Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pesta Terakhir Pak Pung

Mantan Ketua BPK Hadi Poernomo menjadi tersangka penyalahgunaan wewenang ketika menjadi Dirjen Pajak. Komisi Pemberantasan Korupsi menelisik adanya suap.

28 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG auditorium di lantai 2 gedung Badan Pemeriksa Keuangan terlihat lengang pada Selasa pagi pekan lalu. Di sana, meja-meja tempat hidangan telah tertata rapi. Tapi tak ada satu pun penganan tersaji di atasnya.

Pagi itu, sejatinya telah dirancang sebuah pesta perpisahan internal untuk Ketua BPK Hadi Poernomo, yang sudah memasuki masa pensiun. Acara dibatalkan mendadak tanpa ada penjelasan resmi kepada semua karyawan.

Sahibulhajat sebenarnya ngantor sejak pagi. Seorang saksi mata melihat, sekitar pukul 08.30, Hadi menerima anggota BPK, Moermahadi Soerja Djanegara, di ruang kerjanya.

Perhelatan yang tertunda hari itu merupakan kelanjutan pesta sehari sebelumnya yang digelar di tempat yang sama. Saat itu, 21 April 2014, mantan Direktur Jenderal Pajak ini genap berusia 67 tahun. Acara potong tumpeng yang disambung nyanyian Selamat Ulang Tahun membahana di seluruh ruangan. Sekitar 50 wartawan cetak dan televisi ikut menikmati keriangan itu.

Mengenakan baju batik merah hati, Hadi kelihatan segar dan sumringah. Ia berjabatan tangan dengan setiap tamu. "Terima kasih, ya, terima kasih," kata pria yang akrab disapa Pak Pung ini berkali-kali. Sebagai kenang-kenangan, ia menyelipkan alat penyimpan energi berkapasitas 6.000 mAh di tas suvenir.

Saat Hadi kembali ke ruang kerja, di lantai 18, kegembiraannya mendadak buyar. Tepat ketika azan magrib bergema, di layar televisi, pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, sedang mengumumkan penetapannya sebagai tersangka dugaan korupsi permohonan keberatan pajak PT Bank Central Asia Tbk. Kasus tersebut terjadi pada 2004, ketika Hadi menjabat Dirjen Pajak.

Ia dituding menyalahgunakan wewenang dengan memutuskan menerima keberatan pajak BCA. "Kerugian negara dari pajak yang seharusnya dibayarkan ke negara diperkirakan sebesar Rp 375 miliar," ujar Abraham.

KPK menjerat Hadi dengan Pasal 2 ayat 1 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ancamannya hukuman penjara maksimal 20 tahun dan denda Rp 1 miliar.

Menjelang isya, Hadi meninggalkan gedung BPK. Raut mukanya tampak lesu, tidak sumringah seperti ketika ia memotong tumpeng. Ia hanya berkomentar singkat tentang statusnya sebagai tersangka. "Saya akan mengikuti proses hukum yang dilakukan KPK," katanya.

1 1 1

KENDATI baru menetapkan status tersangka Hadi Poernomo pada Senin pekan lalu, KPK sebenarnya telah mengantongi bahan kasus pajak BCA ini sejak enam tahun lalu. Temuan ini merupakan laporan dari Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan, yang saat itu dijabat Hekinus Manao.

Hekinus menjelaskan, hasil penyelidikan Inspektorat Bidang Investigasi atas kasus itu rampung pada akhir 2008 atau awal 2009. Hasilnya dilaporkan kepada Menteri. "Karena menyangkut aspek pidana, kami pun menyerahkannya ke aparat penegak hukum," ujar mantan Direktur Eksekutif Bank Dunia ini kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Menurut dia, proses penyelidikan di Inspektorat Bidang Investigasi sebenarnya telah dilakukan sejak 2006, tapi sempat mandek terbentur aturan. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan melarang pejabat membuka data wajib pajak.

Sebab, informasi mengenai wajib pajak dikategorikan sebagai rahasia negara. Akses data hanya bisa dibuka bila Menteri Keuangan memberi izin tertulis untuk kepentingan negara. Akhirnya, Inspektorat Jenderal mengajukan izin kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan dikabulkan pada 2007.

Permintaan untuk mengungkap skandal pajak BCA juga diajukan Dirjen Pajak Darmin Nasution—pengganti Hadi Poernomo—kepada Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan pada Juli 2007. Dalam surat yang salinannya diperoleh Tempo, Darmin menyertakan alasan maraknya pemberitaan media soal kasus pajak ini yang diperkirakan berpotensi merugikan negara Rp 1,958 triliun.

Pemeriksaan investigasi Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan menemukan indikasi penyalahgunaan wewenang. Proses penyelidikan, Hekinus menambahkan, memang tak sampai membuktikan ada-tidaknya korupsi atau gratifikasi. "Perlu effort lebih besar untuk itu." Sebab, Inspektur Jenderal tak memiliki kewenangan melakukan penyidikan.

Mendapat "barang bagus", Direktorat Penyelidikan KPK langsung menindaklanjutinya. Pencarian dokumen tambahan dan permintaan keterangan pihak-pihak terkait dilakukan penyelidik.

Fuad Rahmany, yang menjabat Dirjen Pajak mulai Januari 2011, menyebutkan beberapa anggota stafnya telah dimintai keterangan oleh KPK. "Bahkan proses itu telah berlangsung sebelum saya dilantik menjadi Dirjen Pajak," katanya.

Tidak terlalu sulit bagi KPK untuk menindaklanjuti temuan-temuan "matang" Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan. Sumber Tempo mengatakan hasil penyelidikan KPK sudah rampung pada 2012, awal-awal kepemimpinan Abraham Samad cs. "Artinya, sudah ada dua alat bukti untuk menjadikan Hadi sebagai tersangka," ujarnya.

Persoalannya, pimpinan komisi antikorupsi saat itu masih gamang menerbitkan surat perintah penyidikan. Menurut sumber tadi, banyak pertimbangan yang membuat penetapan itu tidak segera dilakukan. Di antaranya, pada saat itu di BPK masih ada Taufiequrachman Ruki. Purnawirawan polisi ini adalah Ketua KPK "Jilid I" yang bertugas pada periode 2003-2007.

Bila KPK menetapkan status tersangka pada waktu itu, dikhawatirkan akan timbul isu miring. "Bisa berkembang tudingan langkah itu sebagai upaya menjadikan Ruki Ketua BPK," katanya.

Maka proses ditunda hingga Ruki pensiun dari BPK pada Juli 2013. Tapi KPK kembali menundanya karena banyak terjadi kasus korupsi besar, seperti operasi tangkap tangan Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq dan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.

Terakhir, pimpinan KPK kembali menundanya karena tak ingin penetapan Hadi mengganggu proses persiapan pemilu legislatif. "Terus tertunda sampai akhirnya sprindik (surat perintah penyidikan) baru diteken Senin pekan lalu," kata sumber tadi.

Hingga April 2014, media marak memberitakan bahwa Hadi segera memasuki masa pensiun. Maka gelar perkara dilakukan di KPK, Kamis dua pekan lalu. Bambang Widjojanto dalam konferensi pers mengatakan bahwa di dalam gelar perkara itulah diputuskan peningkatan kasus dari tahap penyelidikan ke penyidikan, serta penetapan status Hadi Poernomo sebagai tersangka.

Sumber lain menyebutkan, di samping "faktor" Ruki dan mencuatnya kasus-kasus besar, ada faktor kegamangan pimpinan KPK atas posisi Hadi. Sempat muncul kekhawatiran, status pesakitan itu membuka celah Hadi melakukan perlawanan. "Posisinya sebagai Ketua BPK itu strategis," kata sumber itu.

Abraham menolak menjelaskan detail persoalan di KPK. Ia justru menepis isu miring yang mempertanyakan penetapan status tersangka tepat di hari pensiun, apalagi sedang berulang tahun hari itu. "Tidak ada kaitannya," ujarnya. Ia menegaskan, penetapan status tersangka dilakukan setelah Komisi mengantongi alat bukti yang cukup.

Senada, Ruki juga membantah anggapan bahwa ia terkait dengan putusan penetapan Hadi sebagai tersangka. "Seandainya status itu ditetapkan ketika saya masih aktif di BPK, tidak akan otomatis menjadikan saya sebagai ketua," ujarnya.

Menurut dia, masalah pajak BCA telah menjadi topik pembicaraan di kalangan perpajakan sejak 2004, bahkan sempat dibahas dalam rapat kerja Komisi Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat dengan Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak. "KPK juga memantau. Tapi masih terlalu dini dan prematur untuk mengangkatnya sebagai kasus tindak pidana korupsi," katanya.

1 1 1

NOTA dinas Dirjen Pajak dilayangkan kepada Direktur Pajak Penghasilan tepat sehari sebelum tenggat pengambilan keputusan mengenai kasus keberatan pajak BCA, 19 Juli 2004. Diteken Hadi Poernomo pada 17 Juli, surat bernomor ND/92/PJ/2004 itu berisi perintah untuk mendrop alias menghilangkan koreksi-koreksi yang dilakukan petugas pemeriksa pajak.

Dengan kata lain, Dirjen menerima keberatan yang diajukan BCA, sehingga angka penghasilan kena pajak bank yang menjadi pasien BPPN ini susut dari Rp 6,605 triliun menjadi Rp 1,009 triliun. Nilai pajaknya sekitar Rp 1,958 triliun. Angka itu adalah potensi penerimaan pajak yang hilang.

Menurut Abraham, nota dinas itu melanggar sejumlah ketentuan yang berlaku di Direktorat Jenderal Pajak. Terakhir, nota itu juga menabrak surat edaran Dirjen Pajak nomor SE-68/PJ/1993, tentang petunjuk pelaksanaan pembetulan surat ketetapan pajak, yang terbit 22 Desember 1993.

Menurut Abraham Samad, Hadi juga mengabaikan fakta bahwa ada bank lain yang mengajukan keberatan atas persoalan yang sama. Pada saat itu, PT BII dan PT Danamon Indonesia memiliki kasus yang mirip dengan BCA. "Tapi permohonan bank lain ditolak." (Lihat "Nota Janggal Sang Dirjen".)

Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengklaim telah memenuhi kewajiban melalui prosedur dan tata cara perpajakan yang benar. "BCA tidak melanggar undang-undang," katanya.

Dia menolak menjawab soal kejanggalan nota dinas Hadi yang tengah disidik KPK. "Soal KPK dan Pak Hadi itu di luar kemampuan kami," ujarnya. "Kami hormati proses hukum."

Pekan ini penyidik KPK telah menyusun jadwal pemeriksaan para saksi kasus pajak BCA. Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas meyakini ada sesuatu yang diterima Hadi hingga berani menabrak aturan. "Akan dikembangkan lebih lanjut," katanya.

Adapun Hadi, setelah berstatus tersangka, mendadak seperti hilang ditelan bumi. Beberapa kali disambangi ke rumahnya di Jalan Iskandarsyah 1 Nomor 18, Jakarta, Hadi menolak ditemui. "Bapak ada di dalam, sedang istirahat," ujar penjaga rumah. Dua surat permohonan wawancara yang dilayangkan Tempo tidak pernah dibalas.

Senin malam pekan lalu, Hadi ditemui di rumahnya. Namun dia menolak menjawab pertanyaan tentang tuduhan penyimpangan kasus pajak BCA. Akuntan senior ini hanya menegaskan akan patuh pada proses hukum. "Sebagai WNI, wajib melakukan penegakan hukum."

Retno Sulistyowati, Setri Yasra, Martha Thertina, Angga Sukma Wijaya


Nota Janggal Sang Dirjen

TIGA jabatan penting pernah mengisi catatan karier Hadi Poernomo. Direktur Jenderal Pajak, agen utama Badan Intelijen Negara, dan terakhir Ketua Badan Pemeriksa Keuangan. Namun karier cemerlang ini berakhir getir.

Senin pekan lalu, tepat pada hari terakhir menjabat Ketua BPK dan ulang tahunnya yang ke-67, Hadi dijadikan tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Dia dituduh menyalahgunakan wewenang saat menerbitkan nota dinas menerima permohonan keberatan pajak PT Bank Central Asia Tbk senilai Rp 5,6 triliun pada Desember 2004.

Bukan hanya soal wewenang, dugaan rasuah yang diterima akuntan senior kelahiran Pamekasan, Madura, Jawa Timur, ini juga sedang ditelisik penyidik komisi antikorupsi.

Jejak Hadi
- Petugas pajak melakukan pemeriksaan terhadap PT BCA dan melakukan koreksi akun pembebanan penyisihan piutang Rp 5,58 triliun.
- BCA mengajukan keberatan karena menilai koreksi itu tidak tepat.
- Direktur Pajak Penghasilan Sumihar Petrus Tambunan menolak seluruh permohonan keberatan yang diajukan BCA.
- Sumihar menyiapkan draf surat nota dinas dan surat keputusan penolakan permohonan keberatan yang mesti diteken Hadi.
- Hadi membuat draf surat nota dinas baru, yang isinya menerima permohonan keberatan pajak BCA yang waktunya tepat sehari sebelum tenggat keberatan.

Dasar Penolakan Keberatan

  • Penghapusan piutang bukan merupakan kerugian karena kewajiban debitor tidak hilang, melainkan hanya beralih sementara ke BPPN.
  • Nilai pengalihan nihil, tidak mencerminkan nilai pasar yang wajar dari transaksi tersebut.
  • Transaksi-transaksi itu identik dengan hibah atau sumbangan yang menurut ketentuan merupakan obyek pajak.

Kejanggalan

  • Nota dinas terbit satu hari menjelang tenggat keberatan.
  • Putusan banding yang terbit pada 24 Mei 2004 berdekatan dengan keluarnya nota dinas pada 17 Juni 2004.
  • Adanya nota dinas berakibat pada tidak adanya tambahan potensi penerimaan pajak.
  • Terjadi koreksi nilai kewajiban pajak Rp 10,7 triliun.
  • Nota dinas cacat hukum tanpa nama dan nomor induk pegawai.
  • Sejumlah bank lain yang mempunyai kasus yang serupa dengan BCA keberatannya ditolak Direktur Jenderal Pajak.

Menabrak aturan

  • Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 6 ayat 1: Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tidak dapat dikurangkan sebagai biaya.
  • Keputusan Menteri Keuangan Nomor 130/KMK.04/1998 tentang Penghapusan Piutang.
  • Surat Edaran Dirjen Pajak SE-68/PJ/1993 yang terbit pada 22 Desember 1993, yang salah satunya mengatur surat keputusan pembetulan keberatan pajak.

    Potensi Kerugian Negara

  • Nilai penghasilan kena pajak dibatalkan: Rp 5,58 triliun
  • Tarif PPh Pasal 17: 35%
  • Potensi penerimaan pajak hilang: Rp 1,958 triliun

    Jejak kasus

    1998
    Krisis ekonomi membuat BCA rugi fiskal Rp 28,8 triliun dan menerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Rp 26,596 triliun. BCA diambil alih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

    1999
    - BCA kembali menerima suntikan modal lewat program rekapitalisasi perbankan Rp 60,877 triliun.
    - Terjadi pengalihan kredit seret (non-performing loan/NPL) nihil ke BPPN.
    - BCA menyampaikan SPT tahunan PPh 1998 yang menyatakan rugi Rp 29,1 triliun dengan menyebut lebih bayar Rp 10,2 triliun.

    2000
    Kantor Pemeriksaan Pajak Jakarta Tujuh memeriksa SPT tahunan PPh BCA dengan ketetapan surat ketetapan pajak lebih bayar sebesar Rp 10,2 miliar dengan rugi menjadi Rp 28,8 triliun.

    2001
    BCA mengubah pengalihan NPL nihil menjadi transaksi penjualan dengan nilai Rp 10 juta dan hasil penjualan dihibahkan kembali kepada BPPN.

    2002
    Kantor pajak melakukan pemeriksaan ulang hasil surat ketetapan pajak nihil (SKPN) yang menyatakan rugi Rp 16,9 triliun. Kerugian ini dapat dikompensasi sampai tahun pajak 2002.

    2003

    20 Maret
    Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak memeriksa tahun pajak 1999 dan mengoreksi laba tahun 1999 sebesar Rp 5,713 triliun.

    BCA mulai membayar angsuran PPh Pasal 25 sebesar Rp 792.036.423.800, karena adanya hasil pemeriksaan ulang tahun pajak 1998 dan pemeriksaan pajak tahun 1999.

    17 Juni
    BCA mengajukan keberatan atas SKPN tahun pajak 1998 hasil pemeriksaan ulang kepada Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Satu.

    28 Oktober
    - Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar menolak permohonan Keberatan BCA.
    - BCA mengajukan permohonan banding.

    2004

    30 Januari
    Direktur Jenderal Pajak menerima permohonan wajib pajak sehingga penghasilan neto tahun pajak 1999 kembali ke Rp 125 miliar.

    13 Mei
    Direktur PPh memberikan surat pengantar risalah keberatan kepada Dirjen Pajak yang berisi hasil telaah dengan kesimpulan permohonan keberatan BCA ditolak.

    24 Mei
    Pengadilan Pajak membatalkan putusan keberatan dan surat ketetapan pajak nihil SKPN, sehingga jumlah rugi kembali menjadi Rp 28,8 triliun.

    17 Juni
    Satu hari sebelum jatuh tempo, Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo melalui Nota Dinas Nomor ND-192/PJ/2004 memerintahkan Direktur PPh mengubah kesimpulannya, yaitu dari semula menolak menjadi menerima.

    18 Juni
    Direktur Pajak Penghasilan merespons nota dinas Dirjen Pajak dengan kesimpulan menerima keberatan wajib pajak seluruhnya.

    Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Keputusan Nomor KEP-870/PJ.44/2004 yang isinya mengabulkan seluruh permohonan keberatan BCA.

    Naskah: Iqbal Muhtarom, Sumber: Kementerian Keuangan, PDAT

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus