Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puluhan anggota jemaat mulai datang memasuki Gereja Katolik Tritunggal Mahakudus di Desa Adat Tuka, Bali. Sore itu mereka—beberapa di antaranya orang asing—hendak mengikuti misa malam Natal di gereja Katolik yang terletak di Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, berjarak sekitar 15 kilometer barat Denpasar itu.
Gereja Tritunggal Mahakudus merupakan gereja Katolik pertama di Pulau Dewata. Bangunan gereja itu berarsitektur khas Bali, termasuk model gapura sebagai pintu gerbangnya. Gereja yang diresmikan pada 14 Februari 1937 itu berjulukan "Bethlehem of Bali".
Hingga petang menjelang, jemaat terus mengalir memasuki gereja. Menurut I Gusti Ngurah Darmadi, untuk tahun 2016, misa malam Natal di gereja itu diadakan dua kali, karena anggota jemaatnya sangat banyak. "Setiap tahun anggota jemaatnya terus bertambah. Pada 2016 jumlahnya mencapai sekitar 2.000 orang," kata Darmadi, 43 tahun, Ketua Dewan Gereja Katolik Tritunggal Mahakudus.
Hari mulai gelap. Tepat pukul 18.00, lampu-lampu gereja yang menyala diredupkan ketika prosesi simbolis barisan anak-anak Yesus Kristus mulai masuk ke gereja membawa lilin. Suasana khidmat terasa tatkala iringan puji-pujian dilantunkan di ruang hening di dalam gereja itu.
Boleh dibilang, apa yang dirayakan di gereja Katolik tertua di Bali pada 24 Desember 2016 itu sebetulnya sama dengan misa lain umat Katolik di pelbagai tempat dalam merayakan Natal. Namun misa itu terasa cukup istimewa karena berlangsung di Tuka, desa adat yang kental dengan tradisi Hindu Bali.
Tuka merupakan desa adat yang mayoritas warganya memeluk Katolik. Dari 250 keluarga atau 1.508 jiwa yang menghuni desa itu, 80 persen warganya beragama Katolik, 30 keluarga Hindu, 3 keluarga Kristen Protestan, dan 1 keluarga Islam. Lazimnya desa adat di Bali, di Tuka, yang memiliki luas sekitar 2.357 meter persegi, juga terdapat Pura Desa, Dalem, dan Puseh.
Menurut Darmadi, meski mayoritas warganya pemeluk Katolik, mereka tetap mempertahankan tradisi. Di Tuka ada inkulturasi, penyesuaian unsur luar dengan tradisi lokal. Itu terlihat dari penampilan anggota jemaat misa malam Natal yang sebagian besar mengenakan pakaian adat Bali.
Bukan hanya itu. Sehari menjelang Natal, pepenjoran (sebutan umat Katolik Tuka untuk penjor) terpasang di depan rumah mereka dan di gereja. Penjor—biasa dipasang saat perayaan Galungan dan Kuningan dalam tradisi Hindu Bali—terbuat dari bambu yang dihiasi janur dan kain warna kuning-putih. Dalam penjor itu terdapat simbol swastika dan di bawahnya terpasang sanggah bambu sebagai tempat banten (sesaji).
Adapun pepenjoran dalam perayaan Natal dibuat berbeda, tidak dihiasi simbol swastika dan di bawahnya tak dipasang sanggah bambu untuk tempat sesaji. Empat pepenjoran yang menghiasi gereja berdampingan dengan umbul-umbul bergambar salib. Ada juga panji-panji bergambar para santo. "Biasanya perayaan Natal identik dengan hiasan pohon Natal, di sini hiasannya pepenjoran," ujar Darmadi. "Di Tuka, tradisi Bali tetap menjadi keutamaan."
Selain memasang pepenjoran, dalam perayaan Natal itu warga Tuka membuat gegebogan, susunan rangkaian makanan yang terdiri atas buah-buahan dan aneka kue. Gegebogan itu juga mirip dengan sesajen gebogan atau pajegan yang dibuat oleh umat Hindu Bali pada perayaan hari Galungan dan Kuningan. Namun empat gegebogan yang dipasang menghiasi altar dalam gereja itu susunan kuenya membentuk salib. "Itu kreasi yang membedakan dengan bentuk gebogan umat Hindu, makanya kami menyebutnya gegebogan," kata I Gusti Ngurah Bagus Kumara, tokoh masyarakat Katolik di Tuka.
Pepenjoran dan gegebogan, menurut Kumara, tak hanya dipersiapkan oleh umat Katolik. Mereka juga dibantu warga Tuka yang beragama lain. Begitu juga sebaliknya. Saat umat Hindu merayakan Galungan dan Kuningan, warga Katolik dan lainnya ikut membantu. Suasana toleransi dan jalinan persaudaraan dalam keberagaman pun mewarnai Tuka.
Suasana itu terlihat pada Sabtu siang menjelang perayaan Natal. Belasan laki-laki tua dan muda bergegas ke Gereja Tritunggal Mahakudus ketika mendengar kulkul (kentongan) berbunyi nyaring dari Bale Banjar Tuka. Mereka berkumpul untuk membantu membuat pepenjoran. Masing-masing dari mereka berbagi tugas. Ada yang menghias, mengiris janur, dan merangkai susunan pepenjoran.
Sedangkan para ibu di Tuka sibuk membuat gegebogan di gereja itu. Jemari Katarina Ni Nyoman Astini terampil membentuk potongan batang bambu untuk menancapkan buah-buahan pada susunan gegebogan. Perempuan 50 tahun itu tampak asyik menikmati kesibukannya sambil bersenda-gurau bersama delapan temannya. "Ini bukan sesaji, tapi untuk menghias altar," ujar Astini. "Kami orang Bali rasanya sepi kalau tidak ada gegebogan dalam perayaan ini."
Penyesuaian unsur luar dengan tradisi lokal juga terasa setelah misa Natal keesokan harinya. Pagi itu, seusai misa, I Made Pujiatma, 70 tahun, bersama istrinya, Yulia Mukianti, 69 tahun, asal Yogyakarta, nyekar ke permakaman Tuka. Made yang berpakaian adat Bali menyalakan lilin di atas makam dua orang tuanya, Maria Ni Wayan Nampek dan Yosef I Ketut Sadra, serta adiknya, Lucia Ni Nyoman Petris. "Lilin sarana berdoa lambang kehadiran Tuhan sebagai terang dunia," kata Made.
Sehari sebelumnya, Made membuat punjung. Namun punjung itu tidak ia bawa ke makam. Ia menyajikan punjung yang berisi buah-buahan, bunga, kue, kopi, dan foto anggota keluarganya yang sudah meninggal di rumahnya. "Kami angkat nama mereka yang sudah mendahului, lalu kami doakan kepada Tuhan," ujarnya.
Adapun Agustinus I Wayan Sudarsana, 42 tahun, membersihkan dua makam yang akan ia doakan, yaitu anaknya, Maria Ni Komang Trismayanti, dan ayahnya, Norbertus I Wayan Dendra. Wayan tidak menggunakan pakaian adat Bali, tapi membawa canang yang dimaknai sebagai punjung ke permakaman. Ia meletakkan canang yang diberi kue nagol dan permen itu di atas makam. "Ini bukan anjuran Katolik, tapi mengikuti tradisi leluhur kami dulu, orang Hindu Bali," tuturnya. "Canang digunakan untuk menambah keindahan dan kelestarian tradisi Bali."
Begitulah. I Gusti Ngurah Darmadi menuturkan, dalam perayaan Natal, ia berharap Tuka bisa menjadi gambaran tentang jalinan persaudaraan dalam keberagaman. Mengingat situasi Indonesia belakangan ini yang dilanda isu keagamaan dan teror. "Tuka adalah satu contoh kecil bagi Indonesia yang besar ini bahwa perbedaan itu sebenarnya merupakan sebuah kekuatan," ucap Darmadi.
Kisah masuknya Katolik di Tuka terjadi dalam rentang waktu 1931-1936. Menurut I Gusti Ngurah Bagus Kumara, itu bermula ketika seorang warga Banjar Untal-Untal, Nyoman Rijin, bertemu dengan Pendeta Chang Kam Foek atau dikenal sebagai Tsang To Hang, yang tinggal di Denpasar.
Pertemuan singkat itu adalah kesan awal Rijin mengenal seorang yang menganut Kristen Protestan. Lantaran tergugah, Rijin menceritakan pertemuannya itu kepada balian yang dikenal sakti, I Made Gepek, di Desa Buduk, Kecamatan Mengwi.
Kabar itu membuat Gepek tertantang menguji Chang, yang dianggap mempunyai kemampuan kanuragan. Walhasil, sempat dicoba, tidak berpengaruh bagi Chang. Made Gepek merasa heran sehingga memutuskan untuk mengenal Chang lebih dekat. "Awalnya motivasi bukan pengikut Kristus, tapi ingin mencari ilmu dari Chang," kata Kumara.
Gepek kemudian mengajak 11 teman-temannya. Chang mempersiapkan ke-12 orang itu masuk Kristen Protestan. Di antara teman-teman Gepek itu, ada dua orang petani yang berasal dari Tuka, yaitu I Made Bronong dan I Wayan Diblug.
Bronong dan Diblug sempat menjalani pendidikan penginjil di Gereja Kemah Injil Makassar. Setelah kembali ke Bali, mereka berdua diberi tugas oleh Chang untuk memperkenalkan Kristen Protestan. "Bronong di Tuka, sedangkan Diblug di Desa Gumbrih, Kabupaten Jembrana," ujar Kumara.
Namun, pada 1934, Chang diusir oleh Belanda karena ajarannya dinilai terlalu keras dan kaku. Saat Chang sudah tidak di Bali lagi, Made Gepek kemudian kembali ke Hindu. Sisa pengikut Chang ada pula yang bergabung dengan Kristen Jawi Wetan. "Ada juga yang tetap Kristen Protestan, tidak ikut ke mana-mana, menunggu kedatangan pendeta lain," katanya.
Menurut Kumara, saat itu Bronong dan Diblug kadang mengisi waktu luang sambil berjualan buku-buku agama Kristen Protestan di Denpasar. Saat berjualan, secara tidak sengaja mereka bertemu dengan pastor asal Belanda, Yohanes Kersten. Pastor Kersten berada di Indonesia untuk melayani orang-orang Belanda yang tinggal di Bali. "Saat itu Pastor Kersten heran ada orang Bali beragama Kristen Protestan," tuturnya.
Kersten kemudian berbincang dengan Bronong dan Diblug. Ketika sang pastor yang juga ahli kebudayaan dan sastra Bali menjelaskan ihwal ajaran sakramen lewat pendekatan kebudayaan, dua orang itu tersentuh. Bronong dan Diblug tertarik masuk Katolik. "Dari dua orang inilah cikal-bakal agama Katolik masuk ke Tuka," ujarnya. Kumara menambahkan, dua orang pertama di Bali yang dibaptis menjadi Katolik adalah dua anak Bronong, yaitu I Wayan Regig dan I Made Rai, pada 6 Juni 1936.
Pada 1937, dibangun gereja Katolik pertama di Bali di Tuka. Gereja pertama itu diberi nama "Satu Allah Tri Murti" (kini bernama Gereja Tritunggal Mahakudus) dan segera menjadi titik sentral penyebaran agama Katolik di Bali. Sejak gereja itu berdiri, jumlah umat Katolik di Desa Tuka terus berkembang.
Sejak itu pula keyakinan di Tuka mulai beragam. "Warga Katolik di sini adalah krama wed (penduduk asli)," kata Bendesa Adat Tuka I Wayan Dana, 71 tahun. Menurut Dana, meski dia beragama Hindu, dalam keluarganya bercampur dengan Katolik. "Ayah saya tujuh bersaudara, enam lainnya Katolik," ujarnya.
Kendati hidup dalam keluarga yang berbeda keyakinan, menurut Dana, tidak pernah terjadi perselisihan di antara mereka. "Kami tetap rukun saling bantu. Terasa tidak ada yang beda," katanya.
Antropolog Universitas Udayana, I Gusti Ketut Gde Arsana, mengatakan pola toleransi lintas agama di Tuka tumbuh bukan hanya karena kesadaran satu garis keturunan yang sama. Tapi itu juga karena latar belakang kehidupan warga desa tersebut yang terbentuk pada masa lampau sebagai masyarakat agraris.
Menurut Arsana, kebudayaan agraris membangun pola hidup kebersamaan yang kuat dalam masyarakat. "Kerja sama di antara mereka tidak mengenal perbedaan agama. Di sinilah masuk prinsip toleransi," ujarnya.
Karakter masyarakat agraris cenderung sosialis, sehingga membangun pandangan hidup yang terbuka. "Mereka mementingkan hubungan kerekatan sosial, dan biasanya menolak sikap individualistis," tutur Arsana. Latar belakang kebudayaan itulah, kata Arsana, yang menyebabkan hingga kini warga Tuka tetap hidup dalam balutan toleransi yang kuat meskipun berbeda agama.
Arsana menjelaskan, pola konversi agama warga Tuka bersifat melebur karena kehidupan masyarakatnya yang homogen. Perbedaan agama inilah yang menguatkan prinsip menyama braya (persaudaraan). "Bermacam-macam praktek hubungan sosial yang dijaga itu untuk kembali dalam kebudayaan (Bali)," ujarnya.
Interaksi kekerabatan, menurut Arsana, salah satunya dibangun lewat tradisi ngejot. Ini merupakan tradisi mengantarkan makanan kepada umat yang berbeda agama ketika salah satu merayakan hari raya. Hal itu juga bisa ditinjau dari penggunaan pepenjoran dan gegebogan dalam perayaan Natal. "Itu inkulturasi, jadi penyesuaian dari luar dengan unsur lokal, sehingga terhindar dari benturan budaya," kata doktor di bidang antropologi agama itu.
Masyarakat Bali, menurut Arsana, memiliki sebuah etos yang meyakini perbedaan sebagai keniscayaan. "Nilai itu tecermin dalam Desa Kala Patra, sehingga unsur inilah yang melukiskan mozaik yang membuat toleransi," ujarnya.
Bram Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo