Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dolar Tak Mampir di Glodok

Rupiah melemah, industri elektronik dan otomotif tersiksa. Kredit juga masih seret.

3 November 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepanjang pekan kemarin, Ian lebih banyak tercenung mengamati lalu-lalang pengunjung Plaza Pinangsia, Jakarta. Beberapa kali ada juga pengunjung yang mampir ke toko komputer miliknya, Live Computindo. ”Kebanyakan cuma tanya, jarang beli,” katanya. Dua bulan lalu, penjualannya bisa mencapai Rp 20 juta sebulan, tapi belakangan ini merosot tajam tinggal separuhnya.

Seratus meter dari Plaza Pinangsia, pedagang elektronik di Harco Glodok juga ”menjerit”. Fendy, penjaga toko Camera, cuma bisa bercanda dengan sesama pedagang. ”Bagaimana lagi, memang sepi banget,” katanya. Seperti di toko Ian, pembeli tak banyak lagi yang mampir di Camera. Sebulan terakhir, rata-rata sehari Fendy hanya mampu menjual tiga kamera digital. Padahal sebelumnya dengan gampang dia bisa menjual tiga kali lipat dari itu.

Sejak nilai tukar rupiah terus merosot, Glodok jadi sunyi. Ekonom Bank BRI, Djoko Retnadi, mengatakan bisnis elektronik menjadi sektor yang paling tersiksa akibat melemahnya rupiah terhadap dolar. Sebab, sekitar 77 persen komponennya masih diimpor. Itu sebabnya harga barang elektronik sangat sensitif terhadap perubahan nilai tukar. Dengan lunglainya rupiah, sudah bisa dipastikan harga barang elektronik bakal naik.

Itulah yang terjadi sepanjang pekan lalu ketika nilai tukar rupiah tumbang ke kisaran 11 ribu per dolar. Nilai tukar itu sudah jauh melewati batas psikologis Rp 10 ribu—yang biasa dipakai penjual elektronik. Ulah rupiah itu akhirnya juga membuat para pedagang kerepotan menentukan harga. ”Kami bingung karena nilai tukarnya terus berubah,” kata Budi Setiawan, General Manager National Sales & Marketing LG Electronics Indonesia.

Data dari Electronics Marketer Club memang menunjukkan penjualan barang elektronik mulai memasuki masa-masa sulit. Sejak Agustus lalu, nilai penjualannya terus melorot (lihat grafik). Konsumen barang elektronik, kata Santo Kadarusman, Manajer Promosi PT Hartono Istana Teknologi—produsen Polytron—sepertinya menunda pembelian menunggu rupiah kembali berotot.

Pembeli bisa menunda, tapi perusahaan tetap harus ”membuka tokonya”. Untung saja, perusahaan keluarga pemilik Djarum ini bisa sedikit bernapas lega karena rata-rata komponen lokalnya 70 persen. Bahkan beberapa produk, seperti televisi tabung dan mini-compo, hampir seluruhnya menggunakan komponen dalam negeri. Polytron juga sedikit tertolong karena sudah mengamankan pasokan komponen hingga Juni 2009. Polytron dan pemasoknya, menurut Santo, bersepakat mematok nilai tukar pada angka maksimal Rp 10 ribu per dolar.

Rata-rata pabrik elektronik sebenarnya juga menggunakan cara ini. ”Ada yang jangka waktunya sebulan, dua bulan, atau tiga bulan,” kata Stefanus Indrayana, yang bertahun-tahun bekerja di perusahaan elektronik. Yang jadi soal, bila nilai rupiah terus bertahan di atas 10 ribu setelah lewat freeze period tersebut, mau tidak mau mereka harus menaikkan harga.

Posisi industri elektronik memang serba susah. Tak hanya susah menjual di pasar domestik, mereka kerepotan menjual produknya di pasar ekspor. Ini terutama dialami perusahaan elektronik asing seperti LG, Samsung, atau Sharp, yang 20 persen hingga 40 persen produknya diekspor. Dalam satu-dua tahun ke depan, mereka memperkirakan permintaan barang elektronik dunia akan melorot.

Kendati cenderung bergerak turun, dalam jangka pendek, Indrayana justru memperkirakan melorotnya permintaan barang elektronik dalam negeri tak akan separah kejatuhan pasar ekspor. ”Orang cenderung beli jika memperkirakan harga bakal naik,” katanya.

Kerepotan serupa terjadi di bisnis jual-beli komputer. Apalagi, tidak seperti di industri elektronik yang masih memiliki kandungan lokal, di industri komputer hampir semua komponennya masih diimpor. Henkyanto Tjokroadhiguno, bos PT Megatronix Mitraniaga, penyalur komputer Dell, mengatakan tak banyak yang bisa mereka lakukan. ”Mau tidak mau mesti menaikkan harga,” katanya.

Tapi, kata Henkyanto, masih ada cara untuk menyiasatinya. Ia memilih cara menjual dengan sistem paket hemat. Cara itu tepat untuk menyasar para pembeli perorangan. Di saat sulit seperti sekarang, para penjual tidak bisa lagi mengandalkan pasar korporasi. Karena itu, ia yakin masih bisa mendapatkan pembeli. ”Secara umum, penjualan pasti turun 20-30 persen,” katanya.

lll

Industri otomotif senasib dengan bisnis elektronik. Bahkan bisa jadi posisi pabrik otomotif, terutama mobil, lebih sulit ketimbang pabrik elektronik. Selain terimpit tekanan nilai tukar rupiah, sebelumnya mereka sudah tercekik seretnya kredit. Terutama, kata Freddy Sutrisno, Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), karena 80 persen pembelian mobil di Indonesia dibiayai perusahaan pembiayaan dan 10 persen lagi didanai kredit perbankan.

Repotnya, perusahaan pembiayaan kini juga kesulitan mendapatkan dana murah di pasar uang. Obligasi yang dulu jadi andalan untuk mendapatkan dana murah kini makin mahal. Tarikan dari obligasi negara yang menjadi penyebabnya. Direktur Keuangan PT Adira Dinamika Multifinance, Hafid Hadeli, mengatakan surat utang negara kini menawarkan bunga 15 persen. ”Kalau obligasi kami mau laku, bunganya minimal 18 persen,” katanya.

Kredit dari perbankan sami mawon. Suku bunga pinjaman kini naik 3-5 persen dibanding awal tahun. Efeknya, bunga kredit dari perusahaan pembiayaan juga ikut naik. ”Sekarang sudah ada yang mendekati 20 persen untuk kredit mobil,” ujar Wiwie Kurnia, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia. Untuk kredit motor, kenaikan bunga ini barangkali tidak terlalu terasa. ”Paling cicilan bulanannya naik Rp 20 ribu,” Hafid menambahkan. Angka itu bakal berlipat bagi kredit mobil.

Akibat seretnya dana murah itu, Wiwie memperkirakan kredit yang mengucur dari lembaga pembiayaan akan terpangkas hingga 40 persen. Padahal sekitar 80 persen kredit dari perusahaan pembiayaan ini mengalir ke konsumen otomotif. Buntut dari persoalan ini sudah terlihat. Sejak Agustus lalu, penjualan mobil mulai turun.

Presiden Direktur Toyota Astra Motor Johnny Darmawan pun mengeluh. Perusahaan pembiayaan memang tak lagi mengobral kredit. Mereka juga kian ketat menyalurkan pinjaman. Persyaratan uang muka, misalnya, dinaikkan sampai 30 persen. Dulu, dengan uang muka 10-20 persen, konsumen sudah bisa membawa pulang kendaraan yang dibelinya.

Nah, dengan melemahnya rupiah, masalah baru muncul: harga mobil harus dinaikkan. Tapi ini seperti sudah jatuh ditimpa tangga pula. Pinjaman yang makin sulit dan harga yang naik membuat kian susah menjual mobil. Johnny mengatakan Toyota masih bisa mengerem kenaikan harga Toyota Avanza dan Innova karena komponen lokalnya tinggi, tapi sulit menahan kenaikan harga sedan. ”Menaikkan harga sih gampang, tapi apa gunanya kalau tidak ada yang membeli?”

Sapto Pradityo, Amandra Mustika Megarani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus