Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arif Afandi Restu Bos Besar
NIAT Pemimpin Redaksi Jawa Pos Arif Afandi, 42 tahun, mencalonkan diri menjadi Wakil Wali Kota Surabaya bukan sekadar keputusan sehabis bangun tidur. Setelah dilamar Bambang Dwi Hartono, calon wali kota dari PDI Perjuangan, orang pertama yang dimintai restu adalah Dahlan Iskan, bos besar Jawa Pos. "Saya tak mungkin mencalonkan diri tanpa persetujuan beliau," ujarnya kepada Kukuh Setyo Wibowo dari Tempo di sela-sela syuting iklan kampanyenya di J-TV, stasiun televisi milik Jawa Pos Group.
Dukungan sang bos membuat tekad Arif kian mantap. Terlebih Tjahjani Retno Wilis, istrinya, serta sahabat karibnya yang kini jadi menteri, Saifullah Yusuf, mendorong dia pula. Di sisi lain, keputusan untuk terjun ke dunia politik diambilnya karena ia merasa karier profesionalnya di dunia media massa sudah mencapai puncak setelah empat tahun pemimpin koran Jawa Pos. "Karena sudah mentok, saya memutuskan untuk terjun ke dunia politik," kata pria kelahiran Blitar, Jawa Timur, ini.
Arif merasa beruntung karena selama menjaga gawang Jawa Pos ia sempat mendalami masalah pemerintahan daerah lewat program Jawa Pos Pro-otonomi. Bekal itulah yang disiapkannya untuk meniti karier di dunia publik. Apalagi, sebagai wartawan ia merasa telah membangun banyak relasi dengan berbagai kelompok, termasuk tokoh-tokoh nasional seperti Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, dan Abdurrahman Wahid. Keputusan untuk ikut kompetisi pemilihan kepala daerah pada 27 Juni mendatang diakuinya sebagai eksperimen politik.
Setelah resmi berpasangan dengan Bambang, Arif non-aktif dari Jawa Pos. Jadwal ayah tiga orang anak ini untuk menggalang dukungan justru makin padat. Tak jarang, pukul 5 pagi ia telah memulai aktivitas dan baru menjelang tengah malam selesai. Dan tiba-tiba saja, banyak orang mengelilinginya. Bila dipilah-pilah, mereka dapat dikategorikan menjadi tiga golongan: paranormal, makelar politik, dan pendukung sejati. "Dua golongan pertama mendukung karena ingin kompensasi tertentu," ujarnya kalem.
A. Teras Narang Panggilan Tanah Leluhur
DALAM satu setengah bulan terakhir, Ketua Komisi III DPR Augustin Teras Narang, 50 tahun, punya hobi baru: off road! Ribuan kilometer jalan berbatu cadas dan lumpur di pedalaman Kalimantan Tengah telah dirambahnya. Sesekali ia bahkan bergaul dengan debur riam ganas menerpa lunas speedboat, tempias air di buritan, serta desau angin menerpa pesawat capung mungil yang disewanya. Walhasil, 84 dari 92 kecamatan di provinsi seluas 1,5 kali Pulau Jawa itu telah dikunjunginya. "Tinggal satu kabupaten lagi yang belum," ujarnya pekan lalu.
Ini bukan sembarang petualangan. Sembari menikmati pasang-surut adrenalin, Teras Narang selalu menyempatkan diri menemui warga pedalaman, hutan, dan tepi sungai. Maklumlah, lelaki kelahiran Banjarmasin, 12 Oktober 1955, itu sedang giat-giatnya menebar pesona. Di musim pemilihan kepala daerah ini ia mengincar kursi Gubernur Kalimantan Tengah. "Saya merasa terpanggil memajukan provinsi yang kaya tapi miskin ini," kata pengacara yang terjun ke kubangan politik itu.
Meski telah mengerahkan segenap daya upaya untuk meraih kursi gubernur, politikus PDI Perjuangan itu mengaku tak berniat mengambil keuntungan jika terpilih nanti. Bahkan, pekan lalu, di depan para pendukungnya, lelaki Dayak itu berani menyerahkan borgol. "Kalau kebijakan saya nanti berbau KKN serta menyalahgunakan wewenang, silakan Saudara-Saudara memakaikan borgol ini ke tangan saya. Saya siap masuk penjara," ujarnya.
Teras pun bersumpah, jika dalam waktu tiga tahun pertama menjadi gubernur ia gagal menaikkan APBD yang kini hanya Rp 500 miliar, ia siap mundur. Ia pun mengaku sudah siap menanggung semua risiko. Begitu pula istri dan tiga anak gadisnya. Kursi, gaji, dan segala macam fasilitas istimewa sebagai anggota DPR siap ditinggalkan. Sebagai cucu pembakal alias kepala suku dari Desa Buntoi dan Desa Mandumai, Kapuas, hanya panggilan memajukan tanah leluhur yang kini terngiang di benaknya.
Emilia Contessa Cita-cita yang Tertunda
MENJADI Bupati Banyuwangi ternyata sudah menjadi impian Emilia Contessa, 47 tahun, sejak terpilih menjadi Putri Blambangan pada 1973 silam. Sejak saat itu, ia merasa punya tanggung jawab moral untuk memajukan daerahnya. Selama ini Emilia telah menunjukkan baktinya kepada Tanah Osing, tanah kelahiran. Ia ikut menyantuni korban tsunami di Banyuwangi beberapa tahun lalu, maupun ketika isu pasukan misterius ninja merebak. "Jika ada apa-apa di Banyuwangi, saya merasa harus melakukan sesuatu," ujarnya pekan lalu. Dia merasa, jalan paling tepat untuk memajukan daerahnya adalah kursi bupati.
Sayang, niat menjadi calon Bupati Banyuwangi, Jawa Timur, itu harus tertunda. Penyanyi top di era 1970-an ini batal mencalonkan diri lantaran telat mengambil keputusan menjelang tenggat pendaftaran calon. Koalisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP)payung politik Emiliadan Partai Demokrat akhirnya mengusung Masduki, kader Partai Golkar. "Saya merasa tak kehilangan apa pun. Biarlah berjalan semestinya," kata Emilia kepada Eduardus Karel Dewanto dari Tempo.
Semula memang bukan Emilia yang akan maju, tapi suaminya, Ussama Alhadar. Namun, anggota legislatif dari PPP itu masih betah duduk di kursi DPR. Karena itu, sang istri didorong untuk menggantikannya. Tarik-ulur inilah yang memperlambat keputusan. Tapi Emilia tak putus asa. Ia merasa penundaan ini justru memberi kesempatan baginya untuk mematangkan diri. Ia tetap akan maju menjadi calon bupati pada 2010. "Supaya kalau ditanya modal menjadi bupati, bukan dijawab 'saya tukang nyanyi'," ujarnya berkelakar.
Emil yakin pada pemilihan lima tahun mendatang ia bakal meraih separuh suara di Banyuwangi. Ini bukan sesumbar, tapi ia punya patokan dari pemilihan umum anggota legislatif 2004. Ketika menjadi juru kampanye suaminya, ia berhasil meraup sepertiga suara Lare Osing. Apalagi respons masyarakat dan keluarganya di Banyuwangi atas keinginannya itu sangat kuat. Keluarganya pun sudah menggelar rapat-rapat trah. Tak mengherankan jika batalnya Emilia menjadi calon bupati sempat membuhulkan kekecewaan.
Muhammad Yamin Kampanye Murah dan Efektif
PEMILIHAN kepala daerah belum juga digelar, tapi Muhammad Yamin, 40 tahun, sudah merasakan ingar-bingarnya. Mantan aktivis mahasiswa pembela warga Waduk Kedung Ombo yang terancam gusur pada masa Orde Baru itu disambut bak pengantin sunat, lengkap dengan iringan musik daerah, saat berkunjung ke Desa Tanah Abang, Kecamatan Muara Kuang, Ogan Ilir. "Seru sekali. Ada kasidahnya lagi," ujarnya pekan lalu kepada Phillipus Parera dari Tempo. Anggota PDI Perjuangan ini mencalonkan diri dalam pemilihan Bupati Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Kabupaten baru ini adalah hasil pemekaran Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Sebulan terakhir, Yamin kian rajin mengunjungi desa-desa di pelosok Ogan Ilir dalam rangka menuai dukungan dalam pemilihan kepala daerah yang akan berlangsung pada 25 Juni. "Pernah di satu desa, ada yang mengaku kenal bapak saya, karena itu akan memilih saya," kata mantan anggota DPR RI daerah pemilihan Palembang itu. Ayah Yamin, yang pernah menjabat Kepala Dinas Perkebunan di Ogan Komering Ilir, memang cukup dikenal, terutama di desa-desa.
Menurut Yamin, tur itu sekaligus untuk mengenal daerahnya lebih dekat. "Sosialisasilah," ujar katanya. Meski lahir di Indralaya, sebuah kecamatan di Ogan Ilir, ia tidak banyak mengenal tanah kelahirannya, sebab, begitu tamat SMP, ia pindah ke Yogyakarta hingga lulus dari Fakultas Hukum di Universitas Islam Indonesia pada 1991. Aktivis mahasiswa pembela warga Kedung Ombo, Jawa Tengah, itu lalu bekerja sebagai pengacara. Aktivitas politiknya bermula saat bergabung dengan Tim Pembela PDI di Palembang pada 1996 dan menjadi anggota DPR RI periode 1999-2004.
Yamin sadar bahwa ia sudah lama meninggalkan Ogan Ilir, sebab aktivitasnya selama ini lebih banyak di Jawa. Karena itu, untuk lebih mengenalkan dirinya, ia membuat film pendek berdurasi 30 menit dengan judul Mengenal Yamin. Dalam film itu diceritakan seluruh aktivitas yang terkait dengan kegiatan Yamin. Ia telah menyiapkan 300 keping VCD yang dibagikan ke desa-desa. "Hampir di semua desa, warga sudah memiliki alat pemutar VCD, jadi kampanye ini efektif dan murah," ujarnya kepada Arif Ardiansyah dari Tempo.
Hanibal W.Y. Wijayanta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo