Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan Presiden Joko Widodo memberikan grasi kepada Antasari Azhar menerbitkan wasangka. Terpidana kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, ini merasa dizalimi di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kini Presiden Jokowi terlihat memanfaatkan hak prerogatifnya buat menyudutkan Yudhoyono, yang masih berpengaruh secara politik.
Kesan itu sulit dihindari mengingat ada semacam dramatisasi seputar pemberian grasi. Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ini sering mengungkapkan bahwa kasus yang menjerat dirinya merupakan rekayasa. Ia juga sempat diundang ke Istana Merdeka oleh Jokowi. Antasari, yang divonis 18 tahun penjara, sudah menjalani pembebasan bersyarat saat diberi grasi berupa pengurangan hukuman enam tahun. Sebelumnya, Antasari, yang menjalani hukuman sejak 2010, telah mendapatkan remisi empat setengah tahun, sehingga ia kini benar-benar jadi orang bebas.
Antasari pun mulai berbicara lantang. Ia pernah menyindir sikap Yudhoyono yang sering "berkicau" di media sosial mengenai masalah sosial-politik. Saat menghadiri hari ulang tahun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Januari lalu, Antasari mengatakan seharusnya Presiden RI ke-6 ini membantunya membongkar kasus pembunuhan Nasrudin ketimbang "cuit-cuitan" di media sosial.
Presiden Jokowi seharusnya menjauhkan diri dari kepentingan politik dalam memberikan grasi. Menurut konstitusi, pengampunan berupa peringanan atau pengurangan hukuman itu diberikan presiden dalam kapasitas sebagai kepala negara dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Penggunaan hak prerogatif presiden ini bisa tercemar bila dimanfaatkan untuk mengail keuntungan politik. Kesan yang kurang elok ini kian kentara karena belakangan kubu Jokowi dan Yudhoyono terlibat dalam pertarungan politik yang seru, terutama berkaitan dengan pemilihan Gubernur DKI Jakarta.
Keganjilan juga muncul dari sikap Antasari. Dengan mendapat grasi, secara tak langsung ia mengakui bersalah atas kasus pembunuhan Nasrudin. Padahal selama ini ia selalu menyatakan tidak terlibat, apalagi menjadi dalang pembunuhan pada Maret 2009 itu. Antasari telah mengajukan permohonan banding, kasasi, dan peninjauan kembali, tapi semua upaya hukum itu kandas.
Antasari kemudian memohon grasi—walau terlambat—setelah Jokowi menjadi presiden. Pihak Antasari bahkan perlu mengajukan uji materi atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi. Mahkamah Konstitusi kemudian mengabulkan keinginan Antasari mengenai penghapusan aturan bahwa grasi harus diajukan paling lambat satu tahun setelah terdakwa mendapat putusan tetap.
Dengan grasi berupa potongan hukuman, secara otomatis hak perdata Antasari pulih karena ia tidak berstatus narapidana. Tapi secara moral ia sulit mendorong pembongkaran kasus Nasrudin, yang masih meninggalkan banyak misteri. Di antaranya, apakah benar pembunuhan itu kasus rekayasa karena saat itu Antasari sebagai Ketua KPK terlalu berani mengusut korupsi, termasuk yang melibatkan Aulia Pohan, besan Yudhoyono. Tidak konsistennya sikap Antasari jelas merugikan upaya pengungkapan misteri pembunuhan Nasrudin.
Mudarat yang lebih besar bagi negara tentu saja karena adanya kepentingan politik di balik grasi. Presiden semestinya memberikan grasi dengan hati-hati karena menyangkut posisinya sebagai kepala negara. Wibawanya bisa luntur karena ada muatan politik dalam pemberian grasi kepada Antasari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo