Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pesta 'Anyep' Partai Pemenang

PDI Perjuangan tak mencapai target suara dalam pemilu legislatif. Ada dugaan efek Jokowi dipadamkan dari dalam.

14 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JARI-jari Megawati Soekarnoputri berhenti mengetuk meja. Layar di depannya tak lagi menampilkan grafik batang penuh sebaran angka. Logo banteng bermoncong putih lambang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan muncul, diiringi ucapan selamat partai itu telah memenangi Pemilihan Umum Legislatif 2014.

Ketua umum partai itu bangkit, kemudian menyalami, mencium pipi, dan merangkul anaknya, Puan Maharani, 40 tahun. "Selamat atas kerja keras dan kemenangannya, ya," ujarnya. Buah pernikahan Megawati dengan suami ketiganya, Taufiq Kiemas, itu memimpin Badan Pemenangan Pemilu PDI Perjuangan.

Tangis Puan meledak ketika sang ibu erat memeluknya. Para tamu, yang mengelilingi dua meja bundar dan sore itu berdiskusi dengan Megawati, berdiri. Mereka adalah politikus partai Banteng, juga pengusaha, yang lalu bertepuk tangan dan ikut menyalami Puan. Jarum jam di beranda rumah Mega, Jalan Kebagusan, Jakarta Selatan, menunjuk pukul 17.00.

Empat jam setelah pemungutan suara ditutup pada pukul 13.00, Jaringan Survei Indonesia, yang disewa Badan Pemenangan Pemilu PDIP, menyelesaikan hitung cepat. Hasilnya, Jaringan menyatakan PDIP memenangi pemilihan dengan perolehan suara 18,82 persen. Partai ini unggul di 15 provinsi, termasuk semua provinsi di Pulau Jawa dan Bali.

Hitung cepat yang dilakukan berbagai lembaga dan diumumkan pada Rabu sore pekan lalu menunjukkan perolehan yang kurang-lebih sama. Partai Banteng menguasai berbagai wilayah. Partai Golkar berada di urutan kedua dengan sekitar 15 persen suara, disusul Partai Gerakan Indonesia Raya, yang memperoleh sekitar 12 persen.

Suara Partai Demokrat, yang berkuasa selama sepuluh tahun tapi digoyang aneka skandal korupsi, runtuh menjadi kurang dari separuh perolehan suara 2009. Dukungan untuk Partai Keadilan Sejahtera, yang juga diguncang kasus rasuah, pun berkurang. Adapun Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, dan Partai Nasional Demokrat memperoleh suara yang cukup besar. Tidak ada partai yang bisa mendapatkan tiket otomatis pada pencalonan presiden.

Inilah kemenangan kembali partai Banteng setelah Pemilihan Umum 1999. Selama sepuluh tahun sejak kekuasaan Megawati yang menjadi presiden pada 2001-2004 berakhir, partai ini berada di luar pemerintah pusat. Memang di beberapa provinsi—seperti Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, dan Jakarta—politikus PDIP memimpin pemerintahan. Tapi mereka mendeklarasikan diri sebagai "oposisi".

Partai ini meraup suara luar biasa pada 1999, dengan 154 dari 462 kursi Dewan Perwakilan Rakyat yang diperebutkan. Meski begitu, Megawati gagal menjadi presiden dalam pemilihan yang ketika itu masih dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ia baru berkuasa setelah Presiden Abdurrahman Wahid dijatuhkan Majelis pada 2001.

Pada 2004, PDIP gagal mengulangi kemenangan. Perolehan suara dikuasai Golkar. Begitu juga lima tahun kemudian. Partai Demokrat bentukan Susilo Bambang Yudhoyono giliran menjadi pemenang. Dua kali pula Megawati gagal mengalahkan Yudhoyono dalam pemilihan presiden. Baru kini PDIP kembali menikmati kemenangan.

Megawati terlihat sumringah ketika diminta berpidato. Pemimpin PDIP sejak 1993—ketika partai ini masih bernama PDI—ini memuji kader-kadernya. Pujian juga diberikan kepada putrinya, dirigen pemenangan pemilu. Kemenangan ini, kata Megawati, tak bisa diraih tanpa kegigihan, kesabaran, dan ketekunan kadernya,

"Alhamdulillah, kita bisa unggul," kata Megawati, "meskipun saya tetap berdoa agar suara PDIP bisa lebih dari 20 persen." Ia pun minta semua aktivis partainya memantau penghitungan manual suara oleh Komisi Pemilihan Umum.

Puan juga diberi kesempatan berbicara. Ia malah berpantun: "Jalan pagi pergi ke Menteng, membeli buah empat ikat. Pemilu ini saatnya banteng, berjuang untuk Indonesia Hebat." Frasa "Indonesia Hebat" merupakan slogan yang diusung di pelbagai atribut partai itu.

Toh, kemenangan PDIP di bawah 20 persen itu jauh dari perkiraan sejumlah sigi politik yang dilakukan sebelum pencoblosan. Indikator Politik pimpinan Burhanuddin Muhtadi memperkirakan partai ini akan memperoleh sekitar 24 persen suara. Lembaga lain bahkan memprediksi, setelah pengumuman pencalonan Gubernur Jakarta Joko Widodo sebagai presiden pada 14 Maret lalu, partai ini bakal meraih 27 persen suara. Semua meleset. "Kemenangan PDIP pun terasa hambar," ujar Burhanuddin.

PDIP sendiri mematok target 27,02 persen suara. Puan mengatakan, begitu menerima perintah memimpin Badan Pemenangan Pemilu dari rapat koordinasi nasional, September 2013, ia segera membuat peta pertarungan. Ia mengaku diuntungkan oleh tren menurunnya pamor Partai Demokrat. Meski begitu, sepuluh tahun di luar kekuasaan juga disebutnya sebagai "investasi".

Dalam wawancara khusus dengan Tempo, Puan menyatakan menjadikan kemenangan Ganjar Pranowo dalam pemilihan Gubernur Jawa Tengah, tahun lalu, sebagai pengalaman. Ia mengklaim, dengan konsolidasi partai selama setahun terakhir, suara PDIP bisa terus didongkrak dan mampu mencapai target.

Menurut Wakil Ketua Badan Pemenangan Pemilu Bambang Wuryantoro, target 27,02 persen itu dibuat demi mengulang sukses 15 tahun silam. Rinciannya, suara akan didapat dari basis pemilih PDIP 2009 plus suara yang semula diambil pecahannya, semacam Partai Nasional Banteng Kemerdekaan dan PNI Front Marhaenis. Mereka yang belum menentukan pilihan juga disasar. "Itu yang menjadi inspirasi untuk pembuatan iklan dengan sasaran pemilih pemula sejak Oktober tahun lalu," ujar Bambang.

Peta pertarungan dibuat untuk 77 daerah pemilihan. Puan mengaku menentukan daerah yang terlarang atau justru wajib dimasuki. Lalu ditentukan materi yang diusung dan tokoh yang perlu didekati, kemudian potensi suara di setiap daerah pemilihan dihitung. Ia menyimpulkan PDIP bisa masuk ke sejumlah wilayah baru. "Saya bertempur dengan peta," katanya.

Jajak pendapat dilakukan secara rutin. Survei pertama dilakukan Jaringan Survei Indonesia pada September-November 2013. Suara Banteng diperkirakan mencapai 25 persen. Angka itu turun pada sigi berikutnya, tapi posisi PDIP tetap bertahan di urutan teratas dibandingkan dengan sebelas partai lain.

Namun berbagai survei lembaga independen menjelaskan, kenaikan popularitas PDIP sebenarnya selalu seirama dengan keterkenalan Joko Widodo. Kemungkinan PDIP dipilih tertinggi terjadi pada Desember 2013, ketika dukungan untuk Jokowi juga semakin naik. Ternyata PDIP tak kunjung mendeklarasikan mantan Wali Kota Solo, Jawa Tengah, itu. Walhasil, elektabilitas Jokowi perlahan menurun. Begitu juga PDIP.

Sejumlah konsultan politik mengatakan calon legislator partai lain semakin intensif menggarap daerah pemilihan masing-masing sejak awal 2014. Mereka mulai "mengikat" pemilih yang semula belum menentukan pilihan. Seorang pemimpin perusahaan konsultan politik yang menolak disebutkan namanya karena terlibat dalam pemenangan partai lain mengatakan deklarasi Jokowi pada 14 Maret lalu sudah terlambat. "Ketika itu, semua partai sudah mengikat suara di semua daerah pemilihan," ujarnya. "Efek Jokowi tidak berpengaruh. Mungkin beda kalau sejak Desember telah diumumkan."

Hal itu dikonfirmasi oleh politikus partai lain. Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani menyebutkan partainya segera menggelar rapat begitu PDIP mengumumkan pencalonan Jokowi. Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Melani Leimena Suharli, juga menuturkan, pada malam pendeklarasian Jokowi, hampir semua partai lain mengadakan rapat merumuskan strategi baru kampanye guna menghadang penambahan perolehan suara PDIP.

"Karena Jokowi dicapreskan PDIP, partai lain jadi bekerja keras dan bergairah untuk mendongkrak suara masing-masing," kata Melani. "Efek Jokowi ada. Tapi dampak positifnya bukan buat PDIP, melainkan buat partai lain."

Informasi dari dalam partai Banteng juga menyebutkan dukungan yang tidak solid sebagai penyebab perolehan suara tak maksimal. Puan Maharani, menurut sejumlah politikus PDIP, tidak akur dengan kakaknya, Prananda Prabowo, anak Megawati dengan suami pertamanya, Surindro.

Awalnya, kata seorang politikus, Puan menuduh Prananda mendalangi manuver politik yang mengusulkan pasangan Megawati-Jokowi atau Megawati dengan calon pendamping lain. Artinya, peluang Puan menjadi calon wakil presiden pasti tertutup—karena tak mungkin ada pasangan Mega-Puan.

Dimintai konfirmasi tentang tidak akurnya dengan Prananda, Puan tergelak. "Itu kreasi orang saja," ujarnya. "Sebagai pribadi, kami memang berbeda. Kami satu keluarga, kakak-adik yang tetap solid dan selalu bahu-membahu membesarkan partai ini."

Sejak awal, politikus lain menyatakan Puan ingin menjadi calon wakil presiden. Karena itu, sempat muncul usul memasangkan Jokowi dengan dia. "Ide itu diembuskan oleh orang-orang Puan," kata politikus tersebut. Situasi ini berdampak pada pelaksanaan kampanye, termasuk penayangan iklan PDIP di televisi yang hanya menonjolkan Puan dan Megawati. Para pendukung Jokowi menuduh iklan itu sengaja dipasang untuk mengerek popularitas dan elektabilitas Puan.

Setelah Jokowi dideklarasikan, iklan PDIP tetap menampilkan Puan dengan "Indonesia Hebat"-nya. Puan, menurut sejumlah sumber dari kelompok yang berbeda, bahkan menyingkirkan materi reklame siap tayang yang menampilkan Jokowi. Situasi itu membuat kubu Jokowi bertanya-tanya: kapan sang calon presiden akan dilibatkan. Apalagi tim pemenangan yang dipimpin Puan tak pernah mengontak orang-orang Jokowi.

Sebelas hari sebelum pencoblosan, seorang pendukung Jokowi menghubungi konsultan komunikasi yang disewa PDIP. Ia menanyakan kejelasan waktu Jokowi akan dijadikan "bintang iklan"—seperti Golkar yang selalu menampilkan calon presiden Aburizal Bakrie dan Gerindra dengan Prabowo Subianto. Konsultan komunikasi mengatakan iklan Jokowi sedang dibuat. Ternyata iklan kandidat baru ditampilkan pada hari terakhir masa kampanye.

Bambang Wuryantoro membantah informasi itu. Ia mengatakan, segera setelah Jokowi dideklarasikan, Badan Pemenangan mengubah baliho, foto, hingga layar kampanye untuk menampilkan wajah Jokowi. "Saya membantah kalau kami disebut tidak kompak," ujarnya. "Semua sudah kami lakukan."

Kelompok Puan justru menuduh Jokowi tidak mau melebur dengan tim pemenangan partai. Salah satu yang dijadikan bukti adalah keengganan sang kandidat mengenakan baju bertanda "Indonesia Hebat". "Dia tidak pernah mau memakai baju itu," kata seorang pendukung Puan.

Jokowi sendiri mengatakan target perolehan suara tak dapat diraih antara lain karena "kurang maksimalnya marketing politik". Ia menunjuk iklan PDIP yang menampilkan dirinya hanya pada tiga hari terakhir masa kampanye. Padahal ada calon lain yang sudah memasang iklan sejak sepuluh tahun lalu. Ia yakin hasil pemilihan legislatif ini akan berbeda dengan pemilihan presiden.

Tentu saja politikus PDIP juga menyalahkan partai lain sebagai penyebab target tak tercapai. Sekretaris Jenderal Tjahjo Kumolo antara lain menuduh serangan dan kampanye hitam dari berbagai kelompok terhadap Jokowi. Misalnya tudingan bahwa Jokowi merupakan "capres boneka", lalu penjualan aset-aset perusahaan negara pada masa pemerintahan Megawati, hingga kampanye "PDIP No, Jokowi Yes".

Relawan pro-Jokowi, Fahmi Alhabsyi, juga menyebutkan kampanye "PDIP No, Jokowi Yes" dilancarkan besar-besaran oleh elite partai lain. Hal itu, menurut dia, dilakukan untuk membendung "efek Jokowi". Adapun Wakil Sekjen PDIP Eriko Sotarduga mengatakan, "Lebih baik kami introspeksi. Ketika satu jari menunjuk ke depan, tiga jari lainnya mengarah ke kita sendiri."

Di Kebagusan, Puan Maharani terus disalami banyak orang. Setelah deretan tamu selesai menyalaminya, ia duduk menunggu ibunya melakukan konferensi pers bersama. Ketika itu, ia menyeletuk, "Pada 2009, kita kalah dan suasananya anyep (dingin). Tapi ini kita jadi pemenang kok juga anyep, ya?"

Widiarsi Agustina, Indra Wijaya, Sundari, Rusman Paraqbueq, Ananda Teresia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus