Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Burhanuddin Muhtadi*
Hasil pemilihan umum legislatif 9 April 2014 menurut versi hitung cepat lembaga-lembaga survei menghasilkan potret seragam: fragmentasi politik yang semakin akut. Bayangkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai pemenang pemilu hanya meraih suara sekitar 19 persen. Partai Golkar dan Partai Gerindra menguntit di belakangnya dengan selisih tak terlalu lebar.
Menariknya, ketujuh partai lain yang diprediksi akan lolos dari lubang jarum parliamentary threshold memperoleh dukungan suara 5-10 persen. Kekuatan politik terdistribusi lebih merata, ketika tak ada satu pun partai yang dengan jemawa mampu menegakkan dominasi dan supremasi elektoralnya.
Komposisi partai hasil Pemilu 2014 melanjutkan wajah politik elektoral kita yang makin terbelah. Tak ada satu pun partai yang sanggup mempertahankan kemenangan. Pada Pemilu 1999, PDIP unggul dengan suara 34 persen. Lima tahun berikutnya Golkar menjadi pemenang dengan 22 persen, lalu Demokrat menjadi jawara 2009 dengan 21 persen. Kini PDIP mengunci kemenangan cukup bermodal 19 persen.
Pada 1999, terdapat lima partai saja yang mendapat suara di atas 3,5 persen. Pada 2004, pemain politik yang mendapat suara lebih dari 3,5 persen bertambah menjadi tujuh partai, lalu bertambah lagi menjadi sembilan partai pada 2009. Kini malah menjadi sepuluh partai dengan aktor barunya: Partai Nasional Demokrat. Pemenang pemilu semakin lama semakin kecil, tapi fragmentasi politik semakin besar.
Prediksi hitung cepat juga menyulut reaksi ganda bagi PDIP. Di satu sisi, PDIP muncul sebagai jawara pemilu. Tapi, ibarat juara tanpa mahkota, kemenangannya jauh dari target yang dicanangkan. Bahkan, secara popular vote, mereka tidak mencapai syarat minimal untuk bisa mendapat tiket presidential threshold tanpa berkoalisi dengan partai lain. Walhasil, kemenangan PDIP pun terasa hambar. Pertanyaannya, mengapa PDIP gagal mencapai target 27 persen suara? Benarkah efek Joko Widodo gagal mengatrol elektabilitas partainya?
Sejak Oktober 2013 hingga awal 2014, banyak lembaga survei, seperti Indikator Politik Indonesia, The Indonesian Institute, CSIS, Indobarometer, dan Poltracking, yang memprediksi efek Jokowi akan berpengaruh secara positif dan signifikan mengangkat elektabilitas PDIP. Indikator dan Indonesian Institute, misalnya, pada Oktober 2013, melakukan teknik eksperimen dalam surveinya dengan memperlakukan Jokowi sebagai faktor "sebab" dalam tiga situasi: (1) Tanpa informasi Jokowi ditetapkan sebagai calon presiden atau tidak, PDIP memperoleh 21 persen (control); (2) Jika PDIP mencalonkan Jokowi sebagai presiden, elektabilitas PDIP terangkat hingga 37 persen (treatment 1); dan (3) Jika PDIP tidak mencalonkan Jokowi, keterpilihan partainya hanya 14 persen (treatment 2). Artinya, suara PDIP saat itu bisa kembali ke capaian elektoral Pemilu 2009.
Seiring dengan berlalunya waktu, Jokowi mulai mengalami demistifikasi. Tapi beberapa lembaga survei lain masih bisa mendeteksi efek Jokowi hingga Maret 2014. Survei CSIS pada Maret 2014, misalnya, jika memakai simulasi dengan menyebut Jokowi sebagai calon presiden, elektabilitas Jokowi melonjak menjadi 33,4 persen. Padahal, dengan format pertanyaan standar, elektabilitas PDIP hanya 20,1 persen. Roy Morgan Research bahkan memprediksi jauh lebih optimistis dengan melansir temuan bahwa elektabilitas PDIP sebelum penetapan Jokowi sebagai calon presiden hanya berkisar 27 persen. Namun, setelah ia ditahbiskan sebagai calon presiden pada 14 Maret 2014, tingkat keterpilihan PDIP mencapai 37 persen.
Indikator Politik Indonesia dan Saiful Mujani Research Consulting juga menemukan fenomena efek Jokowi terhadap elektabilitas PDIP, tapi tidaklah setinggi yang diduga banyak orang. Survei Indikator pada 28 Februari-10 Maret 2014, sebelum penetapan Jokowi sebagai calon presiden, elektabilitas PDIP hanya berkisar 16,6 persen, tapi naik menjadi 24,5 persen pada 18-24 Maret 2014. Penetapan Jokowi sebagai calon presiden datang pada waktu yang tepat karena tren elektabilitas PDIP semakin merosot sejak mencapai peak pada Desember 2013 (26 persen).
Jika Jokowi tidak segera ditetapkan sebaga calon presiden, elektabilitas PDIP bisa terjun bebas lagi. Hal ini terjadi karena elektabilitas PDIP sangat bergantung pada Jokowi. Jika popularitas Jokowi naik, PDIP ikut mengambil manisnya. Namun, jika Jokowi mengalami sentimen negatif, PDIP juga kena getahnya. Sejak Oktober 2013, elektabilitas Jokowi selalu lebih besar ketimbang daya tarik PDIP. Artinya, tidak semua pendukung Jokowi memilih PDIP.
Jika dibandingkan dengan survei sebelum penetapan Jokowi sebagai calon presiden, kenaikan elektabilitas Jokowi jauh lebih tajam (13 persen) ketimbang kenaikan elektabilitas PDIP (8 persen). Pada saat yang sama, Indikator juga menemukan bahwa partai-partai lain mulai mampu menunjukkan daya kebalnya terhadap pengaruh Jokowi. Penahbisan Jokowi sebagai calon presiden tak mampu menurunkan elektabilitas kompetitor PDIP. Dalam survei periode 18-24 Maret, beberapa partai, seperti Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, NasDem, dan Partai Keadilan Sejahtera, bahkan menunjukkan tren positif jika dibanding survei sebelumnya (lihat tabel).
Jadi menihilkan efek Jokowi terhadap PDIP seperti opini yang berkembang pasca-pemilu legislatif tidaklah sesuai dengan fakta empiris. Tapi benar bahwa efek Jokowi tidaklah sebesar yang dibayangkan sebelumnya. Kegagalan memaksimalkan Jokowi sebagai instrumen elektoral sudah terdeteksi sejak penetapan Jokowi sebagai calon presiden dari PDIP, dua hari sebelum masa kampanye terbuka. Jokowi seperti terkesan memproklamasikan dirinya sendiri tanpa selebrasi berlebihan dari PDIP. "Wow effect" tidak terjadi dan media-media tertentu melakukan semacam blokade informasi sehingga hampir sepertiga pemilih belum tahu bahwa Jokowi sudah dicalonkan oleh PDIP.
Iklan-iklan resmi yang dibuat PDIP lebih suka menjual tagline Indonesia Hebat dengan Megawati dan Puan Maharani sebagai bintang utamanya. Dibanding Golkar, Gerindra dan Hanura yang juga sudah jauh-jauh hari mendeklarasikan calon presidennya, PDIP paling hemat dalam mensosialisasi calon presidennya di televisi ,yang merupakan media paling massif penetrasinya ke pemilih. Itulah sebabnya mengapa PDIP tak terlalu maksimal meraih dukungan publik.
Tak berlebihan jika sebagian pengamat menilai PDIP belum bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Bagi sebagian faksi di lingkup internal PDIP, pencalonan Jokowi ditanggapi dengan setengah hati dan terkesan membangun barikade opini bahwa jika PDIP nanti tampil sebagai jawara pemilu bukan karena berkah Jokowi.
Selain iklan Jokowi yang baru muncul di akhir masa kampanye, frekuensi kehadiran Jokowi dalam kampanye terbuka sangat minim. Jokowi malah tampil di wilayah dengan populasi elektoral sedikit, tapi kemunculan Jokowi sebagai vote getter di provinsi-provinsi padat malah sangat minimalis. Buat apa Jokowi ditetapkan sebagai calon presiden sebelum kampanye jika dia tidak dikapitalisasi untuk menaikkan elektabilitas PDIP?
Pada saat yang sama, demitologisasi terhadap Jokowi terjadi secara masif baik di media konvensional maupun sosial. Sejak Januari 2014, Jokowi harus melepas predikatnya sebagai media darling. Bagi sebagian media, terutama yang dimiliki oleh kelompok dengan afiliasi politik tertentu, Jokowi bak musuh. Isu negatif tentang banjir, kemacetan, korupsi pengadaan bus TransJakarta, dan lain-lain dieksploitasi habis-habisan. Sebagai tokoh yang pertama kali besar oleh media, perubahan tone pemberitaan terhadap Jokowi jelas berdampak serius terhadap elektabilitas dirinya, yang kemudian menimbulkan efek berantai kepada partainya.
Survei Februari 2014 pertama kali Jokowi mengalami penurunan secara eksponensial dan masa "bulan madu" Jokowi dengan media telah resmi berakhir. Memang Jokowi mampu mengembalikan kepercayaan elektoral setelah penetapan dirinya sebagai calon presiden. Tapi glorifikasi terhadap Jokowi praktis sudah berhenti dan dia dipaksa tampil sebagai politikus biasa yang harus bermain citra.
Penetapan Jokowi sebagai calon presiden juga bagai pisau bermata dua. Jika tak segera dicalonkan, Jokowi dan PDIP bisa kehilangan momentum. Tapi, sejak ditetapkan sebagai capres, Jokowi malah menjadi sasaran tembak bersama dari delapan penjuru mata angin. Dia tampil sangat defensif, bahkan terkadang terkesan apologetik, dalam menangkis serangan politik yang ditujukan kepadanya. Sayangnya lagi, sejak ditetapkan sebagai capres, Jokowi belum juga memberi gambaran tentang visi apa yang akan dia bawa untuk Indonesia ke depan. Ia masih mengandalkan aspek kedekatan dan connectivity dengan sebagian besar pemilih yang sedang mengalami gejala anti-hero.
Perolehan suara PDIP pada 9 April 2014 di kisaran 19 persen, menurut data exit poll yang diadakan Indikator Politik Indonesia, sekali lagi terkait dengan penurunan popularitas Jokowi (lihat grafik). Elektabilitas Jokowi sebagai calon presiden merosot tajam pada hari-H pemilu. Setelah sekian lama terbang di atas angin, kini saatnya Jokowi menapak kembali ke bumi. Saatnya ia dan PDIP memikir ulang strategi dan manajemen pemasaran politiknya untuk kembali memulihkan kepercayaan diri.
*) Dosen FISIP UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo