Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pesan 'Innalillahi' dan Jatuhlah Sanksi

Sejumlah langkah Taufiequrachman Ruki dinilai melemahkan komisi antikorupsi dari dalam. Ia menempatkan perwira-perwira yang dikirimkan Markas Besar Kepolisian RI pada sejumlah jabatan strategis. Ditengarai kerap "melapor" ke Menteri Luhut.

14 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JANGAN sok jagoan!" Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas menulis pesan itu di grup perbincangan WhatsApp, "Alumni C1 dan Teman2", pada 23 September lalu.

C1 merujuk pada alamat gedung komisi antikorupsi, Jalan HR Rasuna Said Kaveling C1, Jakarta Selatan. Anggota grup maya itu 51 orang mantan penyidik, eks penuntut, dan mantan pemimpin Komisi. Busyro menujukan pesan kerasnya buat pelaksana tugas Ketua KPK Taufiequrachman Ruki.

Busyro mempersoalkan sanksi berat untuk 28 pegawai komisi antikorupsi yang memprotes pelimpahan kasus Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung pada 4 Mei lalu. Para pegawai itu memajang tiga karangan bunga dukacita di depan kantor mereka. Mereka diberi surat peringatan ketiga atau terakhir. Peringatan untuk enam orang di antaranya ditambah dengan sanksi pemotongan seperempat gaji dan skorsing satu bulan.

Di dalam grup, Busyro meminta Ruki menjelaskan pemberian sanksi itu. Alih-alih memberi penjelasan, Ruki membela diri: "Saya sekarang bertugas membersihkan 'piring kotor'." Jawaban Ruki membuat Busyro geram.

Busyro membenarkan isi percakapan itu. Ia mengatakan mendapat informasi bahwa sanksi berat diberikan atas perintah Ruki. "Itu sanksi represif. Gaya kepemimpinan otoriter akan merusak KPK," katanya Kamis pekan lalu. Ruki mengklaim sebagian besar alumnus di grup WhatsApp tersebut setuju dengan pemberian sanksi.

Busyro tidak hanya sekali mengkritik Ruki. Ketika Ruki melantik Komisaris Besar Aris Budiman—sebelumnya Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI—sebagai Direktur Penyidikan, dan Ajun Komisaris Besar Setiadi, mantan Kepala Kepolisian Resor Tanah Laut, Kalimantan Selatan, sebagai Kepala Biro Hukum, pada 16 September lalu, ia melontarkan kritik keras. "Rekrutmen seperti ini mengancam independensi KPK," ujarnya.

Di grup percakapan, Ruki sama sekali tak merespons sentilan Busyro itu. Namun, seusai pelantikan keduanya, Ruki mengatakan Aris dan Setiadi terpilih melalui seleksi sangat ketat. "Proses seleksi panjang, baik kompetensi maupun potensi," kata Ruki, yang memimpin lembaga itu pada 2003-2007.

Mantan Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas juga kerap mengkritik Ruki. Selasa dua pekan lalu, ia mempersoalkan keputusan Ruki mendukung pemerintah merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dua pekan sebelumnya, dalam rapat dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Ruki secara terbuka menyetujui revisi undang-undang itu. Erry tidak membantah soal ini. "Itu kan percakapan terbatas," ujarnya.

Presiden Joko Widodo menunjuk Ruki sebagai pelaksana tugas pada 20 Februari, bersama pelaksana tugas wakil ketua Johan Budi S.P. dan Indriyanto Seno Adji. Mereka menggantikan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto—yang dihantam kriminalisasi setelah komisi antikorupsi menetapkan calon Kepala Polri, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, sebagai tersangka perkara suap dan gratifikasi—serta Busyro, yang periode kepemimpinannya berakhir pada Desember 2014.

Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang KPK, masa jabatan Ruki, Johan, dan Indriyanto berakhir setelah Dewan memilih pemimpin baru. Sedangkan periode kepemimpinan dua wakil ketua, Zulkarnain dan Adnan Pandu Praja, berakhir pada Rabu pekan ini. Komisi Hukum Dewan dijadwalkan baru akan merampungkan uji kelayakan sepuluh calon pada pekan ini.

* * * *

Ruki, Johan, dan Indriyanto sebenarnya bukan usulan KPK dan para pegiat antikorupsi sebagai calon pelaksana tugas. Menurut Johan Budi, ketika itu lembaganya mengirim tujuh nama. Zainal Arifin Mochtar, pegiat antikorupsi yang mengajukan calon ke Istana, memastikan Ruki bukan usulan mereka. "Pemimpin KPK dibatasi maksimal 65 tahun," kata Zainal, Kamis pekan lalu. Ruki saat itu telah berusia 68 tahun.

Menurut seorang pejabat Istana, Ruki diusulkan Luhut Binsar Pandjaitan, yang ketika itu Kepala Staf Kepresidenan. Luhut juga menghilangkan batas usia dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang KPK. "Luhut juga yang merekomendasikan Ruki untuk menjadi ketua sementara KPK," ujarnya.

Seorang pejabat di pemerintahan mengatakan, tak lama setelah pelantikan, akhir Februari 2015, ia mendampingi Luhut bertemu dengan Ruki di Bina Graha, Kantor Staf Presiden. Ketika itu, Luhut meminta KPK tidak perlu menari di atas genderang polisi dengan menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka dugaan rekening gendut. "Luhut yang meminta Ruki menyelesaikan soal itu," ujarnya.

Setelah dilantik, Ruki tancap gas bertemu dengan Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti di kantor di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, dan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo. Ruki membahas opsi pelimpahan perkara Budi Gunawan. Ia juga diam-diam bertemu dengan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Budi Waseso di Markas Besar Kepolisian RI, Jalan Trunojoyo, pada 25 Februari 2015.

Sepekan setelah pertemuan itu, KPK melimpahkan kasus Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung. Pertengahan Mei, Kejaksaan melimpahkannya ke Kepolisian, yang kemudian menghentikan perkara itu.

Luhut, kini Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, menolak berkomentar atas informasi yang menyebutkan dia meminta Ruki menyelesaikan perkara Budi Gunawan. Dia juga membantah mengusulkan Ruki menjadi pelaksana tugas ketua. "Ah, enggak pernah," kata Luhut di kantornya. Pada Februari lalu, Ruki mengatakan tugasnya di KPK adalah "menjadi pemadam kebakaran".

Setelah memimpin KPK, menurut pejabat itu, Ruki kerap bertemu dengan Luhut. Menurut dia, ketika menerima pimpinan dan pegawai KPK pada 10 Maret pukul 12.00 di Bina Graha—membahas rencana penandatanganan komitmen pengelolaan sumber daya alam dan kelautan 29 kementerian dan lembaga pemerintah—Luhut menceritakan soal Ruki yang datang setiap sore.

Johan Budi membenarkan adanya pertemuan di Kompleks Istana Kepresidenan pada 10 Maret itu. "Ketemu staf presiden saja. Presiden hadir pada acara penandatanganan itu," ujar Johan. Namun dia mengatakan tidak mendengar cerita Luhut yang mengaku sering bertemu dengan Ruki.

Ketika menerima mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md.; guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana; dan sejumlah tokoh antikorupsi di kantornya pada 16 September malam, Luhut seperti disebutkan seorang peserta menyatakan, "Enak Ketua KPK sekarang. Kalau ada apa-apa, lapor. Penangkapan pun lapor."

Seorang mantan menteri mengaku pernah melihat Luhut makan siang bersama Ruki di kantor Luhut pada awal Oktober lalu. Ia lalu diajak bergabung dan mendengar pembicaraan rencana revisi Undang-Undang KPK. Belakangan, kata dia, usul revisi Undang-Undang KPK sama persis dengan isi pembicaraan saat makan siang itu. Empat poin revisi itu menyangkut perlunya dewan pengawas, kontrol penyadapan, penyidik independen, dan kewenangan penghentian perkara.

Pada 15 Oktober lalu, Luhut ganti mendatangi kantor Ruki—keduanya satu angkatan di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, 1970. Ia menghadiri pelantikan tiga deputi baru. Salah satunya Deputi Penindakan, yang sebelumnya anak buah Luhut, yaitu Inspektur Jenderal Heru Winarko. "Alhamdulillah, Menko Polhukam meminjamkan salah satu staf ahlinya ke KPK," kata Ruki ketika memberi sambutan pelantikan. Sepekan berselang, Luhut diam-diam naik ke lantai tiga menuju ruangan Ruki melalui pintu samping.

Luhut tidak mau menanggapi soal punya misi tertentu ke Ruki. Tapi ia mengakui kerap bertemu dengan Ruki. "Dia teman saya, masak iya enggak boleh ketemu," ujar Luhut. Ruki tidak menjawab soal sejumlah pertemuannya dengan Luhut. "Yang pasti beliau memang sahabat saya sejak dulu."

* * * *

PELIMPAHAN kasus Budi Gunawan menjadi awal panas hubungan pegawai dengan pelaksana tugas Ketua KPK. Ruki mengancam akan melaporkan ke polisi para pegawai yang memprotes pelimpahan perkara itu dengan mengirim karangan bunga. Para pengirim dilacak dari nama pembayar di tempat pemesanannya. Dari situ terungkap percakapan di grup perbincangan pegawai.

Para pegawai anggota grup itu dikumpulkan Dewan Pertimbangan Pegawai, yang terdiri atas tiga deputi, pada Juni lalu. Namun Dewan Pertimbangan hanya menanyakan kronologi protes. Pada 23 September, 28 pegawai itu ternyata dijatuhi sanksi.

Seorang anggota grup yang hanya menulis "Innalillahi" di grup ketika perkara Budi Gunawan dilimpahkan ke Kejaksaan diberi surat peringatan terakhir. "Satu kali lagi membuat kesalahan, sekecil apa pun, langsung dipecat," kata seorang pegawai yang juga mendapat sanksi.

Sanksi itu langsung membungkam para pegawai yang dikenal kritis di lingkup internal KPK. Solidaritas di Komisi juga dibuat mati suri karena Ruki menutup pula akses mailing list lintas bagian di KPK. Petinggi wadah pegawai juga kerap ditelepon langsung Ruki jika mereka memberikan dukungan terhadap penyidik dan pemimpin KPK nonaktif yang akan diperiksa polisi. Belakangan, setiap kali penyidik senior Novel Baswedan dipanggil Kepolisian, dukungan dari lingkup internal pegawai hampir tidak ada. "Gaya seperti ini merusak budaya di KPK," ujar Busyro.

Langkah Ruki menempatkan figur-figur Kepolisian pada posisi strategis di KPK juga dianggap upaya melumpuhkan Komisi dari dalam. Menurut anggota Koalisi Kawal KPK, Ray Rangkuti, pos strategis yang kini diisi polisi, yakni Deputi Penindakan, Direktur Penyidikan, dan Kepala Biro Hukum, semakin membuat KPK tak bisa menyentuh kasus-kasus di Kepolisian. "KPK era Ruki serasa polisi," katanya.

Saat ini, menurut seorang pegawai KPK, Ruki juga berencana menempatkan perwira polisi pada posisi Direktur Penyelidikan dan Direktur Monitoring yang menangani penyadapan. Menurut pegawai itu, Ruki seperti menyiapkan sistem buat seorang calon komisioner dari pensiunan jenderal polisi yang memiliki dukungan kuat di DPR.

Di lingkup internal pimpinan, Ruki pun dianggap terlalu dominan. Jika empat pemimpin tak setuju, Ruki tetap jalan terus. Usul bahwa KPK bisa menghentikan perkara dalam revisi undang-undang ditentang empat wakil ketua. Tapi Ruki tetap menyetujui usul itu. Johan mengakui usul kewenangan penghentian perkara berasal dari Ruki pribadi, bukan institusi. Soal Ruki sangat dominan dibanding empat pemimpin lain, kata Johan, "Itu kan persepsi."

Menjawab berbagai tudingan itu, Ruki mengatakan, "Silakan saja menilai apa yang dikerjakan oleh orang lain."

Anton Aprianto, Muhamad Rizki, Reza Aditya, Linda Trianita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus