Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pak walikota, monggo, belum terlanjur yogya, lho mas

Walikota yogya yg baru, ahmad, mewarisi beberapa masalah :meningkatnya pendatang yang ingin menuntut ilmu, serbuan turis asing, lalu lintas, air minum, listrik. bursa batik menimbulkan persaingan tak sehat. (kt)

31 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WALIKOTA Yogya telah diganti Walikota baru mungkin masih bersiap-siap mudah-mudahan untuk menjaga Yogya supaya memikat seperti dulu, dan tidak rusak oleh "modernisasi" yang salah arah. Sebab, nyatanya, jalan-jalan yang dilebarkan tak membuat kota ini menjadi molek. Dengan itu Yogya malah seperti tampang seorang tua dengan sorjan tcrlampau longgar. Jalan Malioboro yang dulu terlihat tua tetapi memikat, kini dibagi-bagi dengan batas di tepi. Mentereng mungkin, tapi tidak membereskan lalu lintas yang kacau. Tapi mungkin itu gincu alias kosmetik yang perlu? Sangul perawan kampung yang kusut. Sebab di malam hari seluruh kota tetap seperti berkunang-kunang, kelap-kelip lampu jalanan yang enggan membagi cahaya ke sekitarnya. Dan lampu-lampu lahl lintas, bukan saja sudah begitu sulit membedakan warna merdh, hijau dan kuningnya karena kabur diusap usia. Tapi juga masih memaksa para petugas polisi lalu-lintas berjam-jam nongkrong dalam gardu di pojok perempatan, sambil sibuk memutar engkol pengatur kendaraan. Lampu-lampu lalu-lintas ini pun akan terlantar bagai sarang burung yang kosong tersisa apabila petugas Polantas merasa lelah atau pada jam-jam sepi, ataupun jika turun hujan deras. Maka kendaraan-kendaraan akan merayap dengan sendirinya, tertatih-tatih seirama dengan langkah lamban pejalan kaki di sepanjang trotoar. Di situ: pelbagai wajah gelandangan dan pengemis di emper-emper toko. Tarif All In Tetapi pelajar dan mahasiswa masih tetap mendominasi jumlah penduduk kota ini. Bahkan dari sekitar 350.000 jiwa penduduk, tak kurang dari 65% di antaranya terdiri dari golongan muda ini. Hubungan Masyarakat Universitas Gajah Mada sendiri misalnya mencatat bahwa dari 14.794 orang mahasiswanya dalam tahun ajaran 1975, hanya 37,02% saja yang berasal dari kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta. Artinya, selebihnya dari luar wilayah ini. Dan belum lagi yang ada di perguruan-perguruan tinggi lain yang jumlahnya belasan di Yogya. Secara keseluruhan, Balai Kota Yogya setiap tahunnya paling sedikit mencatat 10.000 orang penduduk baru memasuki kota ini. Menurut Djoko Ambiyah, Sekretaris Kotamadya, untuk waktu yang sama, kurang dari 5000 orang meninggalkan kota ini -- terdiri dari pelajar dan mahasiswa yang menyelesaikan studinya. Dengan areal kota yang cuma 3 km2 dan kepadatan rata-rata 11.000 jiwa lebih setiap km2, tak mengherankan bila luapan warga ini dari tahun ke tahun jadi salah satu masalah yang tal terpecahkan. Tentu untuk mengimbanginya digalakkan keluarga berencana dan transmigrasi. Namun kedua-duanya tentu saja belum menunjukkan hasil. Menurut L.Sumartono, Ketua DPRD Kotamadya, untuk mencukupi 100 KK (Kepala Keluarga) jatah transmigrasi yang diterima kota Yogya setiap tahunnya selalu tak pernah terpenuhi. "Paling-paling ki1a ambilkan dari luar kota", tuturnya. Dan kalaupun kedua upaya itu terus dilakukan, pertambahan penduduk selalu tak dapat mengimbangi masuknya penduduk baru. Mereka adalah pelajar dan mahasiswa pendatang yang jumlahnya dua kali lipat dari yang mampu dikeluarkan. ILalu perkara lain pun menyusul. Kesulitan memberikan penampungan, berupa pemondokan, bagi mereka yang hendak menuntut ilmu itu mulai menggelisahkan baik pejabat kota maupun warganya sendiri. Lebih-lebih dalam 10 tahun belakangan ini. Sebuah kamar, bahkan sebuah tempat tidur tak jarang jadi rebutan beberapa orang calon pemondok. Tak ketinggalan pula perebutan untuk menaikkan tarif sewa oleh para pemilik rumah. Begitu serunya perebutan tempat ini, sehingga tak hanya di bioskop atau di stasiun Tugu muncul para tukang catut. Juga akhir-akhir ini hampir di setiap Rukun Kampung -- setingkat Rukun Wilayah (RW) di Jakarta -- lahir pula perantara-perantara yang menghubungkan pemilik rumah dengan para calon pemondok. Masih mengutip catatan Humas UGM, tarif pondokan di Yogya dalam 1 tahun terakhir ini berkisar antara Rp 5.000 hingga Rp 7.000 sebulan per orang dengan makan dua kali dan mencuci pakaian sendiri. Yang terbilang mewah antara Rp 10.000 sampai Rp 15.000, sudah all in -- artinya makan 3 kali plus cuci dan sterika pakaian. Tinggal ongkang-ongkang. Untuk keluar dari masalah ini, rupanya pihak Kotamadya masih menunggu jawaban dari beberapa orang gubernur dari daerah-daerah asal para siswa itu untuk secara bersama-sama mendirikan sebuah asrama Bhinneka Tunggal Ika Dalam gagasan ini kelak diharapkan sebuah asrama yang cukup memenuhi syarat untuk menampung pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah yang ada di kota ini. Segi baik gagasan ini adalah untuk menghindari perkelahian antar-suku yang sering terjadi di Yogya. Namun agaknya tak sedikit di antara gubernur yang menampik halus rencana ini. Terutama karena hampir semua daerah -- tingkat propinsi, kabupaten bahkan marga -- sudah menyediakan asrama bagi masing-masing pelajar dan mahasiswa seasal dengan bantuan dari pemerintah daerah masing-masing. Dengan cara ini, para penghuni asrama bukan saja hanya membayar lebih murah dari tarif di luar. Juga diharapkan kompetisi sehat dalam kesungguhan belajar di antara mereka. Dari pihak UGM sendiri sudah sejak lama menyediakan beberapa buah asrama bagi mahasiswa-mahasiswanya. Namun, meskipun dengan tarif 2 kali lebih murah dari luaran, tak begitu menarik para pemondok. Mungkin karena mereka merasakan terikat dengan berbagai peraturan. Kalau Bali sering disebut sudah kurang dikunjungi turis, maka kota Yogya mulai diserbu pelancong semenjak 5 tahun belakangan ini. Terutama turis-turis asing. Tua muda mereka berjejal di sepanjang Jalan Malioboro dan sudut-sudut kampung. Dengan pakaian lusuh atau setengah rapi. Atau potongan-potongan yang mampu mendegupkan jantung penduduk kota yang masih penuh sopan-santun ini. Bahkan dengan tarif Rp 1.500 sehari pernah mereka dapat menyewa sepeda untuk berkelana ke segenap penjuru kota. Agaknya daya tarik kota ini bukan saja karena sudah dikenal sebagai Ibukota pertama Republik ini, tapi juga lantaran di sini selalu tersuguh kesenangan para pelancong: kraton dengan segala peninggalannya, museum-museum, batik dan wayang, tari serimpi dan berbagai macam kesenian lain. Lebih dari itu dari Yogya yang serba murah, para pelancong dengan mudah pula melirik ke belasan candi dari gugusan Borobudur dan Prambanan. Tak kalah penting juga, karena letaknya yang hampir menjadi pusat pulau Jawa, kota ini banyak meringankan langkah para turis untuk ke kelompok candi Dieng dan Bali ke sebelah timur dan Jakarta maupun Sumatera di ujung barat. "Faktor-faktor itulah yang banyak menarik minat para turis mtuk berkunjung ke Yogya", ucap KRT Subanar Kusumonegoro Kepala Biro Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta. Karena itu, katanya pula, setiap tahunnya lebih dari 75.000 orang turis datang ke mari. Maka, disamping toko-toko suvenir dan beragam restoran,muncullah tempat-tempat penginapan. Hingga awal tahun ini Subanar mencatat jumlah penginapan itu lebih dari 100 buah. Terdiri dari yang bergelar hotel kelas satu, kelas ekonomi, wisma hingga losmen yang berdinding anyaman bambu. Mulai dari yang bertarif paling mahal semalam 100 dollar (misalnya suite-room Hotel Ambarukmo) dan yang terendah 100 dollar. Di samping itu, adalah pekerjaan yang cukup menyenangkan mencatat "penggalakan kebudayaan" di kota ini. Baik untuk lebih memberikan daya pikat kepada para turis, maupun, lebih-lebih, untuk perkembangan kebudayaan itu sendiri, seni lukis batik tampil dengan penuh gairah, hampir selalu mengesankan para pengunjung. Meskipun industri batik Yogya sendiri tak secerah itu. Sendratari Ramayana yang digelarkan antara bulan Mei dan Oktober di pelataran candi Prambanan itu, masih tetap memukau, walaupun akhir-akhir ini kabarnya para penarinya banyak yang sungkan karena honorarium terlampau rendah. Begitu pula, organisasi-organisasi kesenian muncul dari tingkat Rukun Kampung, di luar yang telah beranak-pinak tanpa ikatan wilayah. Tercatat pula puluhan perguruan tari, kerawitan, pedalangan dan ketoprak. Hampir setiap hari para pengunjung kota Yogya dapat menyaksikan nomor-nomor contoh kesenian itu lewat latihan-latihan mereka, secara terpisah di sanggar masing-masing. Dengan mengatur jadwal dan memusatkan tempat pertunjukan maupun latihan dari organisasi-organisasi dan sekolah-sekolah itu barangkali kehidupan kesenian ini akan makin terasa di seluruh udara kota Yogya. Biro Pariwisata Daerah atau Dewan Kesenian Yogyakarta -- atau kedua-duanya -- agaknya adalah yang paling tepat mengurus pertunjukan ini bagi para turis. Setidak-tidaknya agar Dewan Kesenian yang kabarnya pingsan terus itu dapat terjaga (daripada hanya menyatakan diri dalam bentuk papan nama seperti selama ini). Namun akan menjadi kota kebudayaan -- seperti sering diucapkan orang dulu -- atau menjadi koa wisata seperti banyak dibayangkan orang sekarang -- bagaimanapun juga Yogya masih banyak yang perlu dibenahi. Tentu bukan dengan melebarkan jalan-jalan saja, apalagi secara mubazir. Tidak pula dengan membangun gedung-gedung megah yang hambar. Sebab ulah memperbesar Jalan Malioboro, misalnya, bukan saja pernah menimbulkan makian dari berbagai pihak, tapi juga banyak dinilai sebagai merubah jantung kota ini menjadi banci. "Malioboro sudah terlanjur terkenal di dunia, karena itu tak perlu dirubah-rubah", kata KRT Soedarisman Poerwokoesoemo SH, bekas Walikota Yogya, selama hampir 20 tahun (Juli 1947 hingga September 1966). Kalau mau menunjukkan pembangunan baru, buatlah di lain tempat, tambah Soedarisman. Bahkan tak kurang dari Sri Pakualam, Wakil Kepala Daerah DIY sendiri, menyinggung soal itu: "Saya selalu menganjurkan agar membangun gedung-gedung modern, jalan-jalan baru, tapi bentuk aslinya tetap dipelihara". 4 Masalah Pokok Memang diakui, pembuatan jalur-jalur jalan baru maupun pelebaran cukup menonjol bagi kota Yogya yang tidak termasuk luas ini. Hanya satu yang tetap menjadi rahasia, justru setelah itu kekusut-masaian lalu-lintas menjadi semakin parah. Para pengendara sepeda, yaitu pemakai jalan terbanyak. tampak selalu ragu berada dalam arus lalu-lintas mobil dan motor serta beca yang bercampur aduk. Lebih-lebih di Malioboro: semua kendaraan seperti kuda liar dihalau tanpa koboi. Tapi jalan lebar atau gedung baru: Bagaimana Yogya sebagai sebuah kota yang dihuni orang-orang modern? Di samping menghadapi kesulitan akan sumber penghasilan dan kepadatan penduduk, agaknya hingga hari ini Yogya masih dibelenggu bermacam ihwal: kekusutan lalu-lintas (khususnya untlk kendaraan lambat), kekurangan infra struktur khususnya air minum bersih dan listrik), kekurangan tempat bersantai, dan keadaan rumah penduduk yang banyak belum mencukupi syarat-syarat tempat tinggal yang sehat dan nyaman. Menurut penelitian tahun 1975, dari 62.445 buah rumah tangga yang ada di seluruh Kotamadya, hanya 10,6% saja yang sudah menikmati air bersih alias ledeng. Selebihnya tentu berkumur dan mencuci dengan air sumulatau air Kali Code, Kali Winongo dan Kali Gajah Wong. Dari pihak lain, meskipun pada hari-hari belakangan ini di beberapa bagian kota mulai terpancang tiang-tiang listrik baru, hinga tahun kemaren masih tercatat baru sekitar 40% rumah warga kota yang sudah disinari lampu listrik. Begitu pula dari sekitar 69,3% rumah penduduk yang belum permanen -- dan sekitar 30% di antaranya berada dalam keadaan yang cukup menyedihkan -- baru 80 buah di antaranya (di Kecamatan Kraton dan Gondomanan) yang sempat menerima bantuan untuk pemugaran dalam rangka penyehatan dalam tahun 1975 Lebih menyedihkan lagi, warga kota Yogya dari dulu sampai sekarang masih tergolong haus akan tempat-tempat bersantai, terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah Yang tercatat tentu hanya kebun binatang Gembira Loka, mudah dicapai dengan sepeda walaupun lama-lama membosankan juga. Sementara itu yang namanya Taman Hiburan Rakyat (THR) di bekas kuburan belahan selatan kota itu, ternyata tak lebih dari tempat judi resmi yang diberi nama penghalus. yaitu ketangkasan. Meski bukan tempat peruntungan bagi mereka yang benar-benar tangkas. Tapi dalam hubungan ini masih dapat disebutkan bahwa hingga hari ini Yogya belum lagi memiliki kotak-kotak sampah. Musim hujan dan buah-buahan di awal tahun ini, membuat gunung-gunungan di sepanjang Malioboro dan jalan-jalan utama lainnya. Bukan saja mata yang lewat diganggu tumpukan benda-benda sisa itu, tapi juga kedua lubang hidung. Agak beruntung bahwa mobil sampah cukup rajin memungutnya, meskipun pembuangannya ke tepi Kali Code pada akhirnya kelak akan mendangkalkan sungai ini jua. Rupanya masalah-masalah pokok kebutuhan sebuah kota itu belum banyak termasuk dalam jangkauan berbagai istilah pembangunan yang banyak dilontarkan dulu (entah kini). Meskipun semuanya secara bertahap dapat dicicilkan dari APBD yang jumlahnya sekitar Rp 1 milyar setiap tahun itu. Beberapa kelalaian ini agaknya cukup disadari pula oleh pihak Pemerintah Daerah DIY. Sri Pakualam misalnya, kepada TEMPO minggu lampau, secara umum mengakui beberapa kekurangan yang masih dipunyai kota ini. "Kita selalu memberi saran-saran kepada daerah tingkat II, tapi nyatanya ..." begitu ucap Pakualam tanpa melanjutkan kalimatnya. Mungkin karena kecewa. Mungkin lantaran merasa semuanya sudah terlanjur. Yang belum terlanjur tentu Walikota Ahmad. Ia belum dua bulan menduduki jabatannya menggantikan Sudjono, walikota lama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus