Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tatkala Sarkiem, Wakiem, Sukia Menari di Paris

Helly Minarti menelusuri sejarah orientalisme dalam tari lewat pameran arsip. Mengkritik cara pandang terhadap budaya sendiri.

13 Februari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMPAT gadis Jawa itu segera menjadi perbincangan di Paris pada 1889. Mereka baru saja mementaskan tarian Jawa. Tubuh mereka yang mungil dan kulit yang segelap perunggu menjadi sesuatu yang eksotis bagi masyarakat Paris saat itu.

Pakaian mereka, dengan lengan dan bahu terekspos, dianggap aneh. Begitu juga langkah-langkah mereka yang bebas alas kaki. Perempuan-perempuan di Paris menatap mereka. Seorang laki-laki bahkan mendekati mereka dengan kaca pembesar.

Mural di Galeri Salihara, Jakarta Selatan, melukiskan kegemparan di Paris pada masa itu. Mural ini sesungguhnya merupakan replikasi yang digambar ulang dan diperbesar dari karya Émile-Antoine Bayard, ilustrator kondang di Paris saat itu, dalam Edmond de Goncourt Nomor 27 yang terbit pada 17 Agustus 1889.

Sejak dua pekan lalu, mural ini merupakan salah satu obyek dalam pameran arsip yang dikuratori Helly Minarti di Galeri Salihara. Helly, kurator independen yang juga menjabat Ketua Bidang Program Dewan Kesenian Jakarta, tengah melakukan riset panjang tentang sejarah tari di Indonesia. Pameran bertajuk "Menatap Sang Liyan" ini merupakan penelitian separuh jalan yang bermula dari disertasinya, "Modern and Contemporary Dance in Asia: Bodies, Routes and Discourse", untuk memperoleh gelar doktoral dari University of Roehampton, London, pada 2014.

"Saya berharap pameran ini dapat menjadi sebuah ajang untuk memulai diskusi dan wacana tentang seni tari di Indonesia," kata Helly. Dibandingkan dengan seni rupa atau seni teater, seni tari memang paling sedikit diperbincangkan dalam komunitas seniman Indonesia.

Berdasarkan penelitian Helly, jauh sebelum Eko Supriyanto—ketika menjadi penari latar Madonna—membangkitkan rasa ingin tahu dunia terhadap dunia tari Indonesia, lama sebelum Bagong Kussudiardja mewakili Indonesia untuk pentas di Amerika Serikat, ada empat gadis penari asal Indonesia yang lebih dulu mencuri perhatian dunia. Mereka adalah Sarkiem, Tamina, Sukia, dan Wakiem.

Masyarakat dunia mengira mereka adalah putri-putri Mangkunegara. Padahal, "Mereka adalah gadis-gadis biasa asal Wonogiri," ujar Helly. Mereka dibawa untuk menarik perhatian massa di Paviliun Hindia Belanda dalam pameran komoditas di Paris. Paviliun itu dibangun layaknya desa Jawa, lengkap dengan pendapa, penduduk, dan ternak. Setiap malam, empat gadis belia itu menari dan menarik perhatian massa hingga enam bulan lamanya. Inilah pertama kalinya penari Indonesia tampil di luar negeri.

Bagi masyarakat Eropa, empat gadis itu adalah sang liyan, sesuatu yang berbeda. Segala tentang mereka adalah segala yang lain, yang menarik minat Barat, menimbulkan rasa ingin tahu. Sampai-sampai, dalam ilustrasi Bayard, seorang lelaki perlu memakai kaca pembesar untuk mengamati mereka.

Ini adalah masa ketika Barat menggandrungi Timur dengan menempatkan diri lebih tinggi daripada Timur. Barat menerjemahkan budaya Timur dari pikiran dan imaji khayali Barat sendiri. Orientalisme, kalau meminjam istilah yang dikemukakan Edward W. Said pada 1976.

Toh, sejarah tari di Indonesia, dan Asia pada umumnya, tak bisa dipisahkan dari orientalisme. Amati saja tiga seri film hitam-putih yang diproyeksikan di dinding galeri ini. Film-film itu merupakan potongan rekaman perjalanan Ruth St. Denis, Ted Shawn, dan kelompok tari mereka, Denishawn, dalam tur Oriental. Ini terjadi pada 1925. Satu setengah tahun lamanya mereka melakukan perjalanan ke Asia, mempelajari budaya dan tari serta bertemu dengan orang-orang. Tur ini kelak membentuk mereka sebagai pelopor tari modern Amerika Serikat.

Dalam film itu, St. Denis begitu sumringah menerima kostum opera di Cina dan mencobanya. Ada gambar-gambar becak yang direkam secara candid oleh penari Denishawn, rekaman gajah, dan rekaman saat di kuil. Ada juga rekaman St. Denis menari sebagai Radha, kekasih Dewa Krisna dalam mitologi Hindu. Sementara itu, pasangannya menari sebagai Siwa. Keduanya memang tak paham betul soal teknik tari Asia, tapi kostum yang dikenakan adalah benar kostum India.

Di sudut lain, foto Vaslav Nijinsky dan Jean Borlin, dua penari balet pria paling terkenal pada awal abad ke-20, diperbesar hingga memenuhi dinding galeri. Nijinsky dari kelompok Ballets Russes dan Borlin dari Ballets Suédois masing-masing menari sebagai Krisna dalam Le Dieu Bleu dan Pangeran Siam dalam Danse Céleste. Balet, pertunjukan tari yang sangat berkelas pada awal abad ke-20, juga tak lepas dari unsur orientalisme.

Ada puluhan arsip yang dikumpulkan Helly dalam pameran ini. Antara lain dari New York Performing Arts Library, French National Library, The Eye Museum (Amsterdam), Dansmuseet (Stockholm), dan Gaumont Pathe (Paris). Salah satu yang mencolok adalah rekaman kemeriahan pameran komoditas di Paris pada 1900. Rekaman yang aslinya berdurasi 20 menit ini hanya ditayangkan selama 2 menit. "Kami membeli dari perusahaan pemilik rekaman, dan harganya cukup mahal," kata Helly. Lelaki dengan topi kap, perempuan dengan payung, kereta-kereta kuda, dan segala elemen modernitas dari kereta api, jembatan, tongkang, dermaga, hingga kapal ada dalam rekaman itu.

Lalu ada rekaman Pameran Dunia di New York, Amerika, pada 1964 dan rekaman Shanghai Expo tahun 2010. Helly agaknya ingin menampilkan perubahan cara pandang terhadap Timur. Dalam Shanghai Expo, arsitektur paviliun Republik Rakyat Cina didesain laksana "Mahkota dari Timur" dengan kisi-kisi rumit istana kaisar pada dinasti awal. Tapi, bila dipandang dari atas, paviliun ini lebih seperti piring terbang aneh dengan empat tongkat yang sangat jauh dari warisan arsitektur Cina. Ketika pada masa lalu Barat menganggap Timur sebagai sang liyan, mungkin kini Timur pun me-liyan-kan dirinya sendiri.

Arsip-arsip Helly membawa pengunjung kembali ke Paris pada 1931. Paris saat itu adalah ibu kota dunia, simbol modernitas dan kemajuan. Di sana kelompok gamelan dan tari dari Desa Pliatan, Ubud, Bali, tampil dalam Pameran Kolonial Paris. Pameran itu merupakan ajang untuk memamerkan eksotisme daerah koloni. Pementasan ini kelak menginspirasi teaterawan Prancis, Antonin Artaud, menulis Theatre and Its Double, kumpulan esai tentang teater yang kemudian dianggap sebagai salah satu rujukan teater kontemporer dunia.

Di Indonesia, orientalisme mendorong penciptaan tari kecak. Tiga televisi layar datar yang dipajang di lantai galeri menampilkan secuplik kisah itu. Bermula dari rekaman tahun 1925 yang menampilkan dua gadis cilik Bali menarikan tari Sanghyang Dedari di pura dalam.

Menurut mereka, tarian ini merupakan ritual menangkal bala bagi penduduk desa. Dua gadis kecil yang belum pernah belajar menari ditidurkan oleh nyanyian kor para wanita hingga mencapai kondisi trance. Dalam keadaan itu, keduanya lalu menarikan tari legong dengan gerak yang sama persis. Rekaman itu kemudian menunjukkan bagaimana, setelah menari, dua gadis itu disadarkan dari keadaan trance.

Seni tari, bagi banyak komunitas adat, bukan seni pertunjukan, melainkan pola hidup dan khazanah lokal. Ketika Sanghyang Dedari mempesona Walter Spies, pelukis-musikus Jerman, lahirlah tari kecak. Helly menduga bahwa Spies, dan kemungkinan besar Katherine Mershon, koreografer Hollywood, mendorong I Wayan Limbak menciptakan tari kecak. Helly memamerkan rekaman kecak Ramayana yang dimainkan di Pura Uluwatu saat matahari terbenam. Pada 1938, tari kecak dipentaskan untuk menarik perhatian turis.

Kritik untuk pameran ini terletak pada penerjemahan yang kurang akurat yang berpotensi mengaburkan konteks. Dalam pameran ini, misalnya, Helly menyebut pameran komoditas pada 1889 itu sebagai Pameran Kolonial. Pameran itu lebih tepat disebut sebagai Pameran Buana, mengacu dari kata "exposition universalle", pameran komoditas yang digelar bersamaan dengan perayaan 100 tahun pembebasan penjara Bastille. Berbeda dengan Pameran Kolonial Paris pada 1931 yang mengacu dari kata "exposition coloniale international".

Sebelum dipamerkan di Salihara, arsip-arsip ini dipamerkan di Asia Culture Theater di Gwangju, Korea Selatan, pada Oktober 2015. Di Salihara, pameran ini bisa disaksikan hingga 28 Februari 2017.

Amandra M. Megarani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus