Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
UU Kesehatan hanya menyebutkan pemerintah mengalokasikan anggaran kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
Kementerian Keuangan menjamin kebutuhan anggaran kesehatan akan selalu terpenuhi.
WHO merekomendasikan belanja kesehatan 5-10 persen dari total belanja.
JAKARTA — Omnibus law Undang-Undang Kesehatan yang disahkan pada Selasa lalu menghapus ketentuan belanja wajib atau mandatory spending kesehatan. UU Kesehatan yang lama menetapkan belanja kesehatan di luar gaji minimal 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta 10 persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
UU Kesehatan terbaru kini hanya menyebutkan bahwa pemerintah pusat mengalokasikan anggaran kesehatan dari APBN sesuai dengan kebutuhan program nasional yang dituangkan dalam Rencana Induk Bidang Kesehatan dan menerapkan penganggaran berbasis kinerja. Meski demikian, Kementerian Kesehatan menjamin pemerintah akan mencukupi belanja kesehatan.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi berujar, berdasarkan hasil evaluasi pemerintah, pemberian batasan alokasi tertentu untuk mandatory spending tidak efektif, sehingga perlu diatur ulang. “Karena selama ini alokasi anggaran dulu, baru kegiatannya dibuat, bukan rencana yang komprehensif,” ucapnya kepada Tempo, kemarin, 12 Juli 2023.
Nadia menuturkan, setelah penerapan UU Kesehatan yang baru, pemerintah akan lebih leluasa mengalokasikan anggaran kesehatan di tingkat pusat maupun daerah. Pada Rancangan APBN 2024, kata dia, pemerintah mengalokasikan belanja kesehatan sebesar Rp 187,9-200,8 triliun secara merata untuk berbagai kebutuhan program prioritas.
“Fokus kami masih pada upaya preventif, vaksinasi, pencegahan stunting, pencegahan dan deteksi penyakit, ketahanan farmasi, dan alat kesehatan,” katanya.
Baca juga: Perlawanan Sebelum RUU Kesehatan Disahkan
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sebelumnya mengatakan, Kementerian Kesehatan mengusulkan mekanisme Rencana Induk Bidang Kesehatan lima tahun sebagai metode baru untuk menggantikan program mandatory spending. Menurut dia, berdasarkan pengalaman pemerintah, implementasi mandatory spending tidak 100 persen mencapai tujuan. “Tujuannya bukan hanya seberapa besar alokasi, tapi adanya komitmen anggaran dari pemerintah untuk memastikan program di sektor tertentu bisa berjalan,” ujar Budi.
Kementerian Kesehatan juga mengusulkan supaya Rencana Induk Bidang Kesehatan selama lima tahun ke depan diintegrasikan dengan sistem pemerintah daerah, kementerian/lembaga lainnya, termasuk dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang juga memiliki alokasi dana kesehatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. TEMPO/Subekti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Senada, Kementerian Keuangan memastikan anggaran kesehatan akan selalu dipenuhi meski sudah tak ada lagi aturan mandatory spending. Direktur Jenderal Anggaran Isa Rachmatarwata menuturkan, perencanaan anggaran kesehatan diharapkan semakin terukur, jelas, dan fleksibel.
Pasalnya, ketika terikat pada besaran mandatory spending, belanja sektor kesehatan cenderung kurang berkualitas karena banyak digunakan untuk hal-hal tidak perlu atau tak dibutuhkan. “Tidak usah khawatir kami tak akan mencukupi kebutuhan-kebutuhan itu. Kami hanya tidak ingin ketika sudah dialokasikan tapi ternyata tak bisa digunakan karena tidak tahu mau belanja apa,” katanya.
Terlebih, menurut Isa, dalam beberapa tahun terakhir, anggaran kesehatan tak pernah kurang dari 5 persen. Pada APBN 2023, misalnya, pemerintah mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar Rp 178,7 triliun atau setara dengan 5,84 persen dari total belanja APBN yang sebesar Rp 3.061,2 triliun. Sebanyak 47,8 persen atau Rp 85,5 triliun dari anggaran kesehatan itu diperuntukkan bagi Kementerian Kesehatan. “Dalam implementasinya, anggaran belanja kesehatan ternyata tidak benar-benar digunakan untuk kebutuhan pelayanan kesehatan,” kata Isa.
Ketidaktepatan belanja kesehatan pernah disinggung Presiden Joko Widodo pada bulan lalu. Ia mengaku menemukan penggunaan dana pencegahan stunting yang tidak tepat. Anggaran stunting ternyata lebih banyak digunakan untuk mendanai rapat, perjalanan dinas, dan program pengembangan. Sedangkan anggaran peningkatan gizi anak malah sedikit. Di lain kesempatan, Kementerian Kesehatan juga pernah menyentil penggunaan anggaran kesehatan untuk membangun pagar puskesmas, pembuatan seragam, dan pengerjaan gorong-gorong.
Langkah Mundur Transformasi Kesehatan
Penanganan medis di Puskesmas Tanah Kalikedinding, Surabaya, Jawa Timur, 1 Juli 2023. ANTARA/Didik Suhartono
Terlepas dari berbagai argumen pemerintah, penghapusan mandatory spending disesalkan banyak pihak. Direktur Eksekutif Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono mengatakan, hal ini merupakan kemunduran besar dalam transformasi kesehatan di Indonesia.
Pemerintah beralasan mandatory spending dihapuskan karena banyak pengajuan anggaran sekadar untuk memenuhi batas Rp 5 miliar atau Rp 10 miliar. Menurut Yusuf, alasan itu sulit diterima. “Tidak ada negara yang bisa membuat kemajuan besar dalam pelayanan dan jaminan kesehatan universal tanpa dukungan anggaran yang semakin besar,” katanya.
Yusuf Wibisono menyebutkan, mandatory spending sangat relevan dan akan selalu relevan dengan upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Merujuk pada rekomendasi WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), untuk negara berkembang, alokasi belanja kesehatan minimal 5-10 persen dari total belanja.
“Masalah anggaran tidak efektif adalah kegagalan reformasi birokrasi dan reformasi anggaran. Jangan kemudian masyarakat dikorbankan,” ujar Yusuf. Ia menilai mandatory spending merupakan mekanisme disiplin yang memaksa pemerintah pusat dan daerah agar selalu memberikan dukungan anggaran yang memadai untuk pembangunan kesehatan.
Ekonom dari Center of Reform on Economics Indonesia (CORE), Yusuf Rendy Manilet, berpendapat bahwa mandatory spending secara politik anggaran juga mengisyaratkan keseriusan pemerintah dalam membenahi masalah kesehatan. Secara bersamaan, pemerintah dapat menerbitkan petunjuk teknis yang lebih mendetail untuk membuat perencanaan anggaran kesehatan yang memadai sebagai acuan bagi pemerintah daerah dalam memenuhi kewajiban mandatory spending. “Kalau banyak alokasi anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya, harusnya dilakukan evaluasi dan diperbaiki, bukan kemudian ditiadakan.”
GHOIDA RAHMAH | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo