Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Time is Up, Mister President

Kekecewaan kepada Presiden Abdurrahman memuncak. Satu-satunya yang bisa mencegah kejatuhannya hanyalah dukungan Megawati.

29 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Genderang perang itu ditabuh di mana-mana. Di gedung parlemen, di ruang seminar, dan di jalan-jalan. Berdentum-dentum dan semakin lama semakin keras. Sang musuh adalah Presiden Abdurrahman Wahid. Senin pekan lalu, ekonom Sjahrir mengangkat pedang dan menyatakan diri oposisi Abdurrahman. "Saya kini menjadi salah seorang yang ingin kekuasaan Gus Dur dihentikan secara konstitusional," kata Sjahrir.

Jika Sjahrir bersuara keras, rasanya memang ada yang penting. Ketika banyak orang sudah gerah dengan gaya kepemimpinan Abdurrahman, Sjahrir termasuk orang yang masih sabar. Dalam sebuah seminar tentang pemerintahan Abdurrahman beberapa bulan lalu, ia menyatakan Presiden masih perlu diberi waktu dan dipertahankan. Tapi kini dia berbalik.

Sjahrir tak sendiri. Pasukan lama penggoyang Abdurrahman semakin mengeraskan pekik kemarahan. Ketua MPR Amien Rais—orang yang tahun lalu menyokong Abdurrahman sebagai presiden—bahkan minta maaf karena merasa keliru telah memilih Abdurrahman. Sejumlah pengurus partai politik pekan lalu secara khusus menemui pimpinan Dewan Pertimbangan Agung dan meminta agar lembaga itu mengingatkan Presiden.

Gelombang kemarahan ini adalah babak kedua dari drama penggoyangan pemerintahan Abdurrahman Wahid. Agustus lalu adalah DPR yang berniat menggusur Abdurrahman melalui arena sidang tahunan MPR. Semula diharapkan pertemuan tahunan itu akan merekomendasikan sidang istimewa, yang akan menggusur Presiden. Tapi upaya itu gagal. Presiden dibiarkan tetap bertahan dengan syarat ia mau membagi kekuasaannya dengan Wakil Presiden Megawati dan merombak kabinet.

Tapi Oktober ini berbeda dengan Agustus lalu. Selain lebih banyak orang yang marah, dua bulan terakhir Presiden Abdurrahman telah menambah susunan dosanya. Fraksi Reformasi DPR pekan lalu telah mendaftar 21 dosa Abdurrahman, baik berkaitan dengan pernyataan-pernyataannya yang dinilai tidak produktif maupun berupa pelanggaran undang-undang. Di antara dosa itu adalah soal perestuan pengibaran bendera Papua, skandal Bulog, dan kontroversi pencopotan Kepala Polri Rusdihardjo.

Menurut Sjahrir, ada dua alasan mengapa ia kini kehilangan kesabaran. Pertama, pertemuan Presiden dengan terpidana kasus korupsi Tommy Soeharto yang menandakan lemahnya penegakan hukum. Kedua, pernyataan Abdurrahman yang akan menunda tuntutan hukum kepada tiga konglomerat pengutang uang negara—Sjamsul Nursalim, Marimutu Sinivasan, dan Prajogo Pangestu. Pembagian kekuasaan dengan Megawati, yang diharapkan mampu mengerem langkah politik Presiden yang kian kontroversial, terbukti juga tak jalan. "Realisasi keputusan pembagian kekuasaan itu sama sekali tidak ada," kata Alvin Lie, anggota DPR dari Partai Amanat Nasional.

DPR berharap agar Presiden mau mengundurkan diri dari kekuasaannya sebagai jawaban atas kinerja pemerintahan Abdurrahman yang buruk. Tapi Presiden menolak. "Kalau saya tidak mau mundur, mau apa?" katanya. Dengan pernyataan ini, menurut Alvin, pengunduran diri Abdurrahman hampir tak mungkin.

Karena itulah cara yang kini ditempuh adalah dengan menggunakan skandal Bulog dan sumbangan Sultan Brunei yang telah dibahas Panitia Khusus DPR. Jika rencana mulus, panitia ini akan memiliki hak untuk mengusulkan dilaksanakannya sidang paripurna MPR, yang bisa berakhir dengan sidang istimewa. Dalam sidang yang terakhir itulah nasib Abdurrahman akan ditentukan. Selain melalui skandal Bulog dan skandal Sultan Brunei, sidang istimewa juga akan diadakan dengan DPR mengeluarkan hak menyatakan pendapat dewan atas pencopotan dua menteri kabinet Abdurrahman, Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi.

Jika skenario ini berjalan, sesuai dengan konstitusi, Megawati yang akan dinaikkan ke kursi presiden. Pada 1999, Mega memang ditentang oleh Poros Tengah dan komunitas Islam. Tapi saat ini tampaknya lain. "Tidak ada masalah. Dulu Mega memang kurang dekat dengan kalangan Islam, tapi kini dia tentu akan berubah," kata A.M. Fatwa, salah seorang Ketua Partai Amanat Nasional.

Tapi, pertanyaannya, bisakah kali ini Abdurrahman benar-benar dijatuhkan. Alvin optimistis. Menurut dia, kegagalan menjatuhkan Abdurrahman Agustus lalu telah menjadi pelajaran berharga bagi banyak politisi DPR tentang makna kata merapatkan barisan. Ketika itu, faktor bagi-bagi jabatan memang menjadi isu utama. Negosiasi posisi kabinet telah membuyarkan konsentrasi para pengritik Presiden. Selain itu, lobi antarpartai juga lemah.

Itulah sebabnya, kini sejumlah politisi muda DPR dari berbagai fraksi yang tergabung dalam "Kelompok Koboi" semakin aktif menjalin lobi ke pentolan-pentolan partai. Pekan lalu, menurut seorang anggota kelompok ini, mereka telah bertemu dengan Ketua Golkar Akbar Tandjung. Sebelumnya, mereka juga telah melobi Ketua MPR Amien Rais.

Hasilnya? "Wajah Amien sumringah," kata sumber itu. Sedangkan menurut Ade Komarudin dari Partai Golkar, Akbar Tandjung menyatakan dukungan. "Selama konstitusional, silakan saja," kata Akbar seperti dikutip Ade. Dukungan yang sama juga datang dari Hamzah Haz, Ketua Partai Persatuan Pembangunan. Hamzah, menurut sumber itu, bahkan sempat datang ke rapat-rapat Kelompok Koboi (lihat Persekutuan Para Koboi). Itu mudah dipahami mengingat Hamzah pernah menyimpan kekecewaan kepada Presiden karena didepak dari kabinet.

Yang agak alot adalah PDI-P. Sejauh ini Megawati memang paling sulit diajak bergabung. Putri Sukarno ini memang menyimpan dilema. Jika dia menunjukkan sedikit saja upaya yang bisa ditafsirkan Presiden sebagai kehendak menggusurnya secara tidak konstitusional, Mega bisa mendapat nasib buruk. Dia bisa saja menjadi presiden pada waktu dekat, tapi Abdurrahman boleh jadi memukulnya dalam pemilu 2004. Dengan menggunakan sentimen keislaman, Ketua NU ini akan mudah memutar kemudi ke Poros Tengah. Dengan ditambah Golkar, pengelompokan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Poros Tengah ini akan bisa merontokkan perolehan suara PDI-P.

Itulah sebabnya, dalam pertemuan Kelompok Koboi dengan Taufik Kiemas—suami Megawati dan anggota DPR dari PDI-P—Jumat sore pekan lalu, tidak ada jawaban yang memuaskan dari kubu Wakil Presiden itu. Dalam pertemuan itu, Taufik cuma memberikan jawaban abu-abu. "Saya tidak menghalangi usaha kalian. Tapi jangan paksa saya mengkhianati Gus Dur," kata Taufik, seperti ditirukan seorang politisi yang hadir. Meski demikian, Taufik berjanji akan mempertemukan Kelompok Koboi dengan Megawati. Taufik Kiemas ketika dikonfirmasi membenarkan cerita ini.

Sikap PDI-P ini dibenarkan oleh sekretaris jenderal partai itu, Sutjipto. "PDI-P tidak akan ikut-ikutan. Kami sepenuhnya mempertahankan konstitusi lima tahunan," katanya kepada wartawan TEMPO Adi Sutarwijono. "Kalau sampai berlangsung pergantian kekuasaan di tengah jalan, otomatis mekanisme semacam itu akan rusak."

Tapi Kelompok Koboi percaya, Mega sebetulnya bisa diyakinkan. Bagaimanapun, PDI-P sesungguhnya bukanlah pemegang suara mutlak parlemen. Partai ini cuma menguasai 31 persen kursi DPR dan 27 persen kursi MPR. Artinya, jika melawan arus, Mega bukan tidak mungkin bisa tergilas. "PDI-P bagaimanapun harus berkoalisi dengan partai lain," kata Alvin. Syaratnya, semua partai di luar PDI-P dan PKB harus dalam satu kesatuan yang kukuh. Perkawinan PDI-P dan PKB hanya melahirkan 38 persen suara.

Bagaimanapun, Mega harus dibujuk. Soalnya, dia kini sedang mendapat banyak lamaran. Menurut Ketua NU Hasyim Muzadi, Selasa ini ia akan bertemu Megawati. Salah satu materi pembicaraan pertemuan itu adalah sikap NU yang akan mempertahankan pergantian kekuasaan melalui mekanisme pemilu lima tahunan. NU memperkuat dukungan kepada Abdurrahman tersebut dengan mengeluarkan fatwa ulama yang menolak penggantian presiden di tengah jalan.

Selain melalui jalur lobi, PKB dan NU tampaknya juga tengah mempersiapkan perang urat saraf. PKB mengancam akan terjadi bentrok massa jika Abdurrahman benar-benar dijatuhkan melalui sidang istimewa MPR. Menurut Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PKB, Choirul Anam, Pasukan Garda Bangsa—organisasi pemuda PKB—Jawa Timur sudah tak sabar menunggu perintah untuk berangkat ke Jakarta. Persiapan yang sama juga telah dilakukan oleh Barisan Serbaguna (Banser) Gerakan Pemuda Ansor provinsi itu. Keterangan ini diperkuat oleh M.H. Rofiq, Ketua Ansor Jawa Timur. "Kami mau tak mau harus melakukan konsolidasi kekuatan," katanya.

Abdurrahman Wahid sendiri tampaknya masih tenang-tenang saja. Ia bahkan menuduh semua serangan yang diarahkan kepadanya itu akan bermuara pada tuntutan pembagian kekuasaan dan materi. "Mereka itu semua UUD, ujung-ujungnya duit," kata Wakil Ketua Dewan Syuro PKB, Cholil Bisri, mengutip Abdurrahman.

Dengan pemikiran semacam itu, bukan tidak mungkin akhirnya Abdurrahman akan menggunakan strategi bagi-bagi kapling kekuasaan untuk meredam serangan. Tapi belum jelas kapling mana yang akan dibaginya. Merombak lagi kabinet rasanya terlalu riskan—mesti itu bukan mustahil dilakukan Presiden.

Harapan akhirnya disandarkan pada integritas anggota DPR dan partai politik. Semakin rapuh mereka atas godaan uang dan kekuasaan, semakin sulit kritik yang keras kepada Abdurrahman dilakukan. "Tidak mungkin. Kami tak mungkin dekat-dekat Istana," kata Alvin Lie.

Kita tunggu saja.

Arif Zulkifli, Andari Karina Anom, Adi Prasetya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus