau moderm Yang penting hanya ini gallery mana yang sanggup memberi komisi paling tinggi padanya. Dan ke sanalah si pelancong dihadapkan.
Di gallery, berbagai jenis minuman dihidangkan, sesuai dengan kemampuan masing-masing sanggar -- dan sementara inl berhagai lukisan pun disodorkan. Si turis tinggal merenung antara pilihan yang disenanginya dengan harga yang telah disodorkan: mulai harga Rp 5.000 ampai Rp 500.000. Bahkan lebih. Kalau tak ada yang berkenan di hati sang tamu, tugas si guide belum selesai.
Dengan kata-kata yang meyakinkan, dia membawa pelancong itu ke art gallery lain yang tersebar di seluruh sudut kota. Tapi bila transaksi terjadi, maka persoalannya tinggal urusan antara si guide dengan pemilik gallery. Begitu sang pembeli luput dari pintu, komisi mulai jadi perbincangan: 15, 20% atau 30% kah dari harga lukisan yang laku bagi si guide alias calo.
Menyadari batik sudah bukan lagi hanya sekedar kebanggaan terhadap orang luar, namun juga telah tumbuh menjadi sejenis barang dagangan, maka macam-macam cara ditemukan untuk menyedot uang belanja para turis yang memasuki kota Yogya. Tentu demikian pula halnya bagi Hadjir, sarjana muda IKIP jurusan Senirupa Yogya yang sehari-harinya adalah Ketua Rukun Kampung (RK) Taman Sari.
Mendirikan gallery kecil-kecilan di rumahnya persis di mulut taman rekreasi -- yang didirikan Sultan Hamengku Buwono I tahun 1975 dan dikenal dengan nama Taman Sari (Water Castle). Hadjir tak hanya memancing uang turis yang berkunjung ke Taman Sari untuk membeli lukisan-lukisan batiknya.
Tapi "ternyata para turis banyak yang ingin tahu bagaimana cara men1buat batik -- seperti katanya ketika mengungkapkan berdirinya kursus kilat membuat batik bagi turis-turis miliknya. Dengan papan nama bertulisan Hadjir Digdodarmodjo BA / Ketua RK Taman Sari -- Intensive & Informative Batik Course.
Pelukis ini memungut bayaran Rp 5.000 bagi setiap orang pelancong yang ingin mengikuti kursus batiknya sampai tamat. "Enam hari tamat, 4 jam pelajaran setiap hari", ucapnya kepada TEMPO. Menurut Ketua RK yang membawahi 520 KK itu, kursusnya hampir tak pernah kehabisan murid. Terdiri dari pclancong asing dari berbagai negara dan bermacam profesi. "Dan mereka selalu menyatakan puas terhadap pelajaran yang saya berikan" Hadjir bertutur.
Tetapi usaha seperti milik Ketua RK Taman Sari itu tampaknya tak begitu menguntungkan dari segi hitung dagang. Penduduk kota Yogya ternyata tak kurang pintarnya memutar-balikkan batik sehingga mampu mengeduk uang sebanyak-banyaknya. Bukan saja dengan banyak larinya pelukis-pelukis modern menjadi pelukis batik, namun tak kurang pula pengusaha batik yang memesan lukisan-lukisan (bermotif) batik dari berbagai pelukis dan mencantumkan nama si pengusaha sebagai sang pencipta.
Sebuah gallery batik di pinggiran sebelah barat kota Yogya, misalnya, akhir-akhir ini cukup ramai dikunjungi para pelancong, hanya karena pemiliknya punya sedikit modal dan keberanian. Ia tak punya kepandaian apa-apa soal batik apalagi lukis-melulis. Tapi setiap ada tamu datang ke gallery nya akan selalu tampak jari-jari kedua tangannya kotor berlumur cat atau obat batik.
Tentu untuk mengesankan bahwa ia baru saja melukis. Dan kepada si pengunjung dia tunjukkan, semua lukisan batik yang memenuhi gallery adalah buah tangannya semata. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah: dia telah memesan bermacam lukisan batik dari beberapa orang pelukis yang bersedia tidak mencantumkan namanya di bawah lukisan. Dan si pemilik gallerylah yang membubuhkan namanya di bawah lukisan itu.
Adapun bagi si pelukis rupanya soal nama bukanlah perkara. Yang penting dia menerima seharga selembar kain batik dari hasil kerjanya yang hanya berukuran beberapa puluh sentimeter itu. Dan bagi si pengusaha, keuntungan telah berpuluh kali, bahkan beratus kali, karena dia akan menjualnya atas nama sebuah karya lukisan batik modern.
Komisi Yang Seragam Bisnis lukisan batik serupa itu belum seberapa. Sebab tak kurang pula adanva gallery yang dipenuhi lukisan batik yang lahir karena kepintaran meniru-niru belaka. Golongan ini umumnya terdiri dari mereka yang putus sekolah tanpa pantang menyerah. Dengan modal sering melihat-lihat lukisan batik beberapa pelukis terkenal, diapun mencoba-coba membuat lukisan batik persis menyerupai karya pelukis yang pernah dilihatnya.
Sepintas hasilnya persis sama. Golongan ini ada yang mencantumkan namanya sendiri, meskipun tak sedikit yang terang-terangan mencantumkan nama pelukis yang dicontohnya: hanya agar karya itu laku dengan harga cukup tinggi. Meskipunn, tentu, tak semahal lukisan dari seniman sesungguhnya. Dan hasilnya cukup mentakjubkan. Beberapa gallery tumbuh pesat dan ramai pengunjung hanya dengan ulah serupa ini.
Tentu saja kelakuan-kelakuan serupa itu pada akhirnya membuat kesal pelukis-pelukis batik yang terkenal. Pelukis Kuswadji Kawindrasusanta misalnya dengan murung melihat hal-hal itu sebagai usaha untuk memerosoltkan nilai seni lukis batik, yang belakangan ini oleh beberapa orang seniman lukis dicoba untuk dikembangkan secara bersungguh-sungguh.
Bagi pelukis Amri Yahya. pemalsuan-pemalsuan tadi bukan saja "merusak nama baik senilukis batik kita", tapi juga sebagai, "perdagangan liar yang harus ditertibkan". Namun baik Kuswadji maupun Amri -- dua pelukis yang termasuk pemula dalam seni lukis batik ini -- meramalkan pada akhirnya yang sungguh-sungguh saja yang akan bertahan terus, sementara "yang palsu-palsu akan mati dengan sendirinya".
Kepada tamu-tamu yang berkunjung di gallery-nya Kuswadji sendiri selalu menunjukkan karya-karyanya yang asli dan yang dianggap komersil. "Agar mereka dapat belajar membedakan" tuturnya. Tetapi soal guide alias calo' lukisan tadi agaknya masih merisaukan Amri Yahya.
Jauh sebelum Pangkowilhan II Letjen Widodo mencela kelakuan para perantara barang seni itu lewat pers beberapa waktu berselang, Amri sudah pagi-pagi hari meminta agar hal itu ditertibkan. "Bukan dengan menghilangkan mereka", ucapnya, "sebab mereka juga perlu hidup, mungkin mereka mahasiswa yang kekurangan biaya, atau pegawai yang bergaji kecil".
Lalu bagaimana? "Saya minta agar para pemilik gallery memberikan komisi yang seragam kepada mereka, tidak seperti selama ini, saling berlomba menaikkan persentase hanya karna harapan agar sang guide memboyong turis ke gallerynya sebanyak-banyaknya".
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Batik: Lukisan dan Persaingan"