Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prahara itu menderu dari perut bumi lalu mengoyak Yogyakarta ketika subuh baru saja lewat. Hari itu, 27 Mei. Gempa tektonik bertenaga 5,6 pada skala Richter bergetar selama 57 detik. Manusia menghamÂbur ke luar rumah. Tapi gempa lebih cepat lagi. Rumah-rumah luruh ke tanah, memetik nyawa ribuan manusia. Yogyakarta dan Jawa Tengah dipenuhi ratap tangis dan lolong keÂsedihan dalam seketika. Hawa perkabungan menggantung di setiap ambang rumah.
Sejumlah politisi di Senayan mendesak peÂmerintah agar tragedi itu ditetapkan sebagai bencana nasional. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjawab, ini urusan kemanusiaan, bukan politik. Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X menegaskan, inÂfrastruktur daerah masih berdenyut sehingÂga tak perlu dijadikan bencana nasional.
Toh, wajah Yogyakarta, juga sejumlah wilayah di Jawa Tengah, seperti tak lagi berjejak. Manusia bergelimpang di jalan, di bawah tenda-tenda, reruntuhan puing, serta ke alun-alun beratap langit. Para kanak-kanak menating kaleng di tepi jalan, memohon remah-remah dan belas kasihan dari mereka yang lalu-lalang.
Prahara itu menderu dari perut bumi, merenggut segenap kecintaan dari ribuan keluarga. Di sentra-sentra gempa, aroma kematian meruap dari tanah yang remuk-redam itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo