Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Satu Malam di Jakarta

Sebuah film terbaru karya Lucky Kuswandi yang mengembalikan kepercayaan kita kepada Jakarta dan kepada film Indonesia.

28 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selamat Pagi, Malam
Sutradara dan skenario: Lucky Kuswandi
Pemain: Adinia Wirasti, Marissa Anita, Dayu Wijanto, Ina Panggabean, Trisa Triandesa
Produksi: PT Kepompong Gendut dan Soda Machine

Hanya satu malam di Jakarta pun bisa mengubah jiwa kita. Cukup dalam satu malam, ada sesuatu yang tersimpan dalam lipatan kota ini yang kemudian menyelinap begitu saja ke dalam tubuh kita yang lelap, dan segalanya berubah. Satu malam saja.

Itu yang terjadi pada Gia, Indri, dan Ci Surya. Juga pada sisa penduduk Jakarta yang lain.

Gia (Adinia Wirasti), Indri (Ina Panggabean), dan Ci Surya (Dayu Wijanto) adalah tiga perempuan Jakarta yang tak saling mengenal, masing-masing menyusuri lipatan Jakarta, dan tenggelam dalam gelapnya malam, untuk kemudian meninggalkannya di suatu pagi.

Setelah lama menetap di New York, Gia kembali ke Jakarta dan menemukan masyarakat dan kota yang berubah bentuk dan tingkah lakunya. Harapannya untuk bertemu dengan kekasihnya selama di New York, Naomi (Marissa Anita), akhirnya terpenuhi. Tapi jarak dan waktu serta aura Kota Jakarta ternyata telah membuat hubungan keduanya berubah.

Indri, seorang penjaga handuk tempat latihan kebugaran, merasa hidupnya datar. Untuk membuat hidupnya lebih menarik, dia mencoba berkenalan dengan seorang pria melalui chatting room lewat telepon seluler yang dibelinya secara cicilan. Dari perjanjian pertemuan dengan sang pria, Indri akhirnya secara tak sengaja justru terdampar pada hubungan sekilas yang lain.

Ci Surya, yang baru saja berduka karena kematian suaminya, menemukan jejak sang suami yang menyedihkan. Koh Surya mempunyai kekasih lain, seorang penyanyi bar bernama Sofia (Dira Sugandi). Sore itu, Ci Surya berbenah diri, menyusuri Jakarta ke tempat suaminya biasa menghibur diri.

Tiga perempuan, tiga kisah di dalam satu Jakarta yang gelap. Film kedua sutradara Lucky Kuswandi (Madame X) ini berkisah dengan sederhana tentang sebuah kota besar yang kita kenal fisiknya tapi tak akan pernah kita selami jiwanya. Jakarta terdiri atas ratusan lapis, ribuan pori-pori, dan kita selalu saja terkejut menemukan sepetak atau sepotong tempat yang begitu gelap, basah oleh keringat dan bau amis, tapi entah bagaimana berhasil membebaskan jiwa yang merdeka. Misalnya hotel busuk di ujung Kota Jakarta. Bagaimana tempat remang-remang yang bermandikan lampu neon ini bisa mengubah kita?

Keenam aktor itu meyakinkan kita. Sekali lagi, seni peran tak pernah menjadi persoalan bagi Lucky. Kecuali Adinia Wirasti yang sudah dikenal penonton film Indonesia, hampir semua pemain adalah wajah baru. Nyatanya, mereka semua tampil asyik dan relaks sembari membawakan cerita tokoh-tokoh yang mereka perankan dengan sangat meyakinkan.

Gia dan Naomi (diperankan Adinia Wirasti dan Marissa Anita yang bersinar) sepasang kekasih yang sudah pasti tak mungkin hidup bersama lagi karena Jakarta yang begitu "Indonesia". Gia adalah prototipe anak muda Indonesia dari New York yang bohemian dan geli melihat tingkah laku geng Jakarta Naomi. Indri perlahan-lahan mengenal seorang Faisal (Trisa Triandesa) hingga matahari muncul. Sedangkan Ci Surya yang masuk dan mengamati bar tempat suaminya menemui sang kekasih itu justru akhirnya tertarik untuk mengetahui mengapa ceruk Jakarta yang begitu bacin menjadi magnet bagi lelaki.

Meski ini kisah satu malam, Lucky menggunakan sebuah kaca pembesar dan menyorot tiga perempuan itu dengan jujur dan intens. Dialog yang berloncatan dari setiap tokoh segar dan penuh humor. Dari mata Gia, kita melihat kumpulan kelas atas Jakarta yang bergelimang harta, superfisial, dan narsisistik. Lihat tingkah laku mereka di kafe lengkap dengan dialog operasi plastik dan narsisistik dan merasa berhak memperoleh apa saja yang diinginkan. Naomi, dengan segala resistansi, menjadi bagian dari pesta hipokrit kalangan atas Jakarta dan hanya bisa diselamatkan oleh kehadiran Gia yang jujur dan relaks dengan identitasnya.

Dialog antara tokoh Indri dan si Om Davit yang dikenalnya dari chatting room hingga pertemuannya dengan Faisal menjadi segitiga yang lucu dan segar. Penampilan Paul Agusta (ya, si Davit dengan huruf "t") bersama Ina Panggabean ini adalah elemen humor dari seluruh malam di Jakarta yang kelam. Ini segmen yang sangat dibutuhkan karena sesudahnya kita akan bertemu dengan segmen Ci Surya, bagian perih yang paling mewakili sosok Jakarta. Bagian yang menyajikan sosok penyanyi Sofia yang merupakan representasi Jakarta yang paradoksal: montok, berpupur dan bergincu, kelap-kelip disiram cahaya lampu neon, cantik menggoda sekaligus penuh luka. Pada titik inilah saya kemudian kembali percaya bahwa genre drama dalam film Indonesia masih ada dan masih bisa dikelola dengan baik.

Adalah bagian ini yang menjadi benang yang menautkan ketiga cerita menjadi akhir perjalanan di sebuah pagi yang "malam". Adalah bagian ini yang kemudian membawa para tokohnya, sekaligus penonton, yang sudah tertawa dan asyik menyaksikan 90 menit penduduk Jakarta, lantas terperenyak ketika mendengarkan lagu Pergi untuk Kembali (karya Minggus Tahitoe yang dipopulerkan Melky Goeslaw pada 1974) yang dinyanyikan Sofia dengan nada balada yang perlahan menggerogot hati. Adegan ini mengingatkan kita pada aktris Carey Mulligan ketika menyanyikan lagu New York, New York dalam film ­Shame—balada tanpa iringan musik. Sebuah lagu yang menggambarkan seluruh film: "…Bulan pun bersinar, betapa indahnya/ Namun menambah kepedihan…."

Demikian yang telah disajikan Lucky Kuswandi: sesuatu yang indah tentang Jakarta, yang sekaligus menambah kepedihan.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus