Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hingga satu deka-de lalu, fenomena robot memenuhi bangsal pa-brik hingga lobi kantor boleh jadi hanya muncul dalam adegan film fiksi ilmiah. Tapi imajinasi yang dulu hanya nongol dalam layar lebar itu kini mudah ditemui di dunia nyata. Sejumlah laporan riset internasional bahkan menyebutkan kinerja mereka jauh melebihi performa manusia.
Meski pengembangan robotik, kecerdasan ilmiah, dan pembelajaran mesin itu bisa menggantikan peran manusia, Menteri Ketenagakerjaan Muhammad Hanif Dhakiri tidak khawatir kehadiran revolusi industri 4.0 akan mengguncang pasar tenaga kerja. “Jangan berlebihan, karena nyatanya manusia tetap bisa survive menghadapi revolusi industri I-III,” kata Hanif saat ditemui, Selasa tiga pekan lalu.
Menurut Hanif, pemerintah telah lama memetakan ancaman revolusi industri jilid keempat ini. Apalagi perubahan informasi dan teknologi akan mengubah budaya industri dan pasar tenaga kerja. “Industri yang terus menua dan tidak cepat beradaptasi dengan perubahan akan tergerus secara perlahan,” ujarnya.
Bukan hanya guncangan bisnis yang terjadi. Nihilnya transformasi di era digital ini juga bakal membuat manajemen limbung. Akibatnya, pemutusan hubungan kerja besar-besaran mengancam dunia industri.
Robotisasi makin kentara ketika Federasi Robotika Internasional menyebutkan penjualan robot meningkat 20 kali lipat selama 2005-2015. Cina menjadi negara pembeli robot terbanyak lantaran penduduknya yang memasuki usia nonproduktif makin banyak. Tren upah tenaga kerja mereka membesar seiring dengan target kualitas produksi yang tinggi. Walhasil, penggunaan robot menjadi salah satu andalan.
Beberapa negara maju yang gencar mengintegrasikan teknologi robot dengan sektor manufaktur adalah Kanada, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat. Adapun negara berkembang yang aktif mengadopsi robot adalah Korea Selatan, Thailand, dan Taiwan.
Robot-robot di industri manufaktur itu “dilatih” melakukan pekerjaan yang mudah hingga sulit. Teknologi kecerdasan buatan memungkinkan robot membaca gerak bibir dengan tingkat akurasi hingga 95 persen. Seperti dikutip dari laporan New Scientist tentang kecerdasan buatan Google, nilai itu melebihi kemampuan membaca manusia, yang tingkat akurasinya hanya 52 persen.
Januari tahun lalu, McKinsey Global Institute juga meneliti lebih dari 2.000 aktivitas yang kira-kira dapat diotomatisasi melalui teknologi dari total 800 pekerjaan yang tercatat di Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat. Hasilnya: McKinsey memprediksi 49 persen aktivitas manusia dalam sejumlah pekerjaan bisa digantikan teknologi. “Aktivitas tertentu, seperti mengumpulkan atau memproses data, aktivitas fisik, dan pengoperasian mesin yang terukur, berpotensi tinggi mengalami otomatisasi,” begitu laporan riset McKinsey.
Dari penelitian berjudul “Masa Depan yang Bekerja: Otomatisasi, Pekerjaan, dan Produktivitas” itu, McKinsey menyatakan pekerjaan yang berhubungan dengan interaksi terhadap pengambilan kebijakan (pemerintah), keahlian membuat keputusan, perencanaan, tugas kreatif, dan pengelolaan sumber daya manusia justru tak mudah terganti oleh mesin.
Di sektor manufaktur, misalnya, pekerjaan dengan proporsi aktivitas fisik lebih banyak dan terukur, seperti pengelasan, pemotongan, dan pematrian, hampir 90 persen bisa terotomatisasi. Sedangkan tenaga kerja seperti operator mesin pemilah atau pemotong di sektor pertanian, pekerja gudang, agen perjalanan, serta tukang reparasi jam bisa dengan mudah tergantikan. Adapun di bagian pelayanan konsumen hanya 30 persen yang bisa di-alihkan ke robot.
Ketua Komite Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Asosiasi Pengusaha Indonesia Bob Azam mengatakan masyarakat tak perlu risau akan ancaman Internet of things dan kecerdasan buatan manusia. “Justru bisa membuka peluang agar industri lebih mempersonal-isasi pelanggan,” tuturnya. Ongkos yang mahal dalam gelombang kemajuan revolusi industri 4.0 ini tak serta-merta bisa diadopsi. Apalagi, dia menambahkan, sekitar 70 persen proses digitalisasi di perusahaan berakhir gagal.
Selain tenaga kerja tidak siap menjadi operator alat canggih, manajemen belum tentu siap melakukan perubahan tersebut. Bos PT Bogasari Flour Mills, Franciscus Welirang, membenarkan hal itu. “Kita harus memastikan dari hulu sampai hilir rantai itu siap. Tidak bisa langsung revolusi,” ucap Franky—sapaan akrabnya.
McKinsey menyebutkan hal serupa. Adopsi otomatisasi baik dari sisi perangkat keras maupun lunak membutuhkan waktu panjang. Jangka waktu adopsi teknologi hingga mencapai titik maksimum kemampuan komersial diperkirakan paling cepat sepuluh tahun.
Beberapa perusahaan telah berhasil menikmati manfaat ekonomi dari otomatisasi. PT Unilever Indonesia Tbk, misalnya, bisa memproses lebih dari 3 juta invoice secara otomatis melalui robot. “Ada peningkatan kecepatan dan akurasi. Kualitas hasilnya otomatis meningkat,” kata Direktur Supply Chain PT Unilever Indonesia Tbk Amparo Cheung Aswin.
Para pekerja yang digantikan robot digeser ke divisi pelayanan konsumen. Dengan begitu, perusahaan dapat lebih memahami kebutuhan pelanggan dan pasar. “Lebih baik mereka memanfaatkan waktu lebih lama untuk berbicara dengan customer,” ujar Amparo.
Data para pelanggan dan konsumen akan diolah dengan teknologi big data. Amparo mengungkapkan, dari data digital itu, perusahaan bisa memetakan pola atau tren khusus di sektor produksi, logistik, dan konsumsi. Unilever enggan menyebutkan nilai potensi ekonomi yang muncul dari pengalihan tenaga kerja ini.
Namun data McKinsey menunjukkan peningkatan efisiensi dan efektivitas dari pengalihan tenaga kerja ke mesin rata-rata sebesar 10-20 persen. Di sektor consumer goods, adopsi teknologi memberikan 20 persen peningkatan efisiensi. Di Bogasari, sejumlah pekerja justru dilatih ulang untuk menjadi operator pemrograman mesin. Dengan demikian, kata Franky, industri manufaktur tetap membutuhkan banyak tenaga kerja.
Meski terjadi perubahan jenis pekerjaan, Institut untuk Masa Depan—lembaga panel yang terdiri atas 20 perusahaan teknologi internasional, pengusaha, dan akademikus—menyebutkan 85 pekerjaan baru yang tak ada saat ini akan muncul pada 2030. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Ngakan Timur Antara mengatakan pekerjaan-pekerjaan ini umumnya berhubungan dengan teknologi dan Internet. “Seperti pengelola dan analisis data digital, serta operator robot untuk proses produksi di industri,” tutur Ngakan.
Wakil Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia I Dewa Gede Karma Wisana menilai, seiring dengan munculnya pekerjaan baru, hubungan industrial pekerja dan perusahaan akan berubah. Contohnya sopir Go-Jek. Setiap pengemudi adalah mitra kerja atau pihak ketiga, bukan pegawai PT Go-Jek Indonesia.
Undang-Undang Ketenagakerjaan, kata Dewa, sejatinya belum mengatur perlindungan hukum bagi mitra kerja (contingent- worker), terutama saat terjadi masalah usaha. “Ini berhubungan dengan perlindungan hukum,” ujarnya. Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyatakan disrupsi teknologi juga membuat jumlah pekerja sampingan meningkat. “Karena waktunya yang lebih fleksibel.”
Kementerian Ketenagakerjaan mulai menyiapkan jaminan sosial untuk mengantisipasi guncangan akibat perubahan pasar tenaga kerja. Menteri Hanif Dhakiri mengusulkan pemberlakuan jaminan sosial bagi para penganggur korban pemutusan hubungan kerja. Pemerintah juga sedang menyusun program uang tunjangan untuk pelatihan tenaga kerja. “Dua kebijakan ini masih dalam pembahasan dengan Kementerian Keuangan dan Bappenas,” tutur Hanif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo