Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendaraan mini berwarna oranye berseliweran di gudang pabrik PT Unilever Indonesia Tbk di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Kendaraan yang menyerupai fork-lift itu bergerak otomatis tanpa pengemudi. Salah satu komponen di belakang kendaraan bernama automated guided vehicle- (AGV) tersebut bisa bergerak naik-turun sendiri.
Menurut Direktur Supply Chain Unilever Indonesia Amparo Cheung Aswin, kendaraan dalam video yang ia tunjukkan itu berfungsi memindahkan palet-palet barang di pabrik tanpa intervensi manusia. Ampy—sapaan akrab Amparo—mengatakan AGV merupakan salah satu bentuk otomatisasi Unilever dalam rangka penerapan industri 4.0.
Dulu, kata dia, kendaraan itu memerlukan pengemudi. Setelah diotomatisasi, AGV bisa dikendalikan dari jarak jauh dengan bantuan sensor yang menempel pada kendaraan tersebut. Sensor itu dapat mendeteksi posisi AGV dengan memindai sensor yang dipasang pada dinding pabrik. “Jadi sudah jelas akan mengarah ke mana dan mengambil palet yang mana,” kata Ampy di kantornya di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Senin tiga pekan lalu.
Produsen es krim Wall’s ini juga menggunakan otomatisasi proses robotik atau robotic process automation untuk menjalankan aktivitas rutin. “Misalnya memproses faktur yang jumlahnya lebih dari 3 juta dalam setahun, sehingga lebih cepat dan akurat,” ujar Ampy.
Dalam proses logistik, Unilever juga mengembangkan platform Digital Logistics, yang dapat memantau lebih dari seribu pengiriman per hari secara real-time. Waktu pengiriman pun bisa diprediksi. Sejak platform ini dipakai, Unilever mengklaim waktu pengiriman menjadi 10 persen lebih cepat.
Perusahaan makanan dan minuman lain yang sudah menerapkan industri 4.0 adalah PT Bogasari Flour Mills. Perusahaan tepung terigu anak usaha PT Indofood Sukses Makmur Tbk ini sudah memakai mesin penggiling gandum berbasis industri 4.0. Tiga dari 15 line mesin penggiling yang ada sudah berbasis industri 4.0. “Tahun lalu line pertama sudah jalan. Tahun ini line kedua,” tutur Direktur Indofood Kepala Divisi Bogasari Franciscus Welirang di kantornya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis dua pekan lalu.
Menurut Franky—sapaan akrab Franciscus—sebelumnya, 120 mesin penggiling yang berada dalam satu line mesti dioperasikan satu per satu oleh operator. Dengan otomatisasi, seluruh perintah untuk menjalankan mesin kini diberikan menggunakan sebuah tablet yang terkoneksi dengan jaringan Internet. Ketika mesin bermasalah, notifikasi akan muncul di tablet itu. Sejak penerapan industri 4.0, kata Franky, kapasitas produksi satu line mesin penggiling meningkat dari 800 ton menjadi 1.200 ton per hari. “Dengan jumlah tenaga kerja yang sama, kapasitasnya lebih tinggi.”
Namun, Franky menambahkan, dibutuhkan proses yang panjang bagi perusahaan makanan dan minuman di Indonesia untuk benar-benar menerapkan industri 4.0. Saat ini masih banyak perusahaan berbasis industri 3.0, bahkan 2.0. Perusahaan pun mesti menyinkronkan sistem mesin yang baru dengan yang lama. Karena itulah, dia melanjutkan, belum semua mesin penggiling gandum milik Bogasari diganti dengan mesin berbasis industri 4.0. “Kalau hanya asal memindahkan, belum tentu bisa berjalan. Jadi tidak bisa seperti Aladin,” ujar Franky sembari menjentikkan jarinya.
Hingga kini, menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi Lukman, baru 20 persen perusahaan yang telah memasuki era industri 4.0. “Itu pun perusahaan besar. Padahal yang mendominasi sektor ini industri kecil dan menengah,” katanya di Jakarta International Expo, Rabu pertengahan Oktober lalu. Bahkan 70 persen usaha mikro dan kecil masih menerapkan industri 2.0. Dia mengungkapkan, dalam rantai nilai industri makanan dan minuman global, Indonesia memang tertinggal oleh beberapa negara Asia Tenggara lain, seperti Singapura, Thailand, Malaysia, bahkan Vietnam.
Adhi menilai Indonesia tidak kompetitif karena industri masih bergantung pada impor bahan baku. Regulasi yang ada pun mempersulit perusahaan dalam melakukan impor. Susu, misalnya. Sekitar 80 persen kebutuhan susu dalam negeri masih harus dicukupi dengan impor. Tapi, untuk mengimpor susu, perusahaan mesti memperoleh izin dari kabupaten, provinsi, Kementerian Pertanian, hingga Kementerian Perdagangan. “Ini menambah biaya. Jadi percuma kami memakai teknologi canggih kalau untuk mendapatkan bahan baku saja tidak mudah,” ucap Adhi.
Tantangan lain yang mesti dihadapi perusahaan adalah besarnya investasi untuk membeli teknologi tersebut. Teknologi itu pun dapat mengambil alih beberapa pekerjaan manusia, terutama aktivitas yang rutin. Karena itu, tenaga kerja mesti dikurangi, terutama di pabrik. Sejumlah pekerja yang dipertahankan dilatih untuk menerapkan teknologi tersebut. Adapun tenaga kerja yang tidak bisa beradaptasi dengan teknologi, mau tidak mau, mesti tergeser. “Inilah yang harus dicarikan alternatif oleh pemerintah,” kata Adhi.
Pemerintah sedang menggenjot program vokasi, bekerja sama dengan industri, untuk menjawab masalah rendahnya kualitas tenaga kerja. Adhi mengungkapkan, Kementerian Perindustrian memberikan bantuan dana kepada perusahaan yang mau menyelenggarakan program itu. Kementerian Perindustrian, dia menambahkan, juga tengah mengusulkan kepada Kementerian Keuangan agar perusahaan diberi insentif berbentuk super tax deduction sebesar 200 persen. “Jadi dua kali biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk program vokasi bisa digunakan untuk mengurangi basis pajak,” tutur Adhi.
Adhi menyebutkan Kementerian Perindustrian mengusulkan kepada Kementerian Keuangan agar perusahaan yang mengeluarkan biaya inovasi dalam rangka penerapan revolusi industri 4.0 juga mendapat super tax deduction. Nilai yang diusulkan 300 persen. Pemerintah juga akan memberikan subsidi kepada perusahaan yang menginvestasikan duitnya untuk teknologi industri 4.0.
Saat dihubungi pada Senin dua pekan lalu, pelaksana tugas Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono, mengatakan usul-usul tersebut sudah dibicarakan dengan Kementerian Keuangan. Namun, kata dia, angkanya belum diputuskan.
Kementerian Perindustrian juga sedang menyusun rencana aksi penerap-an industri 4.0 khusus di sektor makanan dan minuman. Tahun depan, Kementerian akan menggelar pelatihan ekspor, temu bisnis, dan promosi investasi. Kementerian juga berencana memfasilitasi industri dengan perangkat cyber-physical system untuk mengintegrasikan jaringan Internet of things dengan lini produksi. Adapun industri kecil-menengah akan difasilitasi untuk bekerja sama dengan perusahaan rintisan (start-up), seperti Tokopedia dan Bukalapak, agar mendapat akses pasar lebih luas.
Sigit mengatakan, dengan peningkatan produksi oleh perusahaan-perusahaan yang menerapkan revolusi industri 4.0, ekspor produk makanan dan minuman olahan bisa meningkat hingga empat kali lipat. Tahun ini, Kementerian Perindustrian menargetkan ekspor produk makanan dan minuman sebesar US$ 12,65 miliar. Pada 2025, ekspor diproyeksikan meningkat menjadi US$ 50 miliar. Pertumbuhan industri pun diprediksi meningkat. Pada triwulan II 2018, industri makanan dan minuman tumbuh 8,67 persen. “Lima tahun ke depan, pertumbuhan industri ditargetkan berada di atas 10 persen,” tutur Sigit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo