WALIKOTA Yogya telah diganti Walikota baru mungkin masih
bersiap-siap mudah-mudahan untuk menjaga Yogya supaya memikat
seperti dulu, dan tidak rusak oleh "modernisasi" yang salah
arah. Sebab, nyatanya, jalan-jalan yang dilebarkan tak membuat
kota ini menjadi molek. Dengan itu Yogya malah seperti tampang
seorang tua dengan sorjan tcrlampau longgar. Jalan Malioboro
yang dulu terlihat tua tetapi memikat, kini dibagi-bagi dengan
batas di tepi. Mentereng mungkin, tapi tidak membereskan lalu
lintas yang kacau. Tapi mungkin itu gincu alias kosmetik yang
perlu? Sangul perawan kampung yang kusut.
Sebab di malam hari seluruh kota tetap seperti berkunang-kunang,
kelap-kelip lampu jalanan yang enggan membagi cahaya ke
sekitarnya. Dan lampu-lampu lahl lintas, bukan saja sudah begitu
sulit membedakan warna merdh, hijau dan kuningnya karena kabur
diusap usia. Tapi juga masih memaksa para petugas polisi
lalu-lintas berjam-jam nongkrong dalam gardu di pojok
perempatan, sambil sibuk memutar engkol pengatur kendaraan.
Lampu-lampu lalu-lintas ini pun akan terlantar bagai sarang
burung yang kosong tersisa apabila petugas Polantas merasa lelah
atau pada jam-jam sepi, ataupun jika turun hujan deras. Maka
kendaraan-kendaraan akan merayap dengan sendirinya,
tertatih-tatih seirama dengan langkah lamban pejalan kaki di
sepanjang trotoar. Di situ: pelbagai wajah gelandangan dan
pengemis di emper-emper toko.
Tarif All In
Tetapi pelajar dan mahasiswa masih tetap mendominasi jumlah
penduduk kota ini. Bahkan dari sekitar 350.000 jiwa penduduk,
tak kurang dari 65% di antaranya terdiri dari golongan muda ini.
Hubungan Masyarakat Universitas Gajah Mada sendiri misalnya
mencatat bahwa dari 14.794 orang mahasiswanya dalam tahun ajaran
1975, hanya 37,02% saja yang berasal dari kawasan Daerah
Istimewa Yogyakarta. Artinya, selebihnya dari luar wilayah ini.
Dan belum lagi yang ada di perguruan-perguruan tinggi lain yang
jumlahnya belasan di Yogya. Secara keseluruhan, Balai Kota Yogya
setiap tahunnya paling sedikit mencatat 10.000 orang penduduk
baru memasuki kota ini. Menurut Djoko Ambiyah, Sekretaris
Kotamadya, untuk waktu yang sama, kurang dari 5000 orang
meninggalkan kota ini -- terdiri dari pelajar dan mahasiswa yang
menyelesaikan studinya.
Dengan areal kota yang cuma 3 km2 dan kepadatan rata-rata 11.000
jiwa lebih setiap km2, tak mengherankan bila luapan warga ini
dari tahun ke tahun jadi salah satu masalah yang tal
terpecahkan. Tentu untuk mengimbanginya digalakkan keluarga
berencana dan transmigrasi. Namun kedua-duanya tentu saja belum
menunjukkan hasil. Menurut L.Sumartono, Ketua DPRD Kotamadya,
untuk mencukupi 100 KK (Kepala Keluarga) jatah transmigrasi yang
diterima kota Yogya setiap tahunnya selalu tak pernah terpenuhi.
"Paling-paling ki1a ambilkan dari luar kota", tuturnya. Dan
kalaupun kedua upaya itu terus dilakukan, pertambahan penduduk
selalu tak dapat mengimbangi masuknya penduduk baru. Mereka
adalah pelajar dan mahasiswa pendatang yang jumlahnya dua kali
lipat dari yang mampu dikeluarkan.
ILalu perkara lain pun menyusul. Kesulitan memberikan
penampungan, berupa pemondokan, bagi mereka yang hendak menuntut
ilmu itu mulai menggelisahkan baik pejabat kota maupun warganya
sendiri. Lebih-lebih dalam 10 tahun belakangan ini. Sebuah
kamar, bahkan sebuah tempat tidur tak jarang jadi rebutan
beberapa orang calon pemondok. Tak ketinggalan pula perebutan
untuk menaikkan tarif sewa oleh para pemilik rumah. Begitu
serunya perebutan tempat ini, sehingga tak hanya di bioskop atau
di stasiun Tugu muncul para tukang catut. Juga akhir-akhir ini
hampir di setiap Rukun Kampung -- setingkat Rukun Wilayah (RW)
di Jakarta -- lahir pula perantara-perantara yang menghubungkan
pemilik rumah dengan para calon pemondok. Masih mengutip catatan
Humas UGM, tarif pondokan di Yogya dalam 1 tahun terakhir ini
berkisar antara Rp 5.000 hingga Rp 7.000 sebulan per orang
dengan makan dua kali dan mencuci pakaian sendiri. Yang
terbilang mewah antara Rp 10.000 sampai Rp 15.000, sudah all in
-- artinya makan 3 kali plus cuci dan sterika pakaian. Tinggal
ongkang-ongkang.
Untuk keluar dari masalah ini, rupanya pihak Kotamadya masih
menunggu jawaban dari beberapa orang gubernur dari daerah-daerah
asal para siswa itu untuk secara bersama-sama mendirikan sebuah
asrama Bhinneka Tunggal Ika Dalam gagasan ini kelak diharapkan
sebuah asrama yang cukup memenuhi syarat untuk menampung pelajar
dan mahasiswa dari berbagai daerah yang ada di kota ini. Segi
baik gagasan ini adalah untuk menghindari perkelahian antar-suku
yang sering terjadi di Yogya. Namun agaknya tak sedikit di
antara gubernur yang menampik halus rencana ini. Terutama karena
hampir semua daerah -- tingkat propinsi, kabupaten bahkan marga
-- sudah menyediakan asrama bagi masing-masing pelajar dan
mahasiswa seasal dengan bantuan dari pemerintah daerah
masing-masing. Dengan cara ini, para penghuni asrama bukan saja
hanya membayar lebih murah dari tarif di luar. Juga diharapkan
kompetisi sehat dalam kesungguhan belajar di antara mereka. Dari
pihak UGM sendiri sudah sejak lama menyediakan beberapa buah
asrama bagi mahasiswa-mahasiswanya. Namun, meskipun dengan tarif
2 kali lebih murah dari luaran, tak begitu menarik para
pemondok. Mungkin karena mereka merasakan terikat dengan
berbagai peraturan.
Kalau Bali sering disebut sudah kurang dikunjungi turis, maka
kota Yogya mulai diserbu pelancong semenjak 5 tahun belakangan
ini. Terutama turis-turis asing. Tua muda mereka berjejal di
sepanjang Jalan Malioboro dan sudut-sudut kampung. Dengan
pakaian lusuh atau setengah rapi. Atau potongan-potongan yang
mampu mendegupkan jantung penduduk kota yang masih penuh
sopan-santun ini. Bahkan dengan tarif Rp 1.500 sehari pernah
mereka dapat menyewa sepeda untuk berkelana ke segenap penjuru
kota. Agaknya daya tarik kota ini bukan saja karena sudah
dikenal sebagai Ibukota pertama Republik ini, tapi juga lantaran
di sini selalu tersuguh kesenangan para pelancong: kraton dengan
segala peninggalannya, museum-museum, batik dan wayang, tari
serimpi dan berbagai macam kesenian lain. Lebih dari itu dari
Yogya yang serba murah, para pelancong dengan mudah pula melirik
ke belasan candi dari gugusan Borobudur dan Prambanan. Tak kalah
penting juga, karena letaknya yang hampir menjadi pusat pulau
Jawa, kota ini banyak meringankan langkah para turis untuk ke
kelompok candi Dieng dan Bali ke sebelah timur dan Jakarta
maupun Sumatera di ujung barat. "Faktor-faktor itulah yang
banyak menarik minat para turis mtuk berkunjung ke Yogya", ucap
KRT Subanar Kusumonegoro Kepala Biro Pariwisata Daerah Istimewa
Yogyakarta. Karena itu, katanya pula, setiap tahunnya lebih dari
75.000 orang turis datang ke mari.
Maka, disamping toko-toko suvenir dan beragam restoran,muncullah
tempat-tempat penginapan. Hingga awal tahun ini Subanar mencatat
jumlah penginapan itu lebih dari 100 buah. Terdiri dari yang
bergelar hotel kelas satu, kelas ekonomi, wisma hingga losmen
yang berdinding anyaman bambu. Mulai dari yang bertarif paling
mahal semalam 100 dollar (misalnya suite-room Hotel Ambarukmo)
dan yang terendah 100 dollar. Di samping itu, adalah pekerjaan
yang cukup menyenangkan mencatat "penggalakan kebudayaan" di
kota ini. Baik untuk lebih memberikan daya pikat kepada para
turis, maupun, lebih-lebih, untuk perkembangan kebudayaan itu
sendiri, seni lukis batik tampil dengan penuh gairah, hampir
selalu mengesankan para pengunjung. Meskipun industri batik
Yogya sendiri tak secerah itu. Sendratari Ramayana yang
digelarkan antara bulan Mei dan Oktober di pelataran candi
Prambanan itu, masih tetap memukau, walaupun akhir-akhir ini
kabarnya para penarinya banyak yang sungkan karena honorarium
terlampau rendah. Begitu pula, organisasi-organisasi kesenian
muncul dari tingkat Rukun Kampung, di luar yang telah
beranak-pinak tanpa ikatan wilayah. Tercatat pula puluhan
perguruan tari, kerawitan, pedalangan dan ketoprak. Hampir
setiap hari para pengunjung kota Yogya dapat menyaksikan
nomor-nomor contoh kesenian itu lewat latihan-latihan mereka,
secara terpisah di sanggar masing-masing. Dengan mengatur jadwal
dan memusatkan tempat pertunjukan maupun latihan dari
organisasi-organisasi dan sekolah-sekolah itu barangkali
kehidupan kesenian ini akan makin terasa di seluruh udara kota
Yogya. Biro Pariwisata Daerah atau Dewan Kesenian Yogyakarta --
atau kedua-duanya -- agaknya adalah yang paling tepat mengurus
pertunjukan ini bagi para turis. Setidak-tidaknya agar Dewan
Kesenian yang kabarnya pingsan terus itu dapat terjaga (daripada
hanya menyatakan diri dalam bentuk papan nama seperti selama
ini).
Namun akan menjadi kota kebudayaan -- seperti sering diucapkan
orang dulu -- atau menjadi koa wisata seperti banyak dibayangkan
orang sekarang -- bagaimanapun juga Yogya masih banyak yang
perlu dibenahi. Tentu bukan dengan melebarkan jalan-jalan saja,
apalagi secara mubazir. Tidak pula dengan membangun
gedung-gedung megah yang hambar. Sebab ulah memperbesar Jalan
Malioboro, misalnya, bukan saja pernah menimbulkan makian dari
berbagai pihak, tapi juga banyak dinilai sebagai merubah jantung
kota ini menjadi banci. "Malioboro sudah terlanjur terkenal di
dunia, karena itu tak perlu dirubah-rubah", kata KRT Soedarisman
Poerwokoesoemo SH, bekas Walikota Yogya, selama hampir 20 tahun
(Juli 1947 hingga September 1966). Kalau mau menunjukkan
pembangunan baru, buatlah di lain tempat, tambah Soedarisman.
Bahkan tak kurang dari Sri Pakualam, Wakil Kepala Daerah DIY
sendiri, menyinggung soal itu: "Saya selalu menganjurkan agar
membangun gedung-gedung modern, jalan-jalan baru, tapi bentuk
aslinya tetap dipelihara".
4 Masalah Pokok
Memang diakui, pembuatan jalur-jalur jalan baru maupun pelebaran
cukup menonjol bagi kota Yogya yang tidak termasuk luas ini.
Hanya satu yang tetap menjadi rahasia, justru setelah itu
kekusut-masaian lalu-lintas menjadi semakin parah. Para
pengendara sepeda, yaitu pemakai jalan terbanyak. tampak selalu
ragu berada dalam arus lalu-lintas mobil dan motor serta beca
yang bercampur aduk. Lebih-lebih di Malioboro: semua kendaraan
seperti kuda liar dihalau tanpa koboi. Tapi jalan lebar atau
gedung baru: Bagaimana Yogya sebagai sebuah kota yang dihuni
orang-orang modern? Di samping menghadapi kesulitan akan sumber
penghasilan dan kepadatan penduduk, agaknya hingga hari ini
Yogya masih dibelenggu bermacam ihwal: kekusutan lalu-lintas
(khususnya untlk kendaraan lambat), kekurangan infra struktur
khususnya air minum bersih dan listrik), kekurangan tempat
bersantai, dan keadaan rumah penduduk yang banyak belum
mencukupi syarat-syarat tempat tinggal yang sehat dan nyaman.
Menurut penelitian tahun 1975, dari 62.445 buah rumah tangga
yang ada di seluruh Kotamadya, hanya 10,6% saja yang sudah
menikmati air bersih alias ledeng. Selebihnya tentu berkumur dan
mencuci dengan air sumulatau air Kali Code, Kali Winongo dan
Kali Gajah Wong. Dari pihak lain, meskipun pada hari-hari
belakangan ini di beberapa bagian kota mulai terpancang
tiang-tiang listrik baru, hinga tahun kemaren masih tercatat
baru sekitar 40% rumah warga kota yang sudah disinari lampu
listrik. Begitu pula dari sekitar 69,3% rumah penduduk yang
belum permanen -- dan sekitar 30% di antaranya berada dalam
keadaan yang cukup menyedihkan -- baru 80 buah di antaranya (di
Kecamatan Kraton dan Gondomanan) yang sempat menerima bantuan
untuk pemugaran dalam rangka penyehatan dalam tahun 1975 Lebih
menyedihkan lagi, warga kota Yogya dari dulu sampai sekarang
masih tergolong haus akan tempat-tempat bersantai, terutama bagi
mereka yang berpenghasilan rendah Yang tercatat tentu hanya
kebun binatang Gembira Loka, mudah dicapai dengan sepeda
walaupun lama-lama membosankan juga. Sementara itu yang namanya
Taman Hiburan Rakyat (THR) di bekas kuburan belahan selatan kota
itu, ternyata tak lebih dari tempat judi resmi yang diberi nama
penghalus. yaitu ketangkasan. Meski bukan tempat peruntungan
bagi mereka yang benar-benar tangkas.
Tapi dalam hubungan ini masih dapat disebutkan bahwa hingga hari
ini Yogya belum lagi memiliki kotak-kotak sampah. Musim hujan
dan buah-buahan di awal tahun ini, membuat gunung-gunungan di
sepanjang Malioboro dan jalan-jalan utama lainnya. Bukan saja
mata yang lewat diganggu tumpukan benda-benda sisa itu, tapi
juga kedua lubang hidung. Agak beruntung bahwa mobil sampah
cukup rajin memungutnya, meskipun pembuangannya ke tepi Kali
Code pada akhirnya kelak akan mendangkalkan sungai ini jua.
Rupanya masalah-masalah pokok kebutuhan sebuah kota itu belum
banyak termasuk dalam jangkauan berbagai istilah pembangunan
yang banyak dilontarkan dulu (entah kini). Meskipun semuanya
secara bertahap dapat dicicilkan dari APBD yang jumlahnya
sekitar Rp 1 milyar setiap tahun itu. Beberapa kelalaian ini
agaknya cukup disadari pula oleh pihak Pemerintah Daerah DIY.
Sri Pakualam misalnya, kepada TEMPO minggu lampau, secara umum
mengakui beberapa kekurangan yang masih dipunyai kota ini. "Kita
selalu memberi saran-saran kepada daerah tingkat II, tapi
nyatanya ..." begitu ucap Pakualam tanpa melanjutkan kalimatnya.
Mungkin karena kecewa. Mungkin lantaran merasa semuanya sudah
terlanjur. Yang belum terlanjur tentu Walikota Ahmad. Ia belum
dua bulan menduduki jabatannya menggantikan Sudjono, walikota
lama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini