Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aroma dupa menguar dari pelataran rumah Made Sariani di Desa Adat Tuka, Kuta Utara, Bali. Jumat sore akhir Desember 2016, perempuan 48 tahun itu sedang menyiapkan banten (sesaji) yang akan dia bawa ke upacara adat memukur, salah satu rangkaian upacara kematian dalam tradisi Bali, di desa tetangga.
Sesaat kemudian, Sariani meletakkan sesaji yang ia pegang seraya menyambut kedatangan keponakannya, I Gusti Ayu Pramusita Dewi Hartati, 24 tahun, warga Katolik di Desa Tuka. "Kaden tiang nyen (saya kira siapa)?" kata Sariani. "Tiang ngejot (saya ngejot)," jawab sang keponakan. Dewi turun dari sepeda motornya, menenteng keranjang berisi buah-buahan, ayam betutu, nasi, dan aneka kue.
Ngejot merupakan tradisi untuk menjalin persaudaraan, termasuk di antara umat yang berbeda agama, ketika salah satunya merayakan hari raya. Ngejot berasal dari kata "ejot" atau "jot", yang berarti "memberikan dengan cuma-cuma". Tidak ada aturan tertentu jumlah atau nilai makanan yang diberikan dalam tradisi ngejot. Warga yang ingin memberikan makanan disesuaikan dengan apa yang dimiliki. Demikian juga sebaliknya, tidak ada timbal balik yang ditentukan bagi orang yang menerima ngejot.
Di Bali, ngejot memang kental dengan tradisi mengantarkan makanan kepada umat yang berbeda agama—seperti yang dilakukan Dewi Hartati kepada Made Sariani yang beragama Hindu. Ayah Dewi, I Gusti Ngurah Bagus Kumara, 50 tahun, adalah orang asli Bali dan tokoh masyarakat Katolik di Tuka. Menurut Kumara, dulu yang melakukan ngejot masih antar-umat dalam satu keyakinan, yakni Hindu. Biasanya tradisi ngejot dilakukan saat upacara adat atau keagamaan. "Misalnya, dalam upacara persembahan suci saat peresmian pura, biasanya ngejot ke tetangga-tetangga," ujarnya.
Seiring dengan kian beragamnya kehidupan beragama masyarakat Bali, tradisi ngejot tak hanya dilakukan antar-umat Hindu, tapi juga dengan penganut agama lain, seperti Katolik dan Islam. "Tradisi ngejot tetap menjadi kearifan lokal Bali yang terus dipertahankan hingga sekarang," kata Kumara.
Seperti halnya warga Tuka lainnya, Kumara melakukan tradisi ngejot hingga sekarang. Saat saudaranya yang beragama Hindu akan merayakan Galungan, dia ikut membantu. Biasanya, kata Kumara, tiga hari menjelang perayaan Galungan, ia bersama keluarganya sudah ikut membantu persiapannya. "Istri saya membantu majejahitan (merangkai janur dan susunan bunga untuk sesaji)," ujarnya. "Saya membantu bikin babi guling, lawar, dan membuat penjor".
Sebaliknya, saat Kumara dan keluarganya hendak merayakan Natal pada Desember 2016, sejumlah saudaranya yang Hindu juga datang membantu. Kesibukan mewarnai rumah Kumara saat menjelang Natal. Tak hanya datang untuk bersilaturahmi, saudaranya yang beragama Hindu, terutama ibu-ibu, membantu memasak. "Tamu yang akan datang banyak. Ada yang dari Nusa Lembongan, Sesetan, Monang-maning, Peguyangan, dan Karangasem. Ini yang membuat kami bahagia," ucap Kumara.
Bram Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo