Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kantor Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sofyan Djalil bertambah fungsinya. Ruangannya di lantai C Gedung Garuda, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, bukan lagi sekadar tempat kerja, melainkan mirip pusat pengumpul informasi data valuta asing (clearing house). Lewat dua monitor komputer berlayar lebar, perubahan mata uang asing milik perusahaan negara bisa terpantau dengan sekejap. ”Kini kami bisa memonitor langsung kebutuhan dan penggunaan dolar semua badan usaha negara,” kata Sofyan.
Pemantauan valuta asing milik perusahaan pelat merah merupakan bagian dari sepuluh kebijakan mencegah krisis keuangan di Tanah Air. Menurut kebijakan itu, semua perusahaan negara wajib melaporkan kebutuhan dan penggunaan valuta asingnya ke Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara. Keputusan pemerintah itu juga merupakan respons atas dampak krisis keuangan global yang dalam sebulan terakhir telah berimbas ke nilai tukar rupiah.
Pekan lalu seharusnya bisa menjadi masa tenang bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setelah menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Europe Meeting (ASEM) 22-26 Oktober di Beijing, Cina. Dalam konferensi itu, 43 negara di Eropa dan Asia bersepakat meredam krisis keuangan global. Tiga belas negara Asia juga menyiapkan US$ 80 miliar untuk melindungi mata uang di kawasan ini dari krisis.
Apa hendak dikata, efek jetlag dari Negeri Tirai Bambu belum sepenuhnya hilang, Yudhoyono sudah harus pontang-panting. Terjadi aksi borong dolar di pasar uang Jakarta pada Senin pekan lalu. Akibatnya fatal, rupiah merosot hampir seribu perak menjadi Rp 11 ribu per dolar. Bukannya mereda, kepanikan pelaku pasar malah menjadi-jadi pada keesokan harinya. Rupiah menembus Rp 11.850 per dolar dalam perdagangan sesi siang. Ini rekor terburuk dalam sepuluh tahun terakhir.
Siang itu, Yudhoyono langsung memanggil Gubernur Bank Indonesia Boediono, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Sofyan Djalil, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, dan tim ekonomi kabinet lainnya untuk membahas nasib rupiah. Sumber Tempo di Istana membisikkan, rapat itu mendadak. ”Seharusnya Presiden menghadiri acara peringatan Sumpah Pemuda di Taman Mini Indonesia Indah pukul 15.00.”
Seusai rapat, Sri Mulyani membacakan sepuluh kebijakan baru pemerintah untuk meredam krisis finansial. Salah satunya, mewajibkan semua badan usaha negara menempatkan valuta asing di bank dalam negeri lewat clearing house (lihat grafik). ”Ini untuk menjaga kesinambungan neraca pembayaran dan devisa negara,” katanya.
Guna membahas antisipasi krisis, Yudhoyono juga melakukan pertemuan dengan anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi, dan staf khusus Presiden, Rabu siang pekan lalu. Tak lama berselang, Presiden mengundang para pengusaha dan ekonom ke Istana. Ini pertemuan ketiga dalam sebulan terakhir sejak krisis finansial mendera Amerika Serikat.
Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia M.S. Hidayat yang hadir dalam acara itu menceritakan, pertemuan membahas solusi untuk memperkuat ketahanan ekonomi nasional dari serangan krisis finansial global. Presiden, katanya, juga meminta masukan untuk proposal yang akan disampaikannya dalam pertemuan negara industri maju anggota G20 untuk membahas krisis global pada 12 November mendatang.
Sayangnya road show Presiden dan kebijakan terbarunya belum membuahkan hasil. Pelaku pasar masih ragu atas upaya itu. Rupiah kembali loyo mendekati Rp 11 ribu per dolar. Akhir pekan lalu, rupiah ditutup di level Rp 10.800 per dolar, padahal sehari sebelumnya sempat menguat di level Rp 10.650. ”Permintaan dolar dari luar negeri masih tinggi,” kata praktisi pasar uang Bayu Aini.
Terpuruknya rupiah atas dolar dalam satu bulan terakhir disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Dari dalam negeri, investor asing terus melepas aset dan portofolio investasinya di Indonesia, seperti surat utang negara (SUN), Sertifikat Bank Indonesia (SBI), termasuk saham. Mereka lalu menempatkannya ke dalam dolar. ”Permintaan dolar tinggi. Tapi ketersediaannya langka, sehingga nilai dolar naik,” kata ekonom Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan.
Data Departemen Keuangan menunjukkan, kepemilikan investor asing atas surat utang negara terus menurun. Pada September lalu masih Rp 106 triliun, tapi pada 28 Oktober tinggal Rp 93 triliun. Laporan Citigroup menyebutkan, kepemilikan investor asing pada Sertifikat Bank Indonesia dan surat utang negara turun US$ 2,1 miliar.
Bank sentral sebenarnya juga berusaha menahan kejatuhan rupiah. Bank Indonesia pada 13 Oktober telah menurunkan giro wajib minimum valuta asing dari 3 persen menjadi 1 persen. Dengan pelonggaran kebijakan itu, ada tambahan pasokan dolar dari perbankan US$ 721 juta. Bank Indonesia juga melonggarkan giro wajib minimum rupiah dari 9 persen menjadi 7,5 persen untuk menolong perbankan dari kesulitan likuiditas. Pelonggaran aturan cadangan wajib rupiah telah menambah duit segar di pasar uang sekitar Rp 60 triliun.
Rupanya permintaan atas dolar begitu tinggi. Pasokan dolar hasil pelonggaran cadangan wajib valuta asing perbankan tetap tak bisa menahan penurunan tajam rupiah. Padahal Bank Indonesia sendiri juga sudah mengguyur pasar dengan US$ 4,1 miliar.
Sumber Tempo di Bank Indonesia mengungkapkan, ada beberapa pelaku pasar dan bank yang ”menyelewengkan” kelebihan likuditas setelah pelonggaran itu untuk membeli dolar. Seharusnya dana itu dipakai untuk menambahkan likuiditas bank atau diinvestasikan pada Sertifikat Bank Indonesia jangka satu bulan. ”Jangan heran kalau rupiah masih terus melemah,” ujarnya.
Gubernur Bank Indonesia Boediono membenarkan efek samping pelonggaran giro wajib minimum itu terhadap pelemahan rupiah. ”Ada kelebihan rupiah ketika cadangan wajib dilonggarkan. Itu artinya dana likuiditas bebas,” ujarnya di Istana Kepresidenan pekan lalu.
Faktor eksternal, yaitu krisis keuangan global, juga sangat berpengaruh besar merontokkan rupiah. Tapi rupiah tidak sendirian. Euro, pound sterling, dolar Australia, won Korea Selatan, rupee India, peso Filipina, dan baht Thailand juga sama-sama memble. Bahkan, menurut Fauzi, penurunan beberapa mata uang negara-negara di Asia lebih parah. ”Kita (Indonesia) malah lebih kecil penurunannya,” ujarnya.
Data Bloomberg menunjukkan, sampai akhir Oktober 2008, rupiah hanya melorot 15 persen dari semula Rp 9.338 per dolar pada 31 Desember 2007 menjadi Rp 10.800 pada 31 Oktober 2008. Tapi won sudah ambles 52 persen. Rupee melorot 26 persen. Peso dan baht tidak lebih baik daripada rupiah kita. Nasib euro dan pound sama buruknya, masing-masing turun 12 dan 18 persen. Hanya yen yang relatif stabil (lihat grafik).
Tahun ini dolar Amerika memang sedang digdaya. Ironisnya, penguatan itu terjadi ketika negeri itu sedang ambruk diterpa krisis finansial. Bangkrutnya Bear Stearns, Fannie Mae, Freddie Mac, Washington Mutual, dan Lehman Brothers ternyata tak membuat investor takut menginvestasikan uangnya ke Amerika.
Di tengah ambruknya nilai aset di dunia, dana dari emerging market, termasuk dari Asia, justru mengalir ke Amerika Serikat. Triliunan dolar diinvestasikan pada instrumen surat-surat berharga pemerintahan Bush. ”Salah satunya diinvestasikan pada treasury bond (surat utang jangka panjang pemerintah Amerika),” kata Fauzi. Efeknya, dolar semakin kuat.
Menurut ekonom Bank BRI Djoko Retnadi, limbungnya perekonomian tak membuat Amerika kehilangan kredibilitas, risiko perekonomian (country risk) negeri itu tak menurun. Mereka pun lebih senang memegang dolar ketimbang uang yang lain atau portofolio tertentu, karena merasa lebih aman. ”Dolar itu mata uang dunia. Semua kembali ke khitahnya memegang dolar,” ujarnya. Lagi pula, kata dia, ”Ke mana pun Anda pergi, pemegang dolar akan tetap dilayani.”
Penguatan dolar, kata Djoko, semakin menjadi-jadi karena para investor di pasar komoditas minyak bumi, batu bara, dan minyak kelapa sawit juga melepas portofolionya. Duit hasil penjualannya dibelikan dolar. Tak mengherankan, harga minyak dunia terus melorot dari US$ 147 per barel pada akhir Agustus menjadi US$ 64 per barel.
Pemerintah sudah pada jalur yang benar meredam dampak krisis Amerika. Dalam kurun waktu sebulan puluhan aturan di sektor keuangan dan riil dirilis. Mulai penghapusan aturan nilai wajar efek dari nilai pasar, menaikkan jaminan nasabah dari Rp 200 juta menjadi Rp 2 miliar untuk meredakan kecemasan nasabah perbankan dan investor di sektor keuangan, sampai payung hukum krisis ekonomi.
Upaya mati-matian pemerintah dan Bank Indonesia meredam krisis, terutama menjaga kejatuhan rupiah, bisa dipahami. Sebab, rupiah merupakan benteng terakhir pertahanan ekonomi negeri ini. Jika bobol, ekonomi bisa ambruk. Lihat saja pengalaman 1997-1998. Saat itu rupiah terjungkal lebih dari 600 persen, dari Rp 2.350-an mendekati Rp 17 ribu per dolar. Indonesia pun terjatuh ke dalam jurang krisis ekonomi selama lebih dari empat tahun.
Para analis dan ekonom sepakat, upaya menjaga rupiah agar tidak terus terpuruk merupakan suatu keniscayaan. Akan celaka dan berbahaya jika rupiah menembus Rp 15 ribu per dolar. ”Masyarakat bisa panik dan memburu dolar,” kata Fauzi.
Djoko juga berharap rupiah tidak sampai ke level Rp 15 ribu. Sebab, dampak lanjutannya bisa amat mengerikan. Harga barang industri berbasis impor akan melonjak, dan memicu kenaikan harga barang dan jasa lainnya. Lonjakan inflasi tinggi pun sulit dihindari. Buntutnya, daya beli masyarakat akan semakin merosot.
Pelemahan tajam rupiah juga tidak membuat industri berbasis ekspor untung karena permintaan menurun akibat pasar global lesu. Produksi industri pun terancam menurun. Jumlah tenaga kerja dikurangi dan pemutusan hubungan kerja massal tak terhindarkan. ”Pengangguran bisa melonjak tajam. Ini tidak baik bagi stabilitas ekonomi dan keamanan,” kata Djoko.
Setelah sepuluh kebijakan terbaru dirilis, Kementerian Badan Usaha Milik Negara berharap pengaturan dolar untuk perusahaan negara bisa meredam dolar. Dulu, menurut menteri Sofyan, hanya beberapa perusahaan yang wajib melaporkan penggunaan dan kebutuhan dolar ke pemerintah. Sekarang semua perusahaan negara wajib melaporkannya ke Kementerian.
Kewajiban penempatan dana valuta asing di bank nasional bukan pembatasan. ”Mereka tetap boleh memakainya,” katanya. Kementerian hanya memantau. Ini untuk mencegah spekulasi valuta asing dan penggunaan sempit yang merugikan kepentingan lebih besar.”
Pertamina, Sofyan mencontohkan, membutuhkan dolar US$ 1,5 miliar setiap bulan untuk mengimpor minyak mentah. Dengan total 158 perusahaan negara, jelas bahwa kebutuhan akan valuta asing lebih besar. ”Itu sangat signifikan mempengaruhi pergerakan kurs rupiah.” Pertamina kini hanya diizinkan membeli dolar lewat Bank Indonesia.
Ada atau tidak kontrol penggunaan valuta asing di badan usaha milik negara, para analis yakin, kejatuhan rupiah hanya sementara. ”Akan menguat lagi,” kata Bayu Aini. Sebab, fundamental perekonomian terbilang oke. Tahun ini cadangan devisa cukup baik, sekitar US$ 57 miliar. Laju inflasi juga relatif terjaga di 12 persen. Ekonomi pun masih tumbuh 6 persen. Tahun depan, pertumbuhan ekonomi diprediksi 6 persen.
Sebaliknya pertumbuhan ekonomi Amerika diprediksi hanya 3 persen. Defisit anggaran juga terus membesar menjadi US$ 1 triliun. Bunga sudah tak menarik karena hanya satu persen. Mestinya rupiah akan menguat lagi. Permasalahannya, tidak ada yang tahu pasti kapan itu bisa terjadi.
Padjar Iswara, Ismi Wahid, Amandra Megarani, Ninin Damayanti, Wahyudin Fahmi, Yugha Erlangga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo